SUNNY PRIVATE

Wellcome to SUNNY PRIVATE Blog...
Regards
Me

Jumat, 23 Desember 2011

Wayang Durangpo I ( Sujiwo Tejo )

Episode 01 Lupa Indonesia Raya
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 16 Agustus 2009



 Image
  Gareng terkekeh-kekeh. Ponokawan yang matanya juling dan serbacacat ini mulai hepi. Istrinya akhirnya dapat panggilan syuting juga. Dewi Sariwati, namanya, akan main dalam film Lupa Indonesia Raya, bareng kelompok Band Kuburan yang akan membawakan hit Lupa Lupa Ingat. Dengan girang dan terpincang-pincang Gareng mendekati istrinya. ''Jadi, jam berapa nanti syuting?'' tanya Gareng. Sariwati bilang jam 2 malam. Jam 2 malam? Gareng kaget. Sergahnya, ''Itu syuting apa mau salat istiharah?''

Kontan istri Gareng cemberut, ''Ya syuting to Kang.'' Dasar Gareng, Ponokawan yang sering ngengkel alias menggemari perdebatan, omongan istrinya pun dibaliknya. ''O, syuting to,'' katanya sambil senyum kecut. ''Jadi kamu sudah tidak mau salat lagi?''

Aduh, menghadapi suaminya yang suka cek-cok lidah itu Sariwati berteriak seperti Peggy Melati Sukma: ''pusiiiiiing....''

Sariwati: Lho, ndak gitu. Kata Romo Semar, sembahyang itu niatnya bukan buat dipamer-pamer-no. Sampeyan ini bagaimana to? Kata orang-orang, Gareng itu anak Semar yang paling pinter. Paling suka Monalisa...

Gareng: Analisa...!!! Bukan Monalisa...

Sariwati: Lho, Monalisa itu bukannya yang disilet-silet di Malaysia to...?

Gareng: Aduh, itu Monahara.

Sariwati: Ndak tau ah...Pokoknya Sari dengar Kang Gareng itu Ponokawan yang paling suka merenung. Beda karo Bagong sing mbuethik dan bisanya cuma ngotot ndak pakai pikiran. Moso nek cerdas Sampeyan sampai lupa nasihat Romo Semar nek sembahyang bukan untuk ditunjuk-tunjukkan...

Gareng: Hmm...Begini. Duduk dulu, Kamu. Hmmm...Sebenarnya inti nasihat Semar bukan itu. Intinya, bagaimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, vihara, kuil, dan sebagainya.

Woo...sebenarnya negeri ini nggak terlalu butuh campur ta­ngan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Opo maneh kalau bantuan uang itu pake pamrih ngerukin kekayaan bumi Nuswantoro termasuk yang paling vital: air. Lho, iya to? Kalau sebagian besar warga sembahyangnya bener, artinya bergairah bantu-membantu, jutaan penganggur itu akan dapat ojir untuk membuka lapangan kerja sendiri...Kamu sebagai perempuan, sebagai istriku, ndak perlu keluyuran malam-malam koyok burung hantu...

Sariwati: Wadoh, saya ndak keluyuran kok Kang. Saya bantu suamiku cari duit. Aku apa tadi...syuting. Lihat ini, surat panggilannya...Scene 74, adegan di Stadion Tambak Boyo, bersama Mbah Marijan...

Gareng: Lho, nggak jadi dengan Mbah Surip...?

Sariwati: Oalah Kang... Mbah Surip kan sudah nggak ada. Sampeyan iki lho, sita'e ta. Katanya Sampeyan anak raja jin Resi Sukskati di Kerajaan Bluluktiba. Lha kok matanya nggak bisa awas bahwa sesungguhnya...

Gareng: ...Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penja...

Sariwati: Hush! Bahwa sesungguhnya Mbah Surip itu sudah meninggal. Wah, nyesel saya dulu mau dikawin sama Kakang kalau ternyata Sampeyan nggak beda sama laki-laki biasa. Eh, tahu nggak, dulu saya itu mau dinikahi Kang Gareng juga lantaran opo coba?

Gareng: Lantaran aku ngguaanteng koyok Ariel Peterpan.

Sariwati: Berarti aku podo karo Luna Maya yo?

Gareng: Hush! Coba kamu mangap. Haak...haaaak...Ayo...Hmmm. Ndak, kamu bukan Luna Maya. Luna itu nek mangap uayu. Coba, lihat, foto-fotone nduk ndalan-ndalan Raya Darmo, Embong Malang, Bubutan, Kali Mas, Rungkut, malah sak Indonesia...Semua mangap...seperti ini lho mulutnya Haaaaaaaa...

Sariwati: Emm...yo wis yo wis kalau aku bukan Luna Maya...

Gareng: Lho, Dik, Dik, Dik...Ojo merengut. Jangan mutung. Sini aku bopong kamu. Ayo...Ta' gendong...ke mana-mana...Ta' gendong...ke mana-mana...Ooo, Diajeng Dewi Sariwati, puteri Prabu Sarawesa dari Negara Purwaduksina...Ta' gendong ke man...

Sariwati: Aduh aduh, wis wis, sampe mau jatuh, mati aku...Kasihan tangan Kang Gareng yang sudah cacat. Wis...wis. Kalau aku bukan Luna Maya berarti Kang Gareng memang bukan Ariel Peterpan. Tapi itu malah yang bikin saya kelimpungan karo Kang Gareng.

Kata orang tangan Kang Gareng yang cacat, yang ceko, menunjukkan Kang Gareng tidak mempunyai hasrat untuk mengambil yang bukan haknya...

Gareng: He he...

Sariwati: Kata orang kaki Kang Gareng pincang, menunjukkan dalam menjalani hidup ini Kang Gareng sangat berhati-hati...

Gareng: He he...

Sariwati: Kata orang mata Kang Gareng juling menunjukkan pandangan Kang Gareng cukup awas, bisa ke mana-mana. Tunjukkan kenapa kok Kang Gareng bilang Mbah Surip masih hidup.

Gareng: Jelas. Orang yang kerjaannya menggendong-gendong orang lain, sekarang masih hidup dan makin banyak. Golkar dan PDI-P saja sekarang sudah menunjukkan gejala-gejala merapat dan menggendong Pak SBY.

Bagong: Itu bukan nggendong, Goblok! Itu sebetulnya mau menjerumuskan. Itu kejeliannya Mbah Surip. Dikira dia mendukung seseorang. Belum tentu. Eling hanacara. Orang Jawa juga persis aksara itu. Vokal-vokal aksara Jawa itu kalau dipangku, digendong, dijunjung, malah mati dadi konsonan. Gareng katanya pinter jebul goblok.

Gareng: Eh, kamu malam-malam kok ujug-ujug datang...

Bagong: Mau mengantar Mbakyu Sariwati ke Tambak Boyo. Syuting film Lupa Indonesia Raya ... Ayo Mbakyu...

Sariwati: Nggak jadi saja.

Bagong dan Gareng: Lho?

Sariwati: Percuma. Filmnya nanti juga nggak bakal ada yang nonton. Karena, sebagai pemain, saya belum pernah disilet-silet di Malaysia.

Bagong dan Gareng: ????

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com






Episode 02 Jembatan Madusura
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 23 Agustus 2009

Image
Pagi itu ndak onok ombak ndak onok angin Raja Madura Prabu Baladewa ngamuk-ngamuk. Matanya yang dari zaman Aburizal Bakrie belum turun tanah pancen sudah mendelik sekarang malah tambah melotot. Keto' lebih mendidih dari lumpur Lapindo.

Ponokawan Gareng pontang-panting lapor Prabu Kresna. Ia tahu betul Baladewa takut bin takluk binti nurut hanya ke adik kesayangannya, yaitu Kresna. Ibarat Prabu Baladewa iku rata-rata pejabat negeri ini, nah Prabu Kresna iku rata-rata istri mereka. Laporkan saja segala sesuatu tentang Baladewa ke Kresna. Kabeh bakal beres...

Enak to, manteb to...

''Aduh Bos, Sang Prabu Titisan Batara Wisnu, The Real My Bos...'' Gareng begitu sampai langsung bersimpuh, ndeprok, curhat-curhat di hadapan Kresna. Tapi si Bos Kresna alias Prabu Madusudana bukannya ngadem-adem kakak Petruk itu malah nyolong kesempatan buat menguji.

''Kok waktu Bima ngamuk-ngamuk pas partai anaknya kalah di wilayah Kikis Tunggorono, Kang Gareng diem? Kok waktu Gatutkaca ngamuk punggung pas di televisi ada pementasan ketoprak operasi penangkapan pelaku teror, Kang Gareng juga diem?''

''Soal-e pas Ndoro Bima-Gatutkaca marah, nesune kan pake alasan. DPT pemilu ndak becus. Ndoro Bima moring-moring. Kuku Bima diacung-acungkan terus sampai para perempuan tunggang-langgang colong playu. Pementasan ketoprak operasi penangkapan teroris naskahnya kurang bagus. Putran-e Bima Ndoro Gatutkaca mencak-mencak. Masih kentara kalau operasi itu cuma buat nyeneng-nyeneng-no negeri seberang yang ngasih bantuan dana dan senjata. Ce' kelihatan ne' duwit dan senjata-ne kepake...Lha Prabu Baladewa moring-moring sebabnya apa? Ndak ada.''

...Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap...

Mendadak mata Prabu Kresna alias Harimurti mengandung sorot Batara Wisnu Sang Pemelihara Harmoni Dunia. Oooo....Di atas langit ada langit. Gareng alias Pancal Pamor boleh menepuk diri sebagai Ponokawan yang paling pandai beranalisa dan paling awas. Matanya yang juling menyimbolkan mata yang bisa menerawang seantero jagad. Tapi ternyata masih kalah dibanding mata empat kiblat sang Wisnu.

Wisnu seakan bersabda, hai Gareng, tidakkah kau tahu, tak ada satu pun peristiwa di muka bumi yang dapat terjadi tanpa penyebab termasuk kenapa Ahmad Dhani nikah siri ambek Mulan. Dan, penyebab itu tak pernah tunggal. Selalu jamak. Tidakkah kau melihat, sejatinya kemarahan Baladewa ada landasannya. Diam-diam beliau tidak terima orang-orang Madura yang punya talenta menjadi menteri perdagangan besi bekas dituduh sebagai biang kerok moksa dan murca-nya besi-besi Jembatan Suramadu.

Alasan kedua, Prabu Baladewa diam-diam tahu, cucu penjaga laut Dewa Baruna, yaitu Antasena akan menghancurkan Jembatan Suramadu. Bagi anak Bima dari Dewi Urang Ayu ini, Jembatan Suramadu mematikan semangat bahari bangsanya. Padahal di dalam tradisi bahari, laut bukanlah pemisah pulau. Pulau tak harus dihubung-hubungkan dengan jembatan. Di dalam negeri maritim, laut justru harus menjadi wahana penghubung itu sendiri.

Anak-anak negeri selain diajar kapan Perang Diponegoro meletus di daratan juga harus diajari berenang dengan gaya apa pun dari gaya kupu-kupu, gaya katak, sampai gaya kadal. Yang penting ngambang. Anak-anak negeri harus diajari cara bikin perahu, dari perahu kertas mainan, perahu gabus, sampai perahu pinisi. Dan ITS --kalau masih ada-- harus menjadi tulang punggung pembangunan kapa-kapal canggih di Nusantara. Lalu pendidikan manajemen kesyahbandaran harus menjadi perguruan yang paling bergengsi di negeri ini, paling sering masuk dalam sinetron dan infotainment, minimal sama seringnya dengan kemunculan SBY atau Manohara di televisi.

Dari pandang mata empat kiblat di jagad gumelar Wisnu melihat Antasena masih sibuk membantu Wisanggeni, anak Arjuna yang memihak rakyat kecil. Dua pemuda urakan namun berhati bersih dan tidak bisa krama inggil ini membantu bank-bank perkreditan rakyat alias BPR yang hari ini megap-megap karena bank-bank umum termasuk yang dikuasai asing mulai boleh memasuki pasar mikro, kecil, dan menengah (MKM). Itu pun Antasena masih sempat-sempatnya menuju Jembatan Suramadu. Waduh gawat! Gawat!

Di sepanjang pesisir Antasena berpekik-pekik, ''Apa beda China bantu Suramadu dan Belanda dulu bantu orang Makassar tapi dengan perjanjian Bongaya, yang nglarang orang Bugis membuat kapal dan mematikan tradisi bahari.

Waduh gawat! Gawat! Pada saat yang sama Baladewa yang kalap juga menuju Suramadu. Nanti kalau Bima, ayah Antasena ndak terima, yo' opo...Perang gada Baladewa-Bima?

Se-oncat Batara Wisnu dari raganya Kresna langsung membisiki Gareng dan membuat instruksi. Semula Gareng mau minta uang transpor. Tapi Kresna ndak oke. ''Sudah lari saja ke Suramadu meski kakimu pincang,'' kata Kresna, ''Naik hercules nanti jatuh, naik helikopter nanti jatuh. Naik kereta api nanti tut tut tut siapa hendak anjlok...''

Cakrawangsa, ya Gareng itu, lari melaksanakan perintah Kresna. Ia suruh adiknya, Petruk, yang easy going dan cengengesan mencegat Baladewa. Bagong yang suka ngotot dan asal njeplak disuruh mencegat Antasena.

Baladewa: Petruk beeee de'remma, je' kal pokal jangan lang-ngalang lakuku ngajar si majenun Antasena nanti ta' kepruk ndasmu ambek gada Nenggala...

Petruk: Hehehe...sekarang kabeh wong pada puasa. Ndak pantes Sampeyan ngamuk-ngamuk koyo' ngono. Sampeyan yo ikut puasa sana. Tapa samadi nduk Grojogan Sewu sampai Lebaran nanti. Apa mlotat-mlotot!? Mau ngepruk kepalaku. Monggo. Tapi saya ke sini ini diperintah Prabu Kresna lho...

Baladewa: Wah,...mbok ngomong dari tadi Truk...Iya iya aku mau tapa ke Grojogan Sewu...

Baladewa panik langsung ngacir. Di tempat lain, di pesisir, Bagong mendorong-dorong tubuh Antasena mundur.

Bagong: Sudah sana. Ke laut. Negeri awake dewe iki masih negara bahari kok. Kita masih bisa renang, naik tongkang, naik feri, naik perahu, naik kapal. Kita masih bangsa pelaut. Aku pun masih seorang kapiten.

Antasena: Ndak ngono, Rek. Sudah ada Jembatan Suramadu. Tradisi kelautan kita bakal mate'.

Bagong: Itu kalau kita dari Jawa ke Madura. Namanya saja Surabaya-Madura. Suramadu. Itu jalan satu arah. Kalau kita balik dari Madura ke Surabaya, Madusura, belum ada jembatannya. Jadi orang-orang masih harus nyemplung lewat laut.

Tiba-tiba wajah Bagong tampak berubah jadi Thukul Arwana. ''Puas!!!? Puas!!!? Puas!!!?'' gertaknya.

Antasena ketakutan. Nyebur kembali ke laut, menyusul upacara 17 Agustusan di dasar Laut Bunaken. Siapa tahu tanggal 23 ini masih belum terlambat. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di
www.sujiwotejo.com
 

Episode 03 Anakmu Bukan Anakmu
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 30 Agustus 2009
 Image
Are' Suroboyo asli Wonokromo ini saben hari gonta-ganti kostum wayang orang. Dia tidak ngimpi jadi ketua umum Golkar. Perawakan-e saja sing mirip Surya Paloh. Brewok-e persis juga. Kadang brewok sa' kumisnya disemir putih. Terus nyandang kostum wayang Hanoman lengkap. Ambe' kostum serbaputih itu jalan-jalanlah dia sledrang-sledreng di Tunjungan. Jadi tontonan.

Pancen aneh-aneh. Kadang jambang, kumis ambe' jenggot-e diklimis-no. Pakai kostum Pandita Durna. Nongkrong di Blauran. Jadi tontonan. Cangkruk nduk depan Balai Pemuda pakai kostum Raden Burisrawa. Itu lho raksasa sing kedanan bojone Arjuna. Waduh, lalu-lintas Jalan Pemuda macet total persis ne' ada presiden mau lewat.

Tapi ada yang ngomong dia bukan asli Wonokromo. Kabar-kabur bilang lelaki separo umur ini wong Porong sing terusir lumpur Lapindo ngungsi di Lombok. Nduk Lombok dia frustrasi karena budaya gotong-royong ternyata sudah mati juga seperti di pelosok-pelosok lain. Masa' kalau greget gotong-royong itu masih hidup, ndorong ke laut ikan paus 12 meter sing terdampar saja nda' isa sampai akhirnya diiris-iris. Dimakan.

Aku dewe lebih yakin versi yang ini: Ndak pathe'en wong lanang itu asli Wonokromo, Porong, atau Gunung Argopuro. Pokoknya dia pengusaha tulen. Ndak kalah karo Pak Surya Paloh dan Mbak Tutut. Dia dulunya buka penyewaan kostum wayang orang dan ketoprak. Tapi orang-orang Nusantara wis ndak ada sing mau main wayang lagi. Wayang orang mati, bareng mati-ne ketoprak, kejet-kejete ludruk, dan lain-lain.

Ketimbang kostum itu nganggur, ya dia sewa sendiri saja. Moso' harus dijual juga kayak pulau-pulau di Mentawai, Sumatera Barat. Saweran orang-orang yang nonton dia di jalan-jalan, lima puluh persen dulu buat makan dan operasional. Sekarang 99,99 persen karena harga bahan-bahan pokok seperti gula wis naik-naik. Sisanya dicemplung-no ke bekas kaleng biskuit. Pura-puranya ongkos sewa nang awake dewe.

Yang hilang dari tempat penyewaan pakaian wayangnya cuma kostum Ponokawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Makanya ketika di bawah pohon randu dekat Pasuruan lelaki ini kepergok empat oknum pakai seragam Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, kontan dia tuduh mereka sebagai maling kostum-kostumnya. Tertuduh ndak ada yang ngaku. Hampir saja mereka ribut baco'-baco'an dengan lelaki yang berpakaian bagian atas Prabu Yudhistira bagian bawah Menakjinggo ini.

Yang berpenampakan Semar kasih jalan keluar. Ketimbang kita eker-ekeran, petuahnya, toh kita sama-sama orang laper, sama-sama pengangguran, mending kita ngamen saja mlipir ke timur sampai Banyuwangi. ''Ini masih pakem juga,'' tambahnya, ''sebab di wayang purwa ada lakon Semar Mbarang Jantur alias Semar Ngamen...Eling kan? Itu lho, lakon menjelang mantenan Arjuna dan Subadra..."

Gareng, Petruk, Bagong, dan Prabu ''Yudhis-Jinggo'' akur.

Ke timur, di Pasar Probolinggo, atas usulan Prabu ''Yudhis-Jinggo'' mereka membawakan fragmen ''Anakmu bukanlah anakmu''. Ini sebenarnya dicuri dari penyair dunia Kahlil Gibran. Intinya, Gibran wanti-wanti, anak kita itu lho, ndak full tenan jadi milik kita. Mereka punya cita-cita sendiri yang nda' isa kita setir. Mereka adalah anak-anak panah yang melesat dari busur-busurnya sendiri.

Sayangnya, bukan intisari itu yang sampai ke penonton. Orang-orang yang mengelilingi mereka seperti merubung tukang obat kuat. Mereka hanya mencuplik satu baris pertama, ''anakmu bukanlah anakmu''. Bagong sambil melotot-melotot terus saja cuma bilang itu. Petruk sambil cengengesan juga terus-menerus cuma bilang begitu. Semar, Gareng, dan Prabu ''Yudhis-Jinggo'' sami mawon.

Penonton, karena semuanya pengangguran dan belum sarapan, gampang panik. Mereka segera menghambur pulang nyecer istri, ''Dik, Dik, si' ta lah, anakku itu lho, sebetulnya anak siapa ya?'' Di jalan-jalan di pematang-pematang seabreg arek cilik cekikikan dikejar-kejar bapak resminya sambil ditanya, "Hoi, hoi, hoi, Le, koen sejati-ne anak-e sopo hoi ?"

Wah, wah, wah, sayangnya ini bukan zaman sepur kluthuk. Ini zaman kebangkitan perempuan. Perempuan diistimewakan. Wong di mal-mal saja ada parkir khusus buat perempuan kok.

Mendengar suaminya yang pengangguran itu datang-datang langsung punya kerjaan jadi jaksa penyidik, para istri ndak terima. Mereka berani mengganyang, lebih berani dibanding Indonesia ke Malaysia atau Singapura. Mereka ngamuk. Kota geger. Rombongan Semar Mbarang Jantur diusir. Petruk dan Bagong pengin bablas ke Jember, kota suaminya Krisdayanti, Anang. Ah, jangan ke selatan. Gareng ndak setuju. Katanya, nanti ae kalau Ca' Anang wis rukun lagi karo penyanyi Kota Batu itu. Maka, mereka terus terbirit-birit ke timur, ngamen di Pasar Mimbaan Situbondo. Kapok main fragmen soal anak, dibalik, mereka main fragmen soal ibu. Siapakah ibu itu sebenarnya?

Gareng berpikir keras. Anak sulung Semar ini mengingat-ingat syair lagu Ibu Pertiwi dan Ibu Kita Kartini. Sayang, dari keduanya Gareng kecewa. Ia tidak mendapat jawaban siapa ibu itu sebenarnya. Gareng hanya merasa dikasih tahu bahwa ibu itu orang yang air matanya berlinang dan mas intannya terkenang...bahwa ibu adalah pendekar kaumnya yang harum namanya.

Tapi siapakah ibu?

Semar bangkit. Katanya, "Reng, yang bisa menjawab awakmu itu lakon ketika Dewi Kunthi nanya ke anak yang dulu pernah dia buang terus dibesarkan oleh orang lain, yaitu pihak Kurawa. Anak itu Adipati Karno. Kunthi takon bukankah aku ibumu karena aku yang melahirkan kamu. Tegas jawab Adipati Karno, seorang ibu bukanlah orang yang melahirkan. Seorang ibu adalah orang yang merawat dan membesarkan....."

Oooo...Kunthi pingsan...Oooo Jagad dewo bathoro yo jagad pangestungkoro...

Langit merah. Petir menyambar. Tatkala itu televisi di toko elektronik dekat pasar kasih berita, Tari Pendet diaku milik Malaysia.

''Nah, itu contohnya," lanjut Semar sambil menuding ke televisi di dekatnya ngamen. ''Janganlah kita merasa menjadi ibu yang memiliki Tari Pendet hanya karena kita melahirkan Tari Pendet. Mari kita tanya pada jambulku yang bergoyang, apa iya kita sendiri sudah merawat dan membesarkan Tari Pendet?"

Semar kemudian terbata-bata mencoba-coba Tari Pendet. Yang lain jatuh bangun segera mengikutinya. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
 


Episode 04 Sepatu Jinjit dan Gempa Bumi
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 06 September 2009
ImageSampeyan perempuan? Seneng pake sepatu hak tinggi? Pelajari pengalaman wong-wong wedo' Jakarta dan Bandung pas gempa kemarin. Gara-gara pakai high heel turun tangga dari lantai 7, lantai 8, lantai 13, dan seterusnya, kunang-kunanglah mripat mereka sampe nduk lantai dasar. Ada yang semaput. Ada yang besok paginya masih sambat pegel-pegel boyo' dan pinggang-e.

Sa'benernya ndak pake ada goyang bumi, wong-wong wedo' itu wis mudeng. Mudeng bahwa sepatu jinjit pancen bikin repot. Sopir-sopir pribadi pasti tahu, rampung melenggang anggun pake sepatu tumit tinggi dalam pesta, ibu-ibu langsung ngelepas itu di mobil. Nafas mereka sedikit melar-mingkus, lalu ganti sandal jepit.

Nek ndak percoyo buntuti saja bos-bos perempuan dari ruang pertemuan ke ruang kerja pribadinya di satu lantai atau satu gedung. Pasti beliau pas masuk ruang kerjanya dewe langsung lukir high heel-nya dengan sandal saja atau malah nyeker.
Ponokawan Petruk sering dicurhati Arjuna. Katanya penengah Pandawa ini lebih suka istri sing nganggo sepatu rendah saja pas nang pesta. Tampil pakai sepatu hak tinggi pancen cantik. Tapi habis itu lho...Habis itu... pas wis pulang, di atas ranjang, otot-otot pinggang dan pinggul mereka wis ndak lentur lagi, sudah ndak hot lagi. Bojone gigit jari.

''Demi cantik di depan umum,'' kata Dewi Kunti, ''Perempuan memang rela menyiksa dirinya sendiri.'' Ibu para Pandawa itu hanya menyayangkan, kelak kaumnya terlalu peduli pada pandangan umum. ''Keperluan'' suami dikorbankan. Mereka juga terlalu pusing ambe' wujud fisik dandanan. Bukan falsafah dandanan.

Lihatlah kemben alias korset Dewi Drupadi, madu Dewi Kunti. Itu ndak cuma bagus wujudnya. Falsafah dan khasiatnya...wah. Berkali-kali Dursasana dan bala Kurawa ngudari kain Drupadi. Mereka bakal rame-rame memerkosa sang Dewi. Bolak-balik gagal. Ujung kemben tetap mereka tarik gotong-royong berlarian kayak dari Tuban ke Lamongan sampai sang Dewi berputar seperti gasing. Tapi saking saktinya kemben, masih juga kain yang meliliti tubuh Drupadi itu tak habis-habis.

Bener lho...

''Alah alaaaah...Jangan Sampeyan reken omongan perempuan,'' kata Gareng, kakak Petruk. Anak tertua Semar sing paling seneng mikir ini punya alasan. Katanya, Kunti yang bolak-balik omong perkara moral nyatane juga ndak jegos ngurus moralnya dewe. Eling? Dengan pelet Aji Cipto Wekasing Roso Sabdo Tunggal Tanpo Lawan, ibu Pandawa ini punya pacar gelap Batara Surya. Dia ngandung anak di luar nikah. Melahirkan. Terus bayi itu dibuang. Dia kelak jadi anak temon yang dipiara Kurawa. Namanya Karno.

Ma' jleg Bagong datang kayak biasa-ne. Mata-ne melotot-melotot. Dengan sangat polos tapi mendasar, bungsu Semar ini marah-marah nang Gareng. ''Awakmu sok tahu perkoro perempuan,'' sergah Bagong. ''Sopo sing ngomong Kunti itu bobrok moral-e. Sopo sing ngomong Drupadi ndak mau di-anu ambe' Kurawa. Dan sopo sing ngomong perempuan itu tersiksa ne' pake sepatu hak tinggi...Belum tentu...belum tentu...Perempuan susah ditebak. Maksud hatinya bahkan dia sendiri juga nggak tahu...''

Melihat kegigihan dan kengototan Bagong siang itu, di bawah pohon sawo kembar, di pelataran padepokan Semar, Klampis Ireng, saya jadi teringat penggalan sajak almarhum Rendra:

...Perempuan bagaikan belut

Meski telah kau kenali segala lekuk liku tubuhnya

Sukmanya selalu luput dari genggaman...

Suasana Klampis Ireng saat itu jadi kaku. Gareng ndak kunjung menanggapi Bagong. Kedatangan Petruk pun tak kunjung mencairkan suasana. Seribu pelawak Kartolo diterjunkan ke situ juga nggak bakal nolong suasana. Bagong akhirnya bengak-bengok membawakan puisi yang ditulisnya sendiri di Jombang tentang are' wedo':

Dalam laut dapat diduga

Dalam celana siapa tahu

Apalagi di dalam kalbu perempuan

Kita tambah ndak ngerti opo-opo...lholak lholok

Kenapa perempuan kalau dicium kok selalu merem?

Petruk: Karena perempuan menghayati. Bedo karo wong lanang sing main sludrak-sludruk asal cium tanpa curahan jiwa.

Gareng: Sebab ndak kuasa menggambarkan betapa indah dan nikmatnya cinta. Maka perempuan terpejam pas dicium.

Bagong: Itu bisa betul bisa kliru, Goblok! Tapi bisa juga perempuan tutup mata kalau disun, karena mereka membayangkan laki-laki yang lain-lain lagi.

Wah, Gareng jadi inget. Istrinya, Dewi Sariwati, waktu diambung Gareng tidak merem tapi matanya malah nyambi baca koran. Masuk akal juga saat merem pas dicium, kaum perempuan itu mengingat-ingat bacaan di koran, umpama-ne bertanya-tanya kenapa kok sedekah ke wong mis wong mis di Jakarta malah dihukum Perda 8 tahun 2007 -yang mau keluar di angka togel nanti apa 82007 apa 67 (dari Rp 6,7 triliun yang dirampok dari Bank Century) atau 73 (dari 7,3 skala Ritcher gempa di Tasikmalaya).

O ya, sampe lupa. Semar sebenarnya dari tadi juga ada di bawah sawo kembar itu. Lupa saya sebut karena dia diem saja. Sekarang orangnya sudah mulai ngomong sambil terkekeh-kekeh:

''Saya kemarin malam ketemu Batara Hananta Boga di Bromo. Itu lho dewa yang dinasnya menyangga bumi. Hananta Boga batuk, bumi gempa. Boga mulet, bumi gempa. Boga kepingkel-pingkel, bumi gempa. Ta' tanya ke Boga kenapa kok batuk, mulet dan tertawanya nggak bisa diprediksi? Kenapa kok kawruh dan ilmu pengetahuan paling mutakhir pun ndak bisa meramal kapan terjadi gempa?

Kenapa gempa jauh lebih ndak iso diramalkan ketimbang perempuan-perempuan seperti (Badai) Isabel (2003), Donna (1960), Camile (1969), Gabrielle (1989), Ella (1978), Gerda (1969), Debbie (1982), termasuk sing paling dahsyat Katrina (2005) dan Ike (2008)?

Oh, thole, Garong, Petro dan Baong, apa jawaban si Bapak Bogasari itu, eh, si Tata Boga, eh, si Jasa Boga? Begini jawab Hananta Boga: Hahaha...Eyang Semar, biar kaum perempuan juga tahu, bahwa bukan cuma perempuan yang nggak bisa ditebak, bahwa bukan cuma perempuan yang nggak bisa diramalkan. Hahaha...

Ooo...jumangkah anggro sru susumbar lindu bumi gonjing...

(Semar lan para putro pun hanya bisa berbela sungkawa atas musibah gempa yang melanda bumi Parahiangan. Para petinggi nggak perlu mereka iringi ke lapangan. Mereka tetep di ibu kota, karena pemilu sudah lewat.)

*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 05 Balada Penculikan Bagong
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 13 September 2009
  Image
INI musim mudik.

Plonga-plongo pas nunggu pesawat telat sudah lumrah. Morang-moring lantaran nunggu pesawat delayed juga sudah jamak. Ngorok juga wis biasa. Apalagi nglamun. Wis sa' arat-arat wong nglamun sambil nunggu pesawat ndak mabur-mabur. Mata mere­ka bisa mene­rawang jauh ke landasan pacu atau mentheleng ke koran di depan hidung, tapi pikirannya menclok-menclok ke mana ya embuh.

Mata mereka bisa membaca mangkirnya para anggota DPR sehingga sidang tidak kuorum. Yang mangkir bukan saja yang frustrasi gak kepilih lagi pas pemilu lalu. Yang kepilih lagi pun masih mangkir juga. Aduh. Tapi pikiran pembaca itu mungkin ke istrinya, kenapa kok akhir-akhir ini kalau ngangkat handphone agak malu-malu, ya? 

Nglihat perempuan-perempuan ayu petugas ruang tunggu diomel-omeli bapak-bapak juga sudah umum. Tapi terkatung-katung menantikan keberangkatan pesawat sambil nglindur mungkin menarik juga.

Dongeng saya pekan ini adalah lakon yang diutarakan orang nglindur. Bapak-bapak ini nglindur di pojok ruang tunggu bandara pada musim mudik Lebaran

Katanya, Dewi Sinta ndak pernah diculik Rahwana. Sok tahu dan salah kaprah lho nyebut putri Mantili bojone Prabu Rama itu diculik Rahwana. Juragan raksasa dari negeri Alengka itu jan-jane cuma nyulik ponokawan Bagong.

Kronologinya gini. Sebelum diculik, Sinta diumpet-no Prabu Rama, terus Rama mendandani Bagong hingga mirip Sinta. Lha Rama itu kan titisan Batara Wisnu, dewa penguasa harmoni alam semesta. Sakti. Misalnya, sekarang pengin jadi ketua MPR, sekarang juga dia bisa jadi ketua MPR. Ndak perlu repot-repot kayak Pak Taufiq Kiemas dari PDI-P, partai yang nggak jadi penguasa tapi juga nggak sido jadi oposan. Ndak usah minta dukungan Partai Demokrat untuk bersaing melawan calon ketua MPR dari PKS.

Kapan persisnya anak Prabu Rama pengin dilahirkan, ya pada saat itulah istrinya akan bruuol...bersalin. Ndak usah pakai operasi caesar kayak istri Adjie Massaid, Angelina Sondakh sehingga babaran dipersiskan pada tanggal 9 bulan 9 tahun 09. Ndak susah ndandani anak bungsu Semar itu ujug-ujug plek persis Sinta. Jadi sing digondol Rahwana mabur itu sebetulnya ya cuma si gedibal Bagong alias Bawor itu.

''Maaacak ciiiih (masa' sih)?'' tanya salah seorang pramugari yang mulai merubung si pelindur itu.

''Lho, dibilangi kok ndak percoyo,'' respons si ahli lindur sambil tetap pulas. ''Hare gene...di Indonesia, kalau nggak percaya omongan orang ngelindur, Sampeyan ayu-ayu gini mau percaya omongan siapa lagi...''

Yang sudah benar ndak salah kaprah itu, lanjut si pelindur, adalah nama Argo Suko, taman yang diduga sebagai tempat Sinta disembunyikan di Alengka. Asrinya jauh melebihi Taman Safari dan Mekar Sari. Tapi yang tertawan di situ sebenarnya Bagong. Wong lanang. Makanya overacting sebagai perempuan. Jauh lebih lembeng dan kemenyek ketimbang Sinta.

''Tapi eh Mas, Mas Lindur, tapi suara Sinta gadungan itu apa ya perempuan banget bagaikan suara saya,'' tanya pramugari lain yang suaranya renyah dan seksi. Kabarnya dia akan dinobatkan sebagai pramugari terjelas kalau kasih pengumuman di pesawat. Logat serta aksen bahasa Indonesia-nya tidak di-Inggris-Inggris-kan seperti umumnya pramugari dan penyiar televisi kita.

Tokoh lindur kita melanjutkan, ''Woooh...Lha wong yang menyulap Bagong jadi Sinta itu Wisnu, ya abrakadabra sim salabim suaranya juga persislah, masa' persis dong, suaranya diolah, masa' diodong...''

Cuma, lanjut sang pelindur, dasar Bagong, orangnya crekel, ngototan. Ponokawan ini paling susah diatur. Ya sekali-sekali sebagai Dewi Sinta yang lemah lembut, tetep saja dia menceplos­kan suara khasnya sendiri yang serak, berat, dan sember.

Pada kunjungan pertama ke taman itu untuk memadu asmara, Rahwana kaget mendengar suara ''Sinta'' tiba-tiba membesar seperti suara Bagong. Rahwana balik kanan. Kunjungan kedua begitu juga. Rahwana terpental balik kanan. Pada kunjungan ketiga, keempat, dan seterusnya, Rahwana alias si Dasamuka itu balik kanan lari terbirit-birit mendengar ''Sinta'' berubah suara sambil matanya mendelik-delik.

Akhirnya anak tertua Dewi Sukesi itu tak pernah berkunjung lagi ke taman Argopuro, eh Argo Suko. Apalagi belakangan Rahwana semakin larut dalam kesibukan di negaranya menangani pro-kontra UU Perfilman Alengka.

Kakak Kumbakarno, Wibisono, dan Sarpokenoko itu pusing. Sebagian insan perfilman Alengka bengak-bengok. Kata mereka, UU yang baru ini sangat memberatkan. Masa' sudah diperlukan izin dari pejabat yang berwenang sejak penulisan skenario dan siapa-siapa saja yang bakal memproduksinya? Masa' izin produksi berlaku cuma tiga bulan dan hangus kalau film belum selesai? Bagaimana kalau di tengah jalan produksi film itu kehabisan dana? Masa' sih adegan merokok dan memakai narkoba dilarang? Bagaimana kalau kita mau bikin film tentang bahaya merokok dan penyalahgunaan narkoba kalau ndak ada adegan tentang itu?

Di luar soal perfilman, Rahwana juga ndak srantan mberesi urusan para koruptor di Alengka yang pada pusing, ngelu. Ngelu-nya, garong-garong negara itu bingung. Sebenarnya yang menangani kasus mereka itu polisi apa KPK-R (Komisi Pemberantasan Korupsi Raksasa). Kok di Alengka ini kadang pemberantasan korupsi dilakukan oleh Sarip Tambak Oso. Kok kadang di Alengka ini penanggulangan korupsi diprakarsai Sawunggaling. Waduh, berarti amplopnya dobel, Rek.

Para pramugari yang mengerumuni pelindur protes. Jangan salah lho. Meski pengucapan bahasa Indonesia mereka kebarat-baratan, mereka tahu persis Alengka dan Sarip itu beda. Alengka departemen wayang. Sarip dan Sawunggaling departemen ludruk.

''Ya ndak popo to campur aduk, namanya juga orang nglindur,'' kata si pelindur masih tetep pulas sambil, maaf, menyeruput liurnya sendiri. ''Kapan-kapan Rahwana ta' temukan ngobrol dengan Mas Dahlan Iskan kan juga ndak popo? Kan aku nglindur...?''

Yang menarik, lanjutnya, adalah kata-kata Bagong melalui pelayan taman ke seluruh warga Alengka. Bagong bilang mereka tidak usah pusing mikir segala peraturan dan undang-undang. Belajarlah dari Indonesia. Peraturan dan undang-undang boleh ke mana, toh nanti praktiknya juga bisa ke mana-mana. Selalu ada terobosan dan ''jalan samping''. Pagar rel kereta api pasti ada bolongannya buat kita nerobos. Percayalah. Masa' percaya deh. Sekolah, masa' sekodeh.

Akhirnya penduduk Alengka tenteram mendengar ungkapan ''Sinta'' melalui mulut ke mulut. Untung Dasamuka salah culik. Bagong masih ingin ngomong, tapi sudah ada panggilan keberangkatan pesawat. Para pramugari beranjak dan membangunkan si pelindur.

''Saya tadi ngorok ya?'' kata si pelindur geragapan. ''Yes, yes, ngorok,'' kata salah seorang pramugari, ''but ngoroknya pake story...as long as Anyer to Panarukan...interesting...(kepada rekan-rekannya)...Aduh Garby, semoga bapak ini selalu naik pesawat kita and I hope pesawat kita always terlambat ya...'' ***

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com


Episode 06 Dendam Perempuan, Waspadalah!
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 27 September 2009
Semar lari ngos-ngosan di padepokannya, Klampis Ireng. Ketua umum Partai Panakawan Seluruh Indonesia itu sampai bablas ke padepokannya yang lain, Karang Kadempel. Usut punya usut, gara-garanya sepele. Dia tidak mau disembah istrinya, Dewi Kanastren. Itu saja. Jadi pas Lebaran kemarin, Semar sedang duduk sambil makan tape ketan. Begitu keng garwo jongkok mau nyungslep di antara kedua lutut Semar, pada saat itulah ia ngacir sembari nangis.

Padahal apa kurang enaknya disembah. Dijuluki ''Paduka Yang Mulia'' saja wis seneng kok. Apalagi disembah. Sama saja dijuluki ''Bapak Pembangunan'' saja sudah hepi kok. Opo maneh disungkemi. Awalnya Soekarno itu cuma dipanggil ''Bung'', podo karo Bung Tomo. Lama-lama ya...itulah...''Paduka Yang Mulia''.

Sekarang zaman-e apa sudah beda dengan zaman ''Bapak Pembangunan'' HM. Soeharto? Alah Reeeek, Rek, eling waktu musim kampanye kemarin...Pas debat presiden aku wis seneng moderator manggil ''Saudara'' ke para calon presiden.

Tenan aku seneng. Panggilan ''Saudara'' itu kan podo karo sapaan ''Cak'' nduk Jawa Timur. Penuh semangat kesejajaran. Apalagi katanya sekarang zaman serbasusah. Kanggo mrantasi seluruh problem tambah diperlukan lagi kebersamaan rakyat dan pemimpin. Persis waktu Bung Tomo dulu memimpin arek-arek Suroboyo ngadepi musuh. Pemimpin cuma diceluk ''Bung''.

Eh, di putaran berikutnya debat calon presiden itu moderator sudah nggak boleh lagi panggil ''Saudara'' ke para calon presiden. Moderator harus panggil ''Bapak'' atau ''Ibu''. Kesimpulannya, wolak-waliking zaman orang sekarang seneng kok diluhurkan. Apalagi disembah-sembah. Lha kok sekarang Semar malah lari meninggalkan Dewi Kanastren yang masih dalam posisi sungkem bagai patung di bekas kursi Semar. Manohara masih mending, ucapan met Lebarannya gak direken karo bojone. Ini sungkem ditinggal.

''Lho, Reng, Gareng, awake dewe kan podo-podo manungso... Aku ini bukan dewa. Aku misal-e ndak punya kuasa untuk bagi-bagi uang dan makanan Lebaran sambil ngguya-ngguyu mandang korban yang desel-deselan. Bathara Ismaya memang dewa, Reng, Gareng, tapi aku sekarang sedang tidak jadi Bathara Ismaya, aku sedang jadi Semar,'' katanya kepada anak sulungnya itu ambe' napas-e Senin-Kemis. Maklum jogging cukup jauh dari Klampis Ireng ke Karang Kadempel, yo kiro-kiro Kenjeran nang Rungkut.

Hong wilaheng lalu seperti biasa Gareng mulai berpikir keras. Kenapa kok bodo ini Semar ndak mau disembah istrinya. Kalau Bagong malah seneng banget Semar dleweran keringet. Bungsu Semar ini memang nggak mau mikir berat-berat. Tapi dia selalu mikir positif. ''Biar Romo sehat,'' katanya. ''Sudah lama Romo tidak pernah lari pagi. Asam uratnya sering kambuh. Kolesterolnya makin tinggi.''

Petruk juga masih seperti tabiatnya semula. Anak kedua Semar ini nggak terlalu percaya ke hampir semua hal. Hampir semua hal oleh Kantong Bolong alias ''Masuk Telinga Kiri Keluar Telinga Kanan'' ini cuma ditertawakan. Katanya sambil mesam-mesem, ''Kalau bener asam urat itu bahaya, pohon melinjo pasti wis mati bongko kabeh. Cumi-cumi pasti kaku-kaku linu-linu terus matek. Apalagi kambing. Bayangkan wedus itu seluruh badannya ya kolesterol kabeh, tapi masih pencilakan lari mrono-mrene. Buntutnya juga megal-megol terus. Ndak ada capeknya. Baru anteng kalau sudah jadi sate.''

Hong wilaheng tapi dasar Gareng. Mau Bagong dan Petruk ikut terlibat dalam perenungannya atau tidak, Cakrawangsa alias ''Pengikat Seluruh Keluarga'' ini ndak peduli. Gareng alias Pancal Pamor tetap berpikir, kenapa kok bapaknya, Badranaya, Lebaran sekarang tak mau disembah lagi oleh istrinya. Padahal riayan-riayan dulu beliau pringas-pringis mbagusi kesenengen kalau disembah sang belahan jiwa.

Jangan-jangan, pikir Gareng, si Badranaya alias Nayantaka ini sudah punya selingkuhan. Nah lantaran berselingkuh, lantaran merasa bersalah, beliau tidak kuasa menerima sembah dari istrinya. Gareng mulai meneliti kira-kira siapa saja perempuan yang menjadi tipe atau idola Semar di seluruh negeri.

Gareng browsing pusaka kiai internet. Ternyata terkumpul 67 perempuan suspect selingkuhan. Mereka terdiri atas murid-murid spiritual Semar. Wah, guru juga bisa sir-siran karo murid? Lhooo yok opo se Rek. Percintaan guru dan murid bukan hal tabu dalam sejarah. Umpama-ne Arjuna jatuh cinta mbare' murid manahnya, Srikandi, atau mbare' murid manahnya yang lain yang lebih mahir ketimbang Srikandi tapi kalah ngetop, yaitu Dewi Larasati, sing terus jadi istrinya yang ke-41.

Dan, dari browsing pusaka kanjeng internet itu Gareng juga memperoleh 126 perempuan remaja seusia Shireen Sungkar dan Asmiranda berpotensi jadi pacar gelap Semar. Emang daun-daun muda usia SMA itu mau ngladeni orang bangkotan kayak Semar? Lho, kata Gareng, menyitir teori para psikolog, justru orang-orang tua seusia Semar itu didambakan. Untuk urusan olah asmara wuaah mereka teramat didambakan dalam hal after play.

Ketahuilah, kata Gareng, bahwa sesungguhnya setelah mencapai puncak, perempuan itu turun seperti gunung yang landai. Tidak seperti lelaki yang turunnya terjal. Perempuan harus terus ditemani pelan-pelan turun. Hanya orang-orang tua seperti Semar yang telaten mendampingi dan membimbing perempuan itu turun perlahan-lahan. Laki-laki muda seusia Rezky Aditya hanya menggebu-gebu pas foreplay. Tapi setelah tercapai puncak, mere­ka langsung bablas ngorok.

Itulah spekulasi Gareng.

Padahal, yang sejatinya terjadi, Semar tak punya selingkuhan. Gareng terlalu ngombro-ombro. Yang sejatinya terjadi, pas Dewi Kanastren nyembah Semar, kontan Semar teringat lakon Dewi Amba dari Kerajaan Kasi. Semar teringat, Oooo...perempuan kalau sudah punya dendam susah hilang meskipun raganya tampak meminta maaf bahkan menyembah.

Alkisah Kerajaan Kasi nggawe sayembara perang. Barang siapa unggul akan dianugerahi putri Kerajaan Kasi alias Giyantipura. Pemenangnya Dewabrata yang kelak terkenal bernama Bisma. Tapi setelah menang sayembara, Dewabrata yang sakti ingat akan sumpah wadatnya alias tidak akan pernah menikah sepanjang hayat. Maka batallah ia menikahi Amba malah menikahkan Amba pada orang lain.

Amba misuh-misuh. Fasih dan ceplas-ceplos sekali perempuan cantik ini mengumpat meski bukan asli Jawa Timur. Oooo bertapalah ia sampai mati. Hanya satu tujuannya, Ooo...kelak harus sanggup membunuh Bisma, perwira sekaligus brahmana dari Talkanda yang kesaktiannya tanpa tanding. Senopati Pandawa, Srikandi, sebenarnya tak akan sanggup membunuh senopati Kurawa itu jika di medan laga Kuru Setra roh Srikandi tidak disusupi oleh arwah Dewi Amba.

Tapi, Oooo...sik sik, Rek, apakah dendam Dewi Kanastren pada suaminya, Semar? Biarlah itu menjadi urusan Gareng yang bia­sanya mengatasi masalah dengan masalah. Biarlah Gareng berpendapat, setiap istri pasti punya dendam pada suaminya. Dalam perkara ruwet seperti ini, kita mikir yang enteng-enteng saja, mBagongi dan Metruki sajalah...

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com


Episode 07 Wakil Rakyat Klampis Ireng
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 04 Oktober 2009
Image
Bagong bersedih. Tiba-tiba ia kepilih jadi wakil rakyat. Pelantikannya ya baru kemarin, sehari sebelum Unesco mengakui batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.

Makanya, berbeda dibanding wakil-wakil rakyat lain yang pakai jas walaupun di negara tropis, walaupun panasnya kayak gini, Bagong lebih memilih pakai batik.

''Dulu Nelson Mandela yang mimpin Afrika Selatan saja gemar batik, masa' kita malah ikut-ikutan bule mengenakan jas? Jas itu kan mestinya untuk di tempat-tempat yang hawanya dingin.''

Itu biasanya nasihat yang kerap didengarkan Bagong, bungsu Semar. Makanya, sejak tiga hari sebelum pelantikan ia rajin keluar masuk Pasar Klewer di Surakarta, mencari berbagai motif batik yang kira-kira cocok untuk dibaiat menjadi wakil rakyat.

''Kok nggak pakai jas saja. Memang iklim kita ini tropis. Tapi kan bisa pakai AC,'' kata teman-teman Bagong.

Ya justru itu. Bagong nggak mau yang dingin cuma ruangan-ruangan dalam, tapi lingkungan luar makin tambah panasnya. Bagong nggak mau ikut dalam menambah panas lingkungan karena penggunaan AC.

Apalagi belakangan ini listrik sering mati. Di kota praja banyak perempuan keramas di salon, tiba-tiba pas pengeringan rambut listrik mati. Ke salon pengin cantik. Pulangnya malah acak adul. Nanti bagaimana kalau listrik makin sering mati dan AC gak nyala. Pasti kalau pakai jas, Bagong tambah kepanasan.

Tak heran Bagong meninggalkan jas. Ia lebih memilih batik. Batik akhirnya sudah diperoleh adik Petruk dan Gareng ini. Motifnya kawung, digabung dengan parang garuda dan parang rusak. Muncul juga sedikit motif sido mukti di beberapa aksennya. O ya, ada sedikit nuansa motif mega mendung dari Cirebon.

Gabungan motif-motif dari berbagai daerah itu, termasuk motif pagi sore dari Pekalongan, mestinya membuat Bagong sumringah. Karena mencari di belahan dunia mana pun, tak bakal ada. Yang dipakai Bagong saat pelantikan wakil rakyat itu mungkin satu-satunya di dunia.

Belum lagi ada sentuhan warna-warni Batik Madura di sana-sini.

Bagong harusnya semakin percaya diri dengan batik uniknya itu. Apalagi partai Bagong menjanjikan akan menyekolahkan Bagong ke kursus singkat menjadi wakil rakyat, semacam bimbingan yang diberikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie kepada para anggota DPR terutama dari kalangan artis.

Itupun nggak membuat Bagong hepi. Karena menurut Bagong, mau pakai batik atau jas wakil rakyat itu tetap sama. Yaitu, mereka lebih rendah dibanding rakyat yang sudah rendah. Namanya saja wakil.

Wakil rektor masih mendingan. Karena rektor jabatan tertinggi di kampus. Menjadi wakil rektor tentu masih tinggi. Begitu pula wakil kepala sekolah, wakil Kapolri, wakil presiden. Nah, kalau wakil rakyat?

Berarti sebagai wakil rakyat, Bagong akan disuruh-suruh oleh rakyat. Kalau perlu rakyat boleh memarahinya. Dan yang paling penting, menurut Bagong, mulai besok pagi dia harus kursus, si samping kursus yang dibikin oleh Jimly.

Bagong akan kursus bahasa Jawa kromo inggil. Selama ini, ketika masih berkedudukan tinggi sebagai rakyat, Bagong cuma bisa bahasa Jawa ngoko. Tapi, karena mulai besok ia turun pangkat menjadi wakil, mau gak mau dia harus bisa bahasa Jawa kromo inggil. Bahasa kromo inggil, artinya komunikasi dengan penuh penghormatan, menurut Bagong harus dipakainya ketika berdialog dengan tokoh yang diwakilinya alias dengan atasannya, yaitu kita.

Ketika Bagong naik mobil wakil rakyat nanti, berpapasan dengan rakyat yang sedang perlu mobil, misalnya karena istri rakyat itu akan melahirkan, ya Bagong harus turun dari mobil dan menyerahkannya kepada calon ayah tersebut.

Masyarakat pada arus balik Lebaran boleh mengajak siapa pun keluarganya di udik untuk ikut ke kota praja. Rakyat nggak perlu takut saudaranya itu akan jadi gelandangan di kota praja. Datang saja ke rumah wakilnya, yaitu Bagong. Panakawan ini harus mau keluar rumah, agar rumahnya bisa diisi oleh atasannya, yaitu calon gelandangan tersebut.

Dan banyak lagi perkara yang bikin Bagong bersedih. Petruk dan Gareng, kakak Bagong, berkali-kali menghibur Bagong. Kata mereka, enak lho jadi wakil rakyat. Polisi dan petugas penegak hukum lainnya gak bisa seenaknya menangkap Bagong. Diperlukan izin khusus dari raja bila polisi ingin menangkap Bagong.

Bagong heran dengan hiburan jenis itu. Menurutnya, dia tergerak untuk menjadi wakil rakyat bukan karena ingin mencuri atau merampok atau melakukan perkara kriminal lainnya. Jadi, menurut Bagong, perlindungan raja dari petugas penyelidik dan penyidik tak dia perlukan.

Kocap kacarita, raja Darawati Sri Kresna akhirnya dari kejauhan mendengar kesedihan di Klampis Ireng, padepokan Semar dan anak-anaknya. Kresna mengirimkan anak yang paling disayanginya, Raden Samba, menuju Klampis Ireng menemui Bagong.

Raden Samba yang tampan dan selalu berpakaian gemebyar tak diberi pesan apa-apa oleh Kresna. Samba bingung. Pokoknya, kata Kresna, Samba hanya datang saja memperlihatkan dirinya di depan Bagong. Habis itu Samba boleh pergi.

Hanya Raden Setyaki, paman Samba, yang menyertai kepergian ksatria dari Parang Garuda ini, yang tahu maksud Kresna. Kresna ingin memperlihatkan betapa menariknya harta benda kepada Bagong. Harta benda berupa perhiasan dan pakaian itu lengkap ada pada Raden Samba yang kebetulan juga tampan.

Harapan Kresna, Bagong bisa hepi dilantik jadi wakil rakyat karena Bagong sudah bisa membayangkan enaknya harta benda.

Apakah dengan kedatangan Raden Samba yang gemerlapan ini kemudian Bagong berubah jadi riang, membayangkan keadaannya kelak sebagai wakil rakyat?

Wah, kedatangan Raden Samba yang bukan wakil rakyat itu belum terjadi. Dan saya bukanlah ayahnya, yang tahu peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. (*)

* Sujiwo Tejo , tinggal di www.sujiwotejo.com




Episode 08 Togog Mbilung, Riwayatmu dulu …
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 11 Oktober 2009
Image
Togog nganggur. Rasakno. Modar. Kapokmu kapan. Lagi pertama ini Panakawan yang biasanya bekerja untuk kaum oposisi itu nggak onok gawean. Mulutnya yang lebih lonjong ketimbang mulut bebek makin lonjong saja. Maklum, lha wong posisi sudah tidak ada lagi. Semua partai berubah jadi mendukung partai penguasa. Togog kecut, Rek.

Tambah mumet lagi istri Togog. Saben hari lihat bojo-nya thengak-thenguk nduk depan pintu rumah, dengan matanya yang melotot tapi ngantuk, dan bibir lonjongnya yang semakin ndoweh. Malu sama tetangga-tetangga. Ada tetangga yang naik sepeda sampai berhenti dan turun. Dia tanya, "Mas Togog sedang cuti to kok tiap pagi ndlahom di depan rumah?"

Togog sebenarnya bisa tahan disapa tetangga secara nyelekit seperti itu. Tapi istrinya yang nggondok. Apalagi ketika ada tetangga anyar, turun dari mobil pas mau pergi ke mana gitu, tanya ke istri Togog. ''Permisi,'' sapanya, ''Bu, Bu, celengan ibu yang tiap hari ditaruh di depan pintu ini apa memang mau dijual?''

Mbok Togog mencak-mencak. Wah, kalau waktu itu tidak sedang ada mobil patroli polisi yang lewat pelan-pelan di depan rumah Togog, sudah habis tetangga baru itu diinjak-injak oleh Mbok Togog.

Togog menenteramkan hati istrinya. ''Sudahlah, Mam," kata Togog, ''Jangan marah. Ndak papa suamimu yang ngganteng ini dianggep celengan. Orang sabar itu jembar rezekinya..."

''Lho, Kang Togog, aku marah-marah prasamu karena orang majenun itu menghina kamu? Bukan. Sampeyan dianggep celengan ya aku ndak patheken. Olaopo aku marah. Aku muntab karena kesel kok di zaman serbasusah seperti ini masih saja ada orang yang bisa-bisanya nabung...Sombong sekali orang itu..."

Togog hampir saja marah disembur istrinya seperti itu. Tapi ia segera teringat omongan pelawak Kartolo, bahwa orang marah itu ibaratnya menggendong buto, menggendong raksasa. Apalagi istrinya yang selama Togog nganggur ini mukanya sudah ditekuk terus baru saja marah-marah soal rencana kepergian Togog. Ditambah marah soal celengan, bisa-bisa istrinya histeris kalau melihat Togog ikutan marah.

Soal rencana kepergian Togog yang didamprat istrinya itu begini. Tadi sekali, sebelum ada tetangga ribut soal celengan, Togog permisi hendak pamit mau ke pasar. Maksud Togog daripada dia ngganggur di rumah terus karena sudah tidak ada lagi oposisi, sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai lapangan pekerjaan, lebih baik dia keluar rumah. Ini agar istrinya tidak malu sama tetangga punya suami klentrak-klentruk.

Eh, belum selesai kalimat pamitan sang Togog, istrinya sudah menyambar. ''Buat apa pergi ke pasar???'' kata sang istri, ''Di pasar itu sudah banyak orang. Sudah ramai. Ndak ada gunanya. Kalau Sampeyan mau ngramek-ngramekno tempat pergi ke tempat-tempat yang masih sepi. Ke dalam sumur. Ke dalam laut.''

''Lho, Dik, aku ini pergi bukan untuk ngramek-ngramekno pasar. Namanya pasar yo mesti wae ramai. Sing sepi iku nek gak kuburan yo Pulau Ambalat. Aku ini ke pasar justru mau menukarkan kopiah yang kamu belikan dulu, yang nggak pernah kepakai karena kekecilan, kepalaku nggak bisa masuk. Padahal sekarang ini pas lagi nganggur, pasti kita sudah tidak kebeli lagi kopiah."

''Nggak usah ke pasar. Sampeyan itu kakean pertingsing, kakean polah. Kopiah kekecilan ndak usah ditukar. Sekarang kepalamu saja dikecilin!!"

Wah, kalau istri Togog sudah seperti itu, suaminya tidak berani meneruskan pertengkaran. Togog hanya mencari akal lain. Ia bersama sahabatnya yang juga sama-sama kehilangan kerja akibat sirnanya kaum oposisi, yaitu Mbilung, kompakan. Suatu hari Mbilung berpakaian satpam datang menjemput Togog plus membawakan seragam pakaian satpam. Togog pamit ke istrinya sudah keterima menjadi satpam Bank Century yang kabarnya sudah ditutup.

Mbilung tanya, ''Lho nanti kalau Mbak Yu tanya kan Bank Century sudah tutup...Yok opo?"

''Ah, dia tidak akan tahu Bank Century masih ada atau tidak," kata Togog kalem, ''Karena dia itu perempuan biasa. Belum pernah jadi menteri keuangan.''

Pulang dengan masih memakai baju satpam, Togog membawa uang, seolah-olah itu uang honorarium. Wah, istri Togog senang sekali. Besoknya lagi Mbilung datang dengan pakaian jaksa plus membawa seragam kejaksaan buat Togog. Togog berangkat de­ngan pakaian kejaksaan. Pulang membawa duit. Istri Togog juga senang.

''Nah, itu baru laki-laki, Kang, baru manusia, bukan celengan," pujinya.

Besoknya lagi Mbilung datang berpakaian polisi. Ia membawakan pula pakaian polisi untuk Togog. Keduanya lantas pergi sama-sama berseragam polisi. Esok lusanya lagi, Mbilung datang berpakaian petugas KPK. Sama, ia juga bawakan pakaian KPK buat Togog. Kedua ''petugas KPK'' yang kemarin berseragam ''polisi'' itu pergi. Pulang membawa duit. Istri Togog sumringah.

Mbilung ragu, ''Nanti Mbak Yu tanya, KPK dan polisi kan lagi ribut, masa kita kemarin bisa kerja di tempat KPK dan kemarinnya lagi di tempat polisi?''

''Sudahlah, tenang saja. Istri saya tuh tidak akan tahu bedanya KPK dan polisi. Dan apakah keduanya sekarang lagi ribut, termasuk dengan kejaksaan. Karena istri saya itu perempuan biasa. Belum pernah jadi presiden.''

Esoknya lagi pasangan sahabat Togog-Mbilung itu pergi lagi dengan pakaian petugas Departemen Perhubungan. Sayang, pulangnya mereka tidak kuasa membawa duit. Istri Togog mulai kembali sinis.

Selidik punya selidik, Semar-Gareng-Petruk-Bagong yang merupakan sejawat Togog-Mbilung sudah kehabisan duit buat ngasih utang harian pada Togog-Mbilung. Semar-Gareng-Petruk-Bagong memang punya bos yang lagi berjaya, yaitu penguasa...Tapi namanya duit kan seperti umur juga, ada batasnya.

Esok harinya Togog-Mbilung kompakan masang iklan yang ditempel-tempel di pohon, tembok, tiang listrik, dan lain-lain. Di antara iklan guru privat, sedot wc, badut, sulapan, baby sitter, dan lain-lain.

Menerima pekerjaan apa saja termasuk menghias coro...Pengalaman, pernah menjadi penghibur kaum oposisi... Atas nama Bangsa Indonesia dan perindu kerja, Togog-Mbilung. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com



Episode 09 Dicari, Menteri Pemberdayaan Laki-Laki
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 18 Oktober 2009
Image 
ADA kabar yang Sampeyan percaya boleh, ndak Sampeyan percaya aku ya ndak patheken. Dalam kabinet sekarang bakal muncul kementerian baru, Menteri Pemberdayaan Laki-laki. Letak kantornya pun sudah didesain berseberangan dengan posisi kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan. Face to face orang Londo bilang. Dep adebben, ocak reng Medure.

Dasar pemikirannya begini. Dulu banyak banget ITS, Ikatan Takut Suami. Kok sekarang makin banyak ITB, Ikatan Takut Bini. Semua kita tambah takut bini sampai-sampai ketika flu babi merajalela dengan virus H1 N1, ada yang bilang, ''Wah iku sik gak onok apa-apane, Cak. Ada lagi yang lebih ngeri ketimbang virus H1 N1, yaitu virus B1 N1..."

Mari kita meniru almarhum Basuki Srimulat, ''Yeeeen tak pikir-pikir..." Bener juga ucapan kawan tadi.

Sekarang perempuan nek ditempiling bojone tinggal main lapor ke KOMNAS Perempuan. Mereka bisa juga lapor ke pembela-pembela perempuan yang makin banyak, ke seniwati Ratna Sa­rumpaet, ke tretan dibi' alias dulur dewe orang hukum Nursyahbani Katjasungkana yang asli Pulau Garam di seberang Jembatan Suramadu itu. Tapi kalau kita kaum laki di-kuyo-kuyo istri, hayo mau lapor ke mana Sampeyan?

''Lho, tradisi kita dan seluruh dunia itu memang menghormati perempuan...mengutamakan perempuan," kata Petruk alias Kantong Bolong sambil bersandar di pohon sawo, di padepokan Semar di Klampis Ireng.

Adik Gareng itu mengajukan salah satu contoh dari Nusantara yakni orang Batak. Kata Petruk, kalau Inang-inang atau kaum ibu di Batak sudah turun tangan menyelesaikan persoalan sosial, siapa yang berani menghadapi mereka. Tentara dan polisi bahkan akan berpikir seribu kali.

Adik Petruk, si Bagong yang memang gemar membantah kini menyanggah kakaknya. Dalam keadaan kepepet, kata Bagong sambil tetep memperhatikan layang-layang di langit Klampis Ireng, Inang-inang itu akan turun tangan dan mendominasi laki-laki. Tapi dalam keadaan normal laki-laki akan dimuliakan. Jangan coba-coba kaum laki memandikan bayi atau mencuci baju di rumah, bisa disemprot sama mertua. Itu tugas perempuan.

Dari Danau Toba Petruk beralih contoh ke Pulau Sapi, Madura. ''Lihat, Gong, Pak Sakerah itu Belanda saja terbirit-birit ketakutan. Apalagi kalau beliau sudah bawa pusaka pamungkasnya celurit Si Lerok. Tapi lihatlah...lihatlah...Papinya Brodin itu nyembah-nyembah ketakukan kalau Mbok Sakerah sudah marah-marah ke beliau. Jadi tradisi kita memang mewajibkan takut pada perempuan.''

Mata Bagong masih ke langit, menerawang layang-layang bergambar Surya Paloh mendelik-delik, kleyang kabur kanginan benangnya putus oleh layang-layang sebelahnya yang bergambar Aburizal Bakrie mesam-mesem. Dengan suaranya yang berat dan parau Bagong meluruskan Petruk yang saknaliko bergaya Jakartaan.

''Truk, elo pigimane sih. Lihat konteksnya dong. Ngapain Mbok Sakerah marah-marah ke Pak Sakerah? Karena waktu itu Sakerah marah-marah ke istri mudanye, Marlena, nah Mbok Sakerah kagak terime..."

''Maksud elo?'' Petruk ikut-ikutan mBetawian.

Gareng ikut-ikutan jadi pria metroseksual dan jadi penengah, ''Maksud adik elo tuh Truk, marahnye Mbok Sakereh justru untuk memerdekakan orang laki dan manjain orang laki...Bukan untuk menekan dan menjajah...wong nyang nyariin bini mude tuh Mbok Sakereh juge...Persis kayak pelukis besar Affandi dulu...nyang nyariin istri mudanye juge Bu Affandi...''

Gareng seperti biasa masih terlampau banyak berpikir. Sang Cakrawangsa alias pengikat tali persaudaraan ini juga masih bertahan sebagai penengah. Belum ada titik temu di Padepokan Semar Klampis Ireng siang itu apakah Petruk yang benar, kementerian pemberdayaan laki-laki tidak kita perlukan, ataukah Bagong yang benar, kementerian pemberdayaan laki-laki memang telah mutlak kita butuhkan.

Agar tidak vakum, Petruk iseng tanya Bagong, ''Jempol kata lainnya?''

''Gampang, Truk, nggak pernah jadi wali kota juga bisa jawab: ibu jari...''

''Pusat suatu negeri?''

''Lebih sepele lagi, nggak pernah jadi Pak Camat juga bisa jawab: ibu kota...''

''Tanah tempat kita berpijak?''

''Wah jauh lebih remeh-temeh lagi, hanya Miyabi yang nggak bisa jawab: ibu pertiwi...''

''Lha iku artine kita memang seharusnya menghargai perempuan, laki-laki ndak perlu dihargai. Ndak perlu kementerian pemberdayaan wong lanang. Ndak ada bapak jari, bapak kota, bapak pertiwi...Dan awak peno itu Gong, kalau mau ngajukan kartu kredit, yang ditanya nama ibu...ndak ada urusan mau bapakmu namanya Karwo, Dahlan, Bambang, Yudo, Susilo..."

''Oke, oke,'' Bagong masih ingin membantah, ''Sekarang taruh­lah tidak ada kementerian pemberdayaan laki-laki. Terus kalau kita dihina-dina oleh kaum istri...dicerca...dimaki-maki...ditempeleng...Kita mesti lapor ke siapa? Ke polisi? Ke kejaksaan? Ke KPK? Iya kalau laporan kita diteruskan, diproses. Kalau mereka malah bisik-bisik sambil cekikikan ke kita: Sssstt...kita sami mawon...aku juga takut istri...''

Belum selesai Bagong bicara, ujug-ujug datang istri Gareng, Dewi Sariwati. Ia datang dengan menggendong bayinya, Nalawati, sambil mencincing kain dan nuding-nuding Gareng. Baru saja Bagong akan melanjutkan kata-katanya yang terhenti, ujug-ujug juga datang istri Petruk, Dewi Undanawati juga menggendong bayinya, Bambang Lengkung Kusama, sambil matanya mendelik-delik ke arah Petruk.

Gareng di-undat-undat istrinya. Ndak usah mikir-mikir negara. Memang dibayar berapa. Urus saja apakah si bayi Nalawati sudah dimandikan. Petruk di-unek-unekno. Ndak usah mikir yang besar-besar. Yang kecil-kecil saja seperti bagaimana beli susu buat Bambang Lengkung, Petruk ndak jegos. ''Kalau sampai ngisya' Sampeyan belum pulang ke Bluluk Tibo, awas!!!" bentak istri Gareng. ''Kalau sampai mangrib saja Sampeyan belum pulang ke Kembang Sore, ta' pateni," sergah istri Petruk.

Semar terkekeh-kekeh melihat adegan itu. Petruk dan Gareng dengan geram akhirnya sepakat bahwa kementerian pemberdayaan laki-laki sekaligus menterinya sudah saatnya ada. Kalau semua laki-laki sudah nggak boleh mikir negara, dan cuma mikir rumah tangga tok karena takut istri, mau jadi apa negeri ini. Mereka menunggu kalau-kalau ada telepon dari Padepokan Cikeas, untuk menjadi menteri pemberdayaan laki-laki.

Gareng menunggu sampai ngisya', belum ada telepon. Petruk menunggu sampai mangrib, belum ada telepon. Bagong sudah ngacir sejak ngashar tadi. Istrinya, Dewi Bagnawati, memang tak melabrak Bagong. Tapi bungsu Semar yang cerdas itu main logika sederhana. Kalau kakaknya yang tertua ditunggu sampai ngisya', dan Petruk sampai mangrib, berarti ngashar si bungsu harus sampai rumahnya di Pucang Sewu. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com


Episode 10 Lakone Hanuman Ambassador
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 25 Oktober 2009
Image
Di wayang kulit zaman dahulu, ada lakon terkenal Hanuman Duta. Lakon itu kita pinjam sekarang. Judulnya saja kita sesuaikan menjadi Hanuman Ambassador.

Siang itu Hanuman tidak turut diangkat sebagai menteri suatu kabinet jilid II. Putra Dewi Anjani tersebut bukannya tidak kebagian apa-apa. Ramandayapati, nama lain Hanuman, ternyata didapuk sebagai duta besar.

Hanuman Duta bercerita tentang Raden Senggono, nama lain Hanuman, yang diangkat rajanya, Prabu Rama, sebagai duta. Tugasnya menyelenggarakan operasi intelijen. Operasi itu berkaitan dengan urusan tentang apa dan bagaimana kondisi Dewi Sinta, istri Rama, ketika diculik raja diraja raksasa si Rahwana.

Sedikit berbeda dengan Hanuman Duta, Hanuman Ambassador bercerita tentang kera putih putra Batara Guru, yaitu Hanuman, yang bertugas memata-matai segala sesuatu milik negeri yang diculik atau diambil bangsa lain. Misalnya air, tanah, mas-masan, minyak, gas, batu bara, timah, duit sekitar Rp 600 triliun hasil korupsi bank kasus BLBI yang konon berhamburan ke mancanegara. Termasuk para manusia berjenis kelamin Sinta, yakni kaum perempuan, yang diperah tenaganya menjadi TKI di negeri asing.

Dalam Hanuman Duta, ketika capek-capek berjalan dari Ayodya, kerajaan Rama, ke Alengka, kerajaan penculik si Rahwana, Hanuman berteduh di mulut sebuah gua dan dijebak intelijen Rahwana, Dewi Sayempraba. Sang Dewi semula tampak cantik. Hanuman yang sedang kehausan kepincut. Dia mau saja diajak mampir. Ndak tahunya, setelah masuk ke gua, Dewi Sayempraba berubah jadi Sarpakenaka, adik Rahwana, perempuan raksasa yang kukunya panjang-panjang.

Dalam Hanuman Ambassador, kera putih itu justru mengikhlaskan dirinya untuk mampir ke tempat Cangik dan Limbuk. Dua panakawan tersebut sehari-hari bekerja pada Kurawa.

Lho, Kurawa itu kan babak Mahabarata, sedangkan Dewi Sinta, Hanuman Ambassador, dan sejenisnya berupa babak Ramayana. Yang ngarang saja juga beda. Mahabarata dikarang Resi Wiyasa, Ramayana oleh Resi Walmiki. Apakah boleh dalam Hanuman Ambassador itu Hanuman ketemu Limbuk dan Cangik di tempat Kurawa?

Ya boleh-boleh saja. Masak Wayang Durangpo kalah kreatif dengan masyarakat Cirebon zaman dulu? Dalam wayang kulit Cirebon itu, saya malah menonton Hanuman dari Ramayana tidak saja pencilakan di Mahabarata. Bahkan, Hanuman bisa meloncat-loncat, garuk-garuk dan mere-mere, serta ikut berpendapat dalam suatu rembuk antar-Wali Sanga. Jadi, kalau adegan itu dilihat dari kejauhan, kostumnya seperti Pangeran Diponegoro dan tandak bedes.

Sekarang, dalam Hanuman Ambassador, sang Anjani Putra itu ujuk-ujuk sudah leyeh-leyeh dan sudah ketiduran di dipan, di beranda padepokan Limbuk dan Cangik.

Cangik: Anakku, Diajeng Nini Dewi Siti Miyabi alias Mar-Limbuk...

Limbuk: Opo Maaaaak....

Cangik: Bekas pacarmu yang dulu sering pakai duitmu, sering memindahkan baju-bajumu ke pegadaian, dan ndak pernah bisa menebus, sekarang sudah jadi menteri. Kok kamu nggak ada reaksi sama sekali? Susah ya ndak. Senang ya ndak. Eh mbok senang gitu lho... Senang siapa tahu sekarang pas sudah jadi menteri dia bisa menebus barang-barangmu yang di pegadaian sejak dulu kala, termasuk dua rantang makmu ini, dan satu gelang...

Limbuk, ah, Limbuk. Subur badannya seolah menjadi lambang dari perempuan yang tak mau ikut-ikutan mode dengan menguruskan badan. Limbuk tak merasa perlu diet sampai kerempeng seperti maknya, Cangik. Tokoh berperawakan makmur seperti itulah yang kini masih tak pejam-pejam memandangi Hanuman, kera putih yang ketiduran di karang kitri, tempat Limbuk-Cangik tinggal.

Limbuk memainkan logika sederhananya. Kalau ada monyet, ternyata hatinya tak ubahnya dengan hati manusia, berarti kemanusiaan itu tidak tergantung wujud. Kemanusiaan tergantung esensi. Sesuatu yang wujudnya bukan manusia bisa saja sebenarnya sudah manusia karena esensinya adalah manusia. Contohnya ya Hanuman itu.

Cangik: Ya ampyuuuun...Mbuuuuuk...mikirmu kok aneh-aneh dan jauh banget...Mikir itu yang biasa-biasa saja, tetapi langsung ada gunanya. Umpamanya, sekarang kamu bikin beras kencur, cabe puyang, sinom... supaya nanti kalau Mas Hanuman bangun, sudah banyak minuman yang segar-segar buat melaksanakan tugasnya sebagai ambassador.

Bagi Limbuk, apa yang sedang dipikirkannya justru hal yang biasa-biasa dan wajar-wajar saja. Limbuk jadi cepet-capet ingat gurunya dulu menerangkan teori Darwin. Menurut kaweruh itu, manusia berasal dari monyet. Setelah mengalami proses yang panjang, barulah monyet-monyet yang berkembang itu menjadi sosok seperti manusia hari ini.

Limbuk yakin betul pada teori itu, sampai akhirnya Hanuman mampir langsung ke padepokannya. Biasanya, selama ini Limbuk hanya melihat Hanuman di televisi dan koran-koran. Ternyata, ya itu tadi, kesimpulannya, teori Darwin perlu dikoreksi. Sesuatu tak selalu butuh proses waktu dari bentuk monyet ke bentuk seperti kita agar sesuatu itu bisa disebut manusia. Hanuman, biarpun wujud luarnya masih monyet, esensinya sudah manusia.

Hanuman masih pulas dan mulai ngorok.

Cangik tak mau kelihatan ketinggalan dari anaknya. Perempuan tua kerempeng berleher panjang (cangik) itu ternyata mempunyai jangkauan pemikiran yang lebih canggih ketimbang Limbuk. Maka, seketika menangislah Cangik.

Limbuk bingung.

"Kamu ndak usah bingung," kata Cangik makin meledak tangisnya. "Mak jadi menangis begini karena terinspirasi oleh pikiranmu, Mbuk. Lho, kalau semuanya tergantung esensi, tergantung hakikat, tidak tergantung wujud, berarti makhluk-makhluk yang wujudnya sudah manusia belum tentu esensinya atau pada hakikatnya mereka sudah manusia..."

Limbuk penasaran. "Lha terus kenapa Mak ujuk-ujuk nangis?"

"Oalah Mbuuuuk, bagaimana tidak nangis, kalau nanti ternyata menteri-menteri yang diangkat oleh raja itu... ternyata... Wujudnya saja yang manusia, tapi esensinya belum menjadi manusia..."

Belum selesai Cangik menumpahkan unek-uneknya, Limbuk terhenyak, tersadar, lalu ikut-ikutan menangis. Ia takut betul jika memang menteri-menteri angkatan terbaru ini nanti ternyata kebalikan Hanuman. Yaitu, sosoknya saja yang tampak sudah kayak manusia, tetapi esensinya belum bisa disebut manusia.

Kaget oleh gabungan tangis Cangik-Limbuk, terbangunlah si Kera Putih dalam Hanuman Ambassador.

"Sori, saya ketiduran. Ketiduran. Daripada kurang tidur. Karena kalau kurang tidur sedikit saja, saya tidak bisa mikir. Tidak bisa mikir karena kurang tidur. Sekarang saya sudah cukup tidur. Sekali lagi terima kasih. Sekarang saya sudah bisa mikir dengan jernih bagaimana langkah selanjutnya saya selaku ambasa... Kok kalian menangis?"

Limbuk dan Cangik saling melirik. Hanuman keburu gede rasa. Dikiranya, Limbuk dan Cangik menangis karena tak kuasa menghadapi perpisahan. Maklum, Hanuman terpaksa harus melanjutkan perjalanan, menjalankan misinya sebagai ambassador. Ia harus mengembalikan seluruh aset negara yang hengkang ke luar negeri pada saat para menteri dijabat oleh makhluk-makhluk yang sosoknya saja mirip manusia, tapi kelakuannya bukan manusia. Misalnya kelakuan main obral aset negaranya untuk keperluan pribadi.

Limbuk dan Cangik memburu Hanuman yang sudah menyandang ranselnya dan jalan sampai ke gapura dusun... "Kalau wujud-wujud manusia yang sekarang diangkat jadi menteri... Mereka esensinya sudah manusia?"

Hanuman menghentikan langkah kakinya. Meletakkan ranselnya di jalan tanah. Membuat bentuk corong dengan kedua tangannya dan membisikkan sesuatu pada Limbuk dan Cangik.

Bagaimana reaksi Limbuk-Cangik? Para pembaca pasti sudah tahu jawabannya. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 11 Belajar dari Sumpah Cakil
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 01 November 2009
Image 
Kenongopo kok yang bersumpah itu cuma para pemuda? Cangik menjawab, karena orang-orang tua, orang yang sudah kenyang asam garam, akan malu untuk bersumpah. Pahit getir kehidupan mengajarinya untuk sareh dan semeleh. Keduanya akan memaksa setiap orang tua tahu diri betapa susah untuk tidak melanggar sumpah. Lebih susah dibanding mencari beruang kutub di Pulau Madura. Mereka, orang-orang gaek seperti Cangik, lantas malu untuk mengangkat sumpah.

Kenongopo kok Sumpah Pemuda jatuh pada bulan Oktober? Bagong menjawab, pertanyaan itu tidak relevan. Mau jatuh bulan Jumadil Awal atau Jumadil Akhir, mau tibo pasaran Kliwon atau Pahing, yang jelas persatuan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda sekarang sudah mulai luntur. Pertanyaan yang lebih tepak adalah dicuci pakai apa sih kok Sumpah Pemuda made in Indonesia tahun 1928 itu sekarang luntur?

Diumbah lan diucek-ucek tur dibilas mbarek zaman. Itu yang dikatakan Semar kepada ketiga anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka lagi di tengah hutan dalam perjalanan mengantar Menteri Negara Urusan Perempuan, Arjuna. Di dalam perkembangan zaman, ada daerah yang kaya sumber daya tetapi orang-orangnya tetap miskin, karena sumber daya tersebut dikeruk oleh orang-orang pusat.

Di dalam perkembangan zaman, sistem pendidikan yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara makin tidak berlaku. Secara umum hanya orang-orang kaya yang bisa melanjutkan sekolah ke pendidikan jenjang tertinggi. Dalam perkembangan zaman seperti itu, ketika masyarakat kemudian terbagi-bagi dalam berbagai kelompok dan saling iri saling curiga, bagaimana persatuan bisa tetap digalang?

Para panakawan yang berarti pana (menerangi) dan kawan (sahabat) alias sahabat yang menerangi, bukan saja ngobrol. Mereka juga berhenti, thenguk-thenguk, sampai-sampai di tengah belantara itu Menteri Negara Urusan Perempuan sudah jauh berjalan entah berapa tebing. Petruk menyela penjelasan Semar yang terkesan serius. ''Jangan serius-serius, Mar...,'' kata Petruk, ''Kamu meneng-meneng wis janji nang Arief Santosa dari Jawa Pos nek rubrik Wayang Durangpo ini rubrik guyon. Nanti kamu dipecat karo Kang Arief modar lho...''

Semar terkekeh-kekeh sampai njungkel di akar beringin. ''O iya, aku lupa pada janjiku...I am so sorrrrrryyyy...,'' kata Semar di antara suara kekehannya yang mirip air mendidih di teko. Tiba-tiba Semar kaget dan mengusap kuncungnya, ''Ah, lupa janji, lupa sumpah, ya ndak papa to...Apalagi aku ini sudah kempong perot kaki pikun jambul uwanen. Bisma saja ketika masih muda juga lupa sumpahnya. Ingat, Le, Thole, waktu masih muda, waktu masih bernama Dewabrata, dia bersumpah wadat alias selebat. Tapi toh akhirnya dia melamar Dewi Amba...Ingat tidak, Le, Letho...''

Kata Semar pada periode kasmaran dan lupa sumpahnya itu banyak pantun yang dibikin oleh Dewabrata buat Dewi Amba dan sampai kini masih digunakan oleh para seniman ludruk. Misalnya:

Kecipir mrambat kawat

Kok gak mampir mongko wis liwat...

Ada lagi:

Esuk nyuling sore nyuling

Sulingane arek Suroboyo...

Esuk eling sore eling

Lha nek eling ta' nyambang mrono

Gareng protes, ''Itu terjemahan Indonesia-nya apa? I can't mudeng boso Jowo anymore...'' Petruk menyadurnya dalam bahasa Indonesia. Pantun pertama adalah kecipir merambat kawat, tidak mampir padahal sudah lewat depan rumah. Kedua...ah, belum sempat Petruk membuat terjemahan, keempat Panakawan itu disentak oleh suara sumpah berbentuk dua bait pantun dari balik bukit. Nyaring dan bergema dipantul-pantulkan tebing. Bunyinya:

Nang Pasar Turi telek tampar

Manten anyar jarike udhar

Senajano onok bledhek ngampar

Persatuan kita ojok ngantek buyar

-

Menyang Kenjeran klempoken semur

Tape ketan peno rageni

Persatuan kita ojok ngantek luntur

Obahe zaman wis peno ngerteni

Mendengar sumpah dalam bentuk pantun dari balik bukit itu bergegaslah para panakawan ke sana. Tahunya, di balik bukit yang cukup terjal itu majikan mereka, Menteri Negara Urusan Perempuan Arjuna sudah dikepung para raksasa yang dipimpin oleh Cakil. Cakil terpaksa bersumpah bersama para sejawatnya sesama raksasa karena melihat persatuan mereka sudah mulai goyah.

Raksasa-raksasa lelaki yang cenderung suka sesama jenis, banyak yang kesengsem pada Arjuna. Gadis-gadis dan janda-janda raksasa bahkan para istri raksasa banyak yang mulai kasmaran melihat Arjuna. Begitu juga para raksasa tua, ingin punya menantu Arjuna karena pakaian sang calon menantu, walau sederhana, jauh lebih menarik ketimbang pakaian para diyu alias raksasa.

Gareng menelepon Cangik, setelah tersambung telepon Gareng berikan kepada Cakil. Cangik bertanya kepada Cakil, wis tuwek gerang daplok kok ndak malu main sumpah-sumpahan. Cakil mendongak, ngakak dengan suara falseto nada tingginya yang khas. ''Kami tuh lain dibandingkan dengan manusia. Kami orangya tidak plin plan, tidak mencla-mencle, jadi kalau bersumpah pasti bisa melaksanakan...''

''Apa itu namanya...ehmmm...konsisten?'' tanya Cangik ke Cakil.

''Sangat konsiten. Ya, kami kaum raksasa sangat-sangat konsisten. Manusia tidak konsisten. Manusia dulu makan tumbuh-tumbuhan. Makan hewan. Sekarang mereka juga mulai makan semen, sampai-sampai banyak bangunan SD yang runtuh akibat kekurangan semen. Mereka makan kayu juga, sampai hutan-hutan ludes. Padahal hutan tuh bagi kami para raksasa seperti mal. Manusia bikin mal. Kami kehilangan mal. Mereka juga makan saudara-saudaranya sendiri sebangsa, akibatnya kami para raksasa berkurang pangannya, karena manusia sudah dimakan oleh manusia sendiri.''

Gareng, Petruk, dan Bagong mulai panas mendengar celotehan dan ocehan para raksasa. Menteri Negera Urusan Perempuan juga mulai gerah. Semar tanggap. Semar memberi isyarat agar semua diam. Semar memberi sasmita agar sekali-kali manusia menjadi pendengar yang baik untuk bala raksasa. Belajarlah sampai ke negeri Cina, itu juga berarti bahwa kebenaran ada di mana-mana. Maka belajarlah...belajarlah...

Cakil merasa mendapat angin. Dilanjutkanlah khotbahnya. Dakwahnya, ''Untuk melaksanakan sumpah, satunya kata dan perbuatan, kami juga tanpa pamrih. Di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di rumah-rumah, yang dipajang itu wayang atau foto Arjuna. Mana ada guru-guru bangga memajang wayang Cakil di ruang kelas? Ah, kami nggak peduli.''

''Jogetnya Arjuna dibanding jogetnya Cakil yang pethakilan dan pencilakan kayak breakdance susahan mana? Susahan joget kami kan? Belum harus salto-salto, koprol-koprol. Tapi kami tetap saja melakukan tarian sing kemringet itu. Padahal bayarannya besaran bayaran sing dadi Arjuno. Kenapa? Karena kami konsisten! Kami sudah bersumpah untuk menari gaya Cakil. Kami ini memang seniman yang ''disegani'' alias mung dibayar ambek sego atawa nasi.''

''Kami juga bersumpah hanya makan manusia. Apakah nanti perhiasan mayat manusia kayak gelang Limbuk yang besarnya segede peleg becak itu juga kami makan? Tidak! Kami konsisten dengan sumpah hanya akan makan tulang dan daging dan darah dan sumsum manusia. Tidak yang lain-lainnya. Sekarang baru saja kami bersumpah untuk persatuan para raksasa, ya bahasanya, ya bangsanya, ya tanah airnya...Apakah kalian masih akan meragukan sumpah kami wahai manusia?''

*) Sujiwo Tejo, tinggal di www.sujiwotejo.com
 

Episode 12 Ribu tahun di Smidra botol
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 08 November 2009
Image
Togog 40 dan Bilung, panakawan kaum hitam, di suatu Jumat Legi kepergok Bagong lagi mancing di Rambipuji, Jember. Bagong dikancani Anggodo yang ngrokoknya nggak mandek-mandek. Ia kera berbulu merah anak Resi Subali dan Dewi Tara. Omong punya omong, Togog bilang baru saja disuruh bosnya mereparasi kopiah ala raja, yaitu mahkota.

Bagong bertanya, sik kurang apik yok opo mahkota bosnya kok sampek diperbaiki lagi. Bulan lalu waktu bos Togog-Bilung itu rawuh di suatu pasemoan, kepalanya kinclong ketutup mahkota. Pendar-pendar mak byar kilaunya ke seluruh ruang­an. Sik kurang jrueeeng ta?

Bungsu Semar yang polos dan lugu ini memang cerdas. Tapi di pemancingan sore itu, di antara ikan-ikan yang berlompat-lompatan membentuk riak-riak kolam, Bagong lupa. Adik Petruk dan Gareng ini khilaf. Lali nek sebagian besar isi kepala pemim­pin atau raja itu kuoootor se­hingga batok kepala mereka perlu dislimurkan dan ditutup mahkota.

Togog alias Tejomantri ini sudah ndak pangling lagi mbarek kelakuan para pemimpin dari dunia hitam. Kabeh itu juragan-juragannya. Semakin hitam dan kelam kelakuan petinggi, semakin bagus topong atau mahkotanya. Topong Dasamuka dari zaman Ramayana lebih kerlap-kerlip ketimbang makuto Duryudana dari era Mahabarata.

Sebetulnya Bilung yang asistennya Togog lebih bisa munthuk cangkeme menjelaskan perkara itu. ''Bagaimana seorang pe­mimpin tidak keceh getih (bersimbah darah) dan gupak pulut (kena kotoran) untuk mewujudkan cita-citanya...," pikir Bilung. ''Wong ngurus negoro ini gak cukup cuma dengan diskusi dan rembukan seperti kaum cendekiawan. Di pendopo sarasehan, darah dan kotoran telek lencung bisa dihindari."

Bahkan sejak di bangku taman kanak-kanak, Bu Guru selalu terkesiap mendengar Bilung alias Sarahita ini menjawab per­tanyaan-pertanyaannya. Bagi Sa­rahita, pemimpin berbeda di­bandingkan dengan guru yang cuma mengajarkan teori. Pe­mimpin itu bertindak.

Nah, dalam tindakan itulah kehadiran musuh tak bisa ditolak...dalam tindakan itulah darah dan air mata kaum yang berseberangan tak bisa dihindari...dalam tindakan itulah tangan-tangan kita mesti kotor....Dan, karena yang mengendalikan tubuh adalah otak yang berada di kepala, di dalam endas, maka kalau tindakannya kotor berarti kepalanya kotor dan karena itu endas raja wajib ditutup mahkota.

Awan berarak. Dingin mema­gut. Di area pemancingan di pinggiran Jember itu jan-jane kejadiannya begini. Bagong atas saran Semar, ayahnya, sedang diminta menggalang tanda ta­ngan. Petisi dengan seabreg tanda tangan pendukung itu akan dipakai buat memaksa seorang pemimpin turun tahta karena diduga terlibat suatu persekongkolan korupsi, mbadok duwike awak-awak.

Bilung alias Sengut kalau di wayang Bali, males membubuhkan tanda tangan. Caturoga, nama lain Togog, ikut-ikutan males menorehkan tapak asto-nya.

Sepulang dari pemancingan, pas Bagong nyritakno keengganan dua tokoh penting alam gelap itu dalam mendukung petisi, Semar malah terkekeh-kekeh. Kini sekalian di depan anak-anaknya yang lain, Gareng dan Petruk, Semar mulai mendongeng.

Semar sangat paham, mengapa kakak spiritualnya, Togog, tidak mau ikut-ikutan mendongkel kepemimpinan seorang tokoh. Karena Togog, yang ketika dalam wujud aslinya berupa dewa Sang Hyang Maha Punggung, tahu riwayat Kresna.

Betapa liciknya raja Dwarawati itu. Betapa kotornya isi kepala titisan Wisnu itu. Lihatlah nduk Perang Baratayuda hampir saja Jayajatra bikin Arjuna modar. Tokoh Kurawa jelmaan dari ari-ari Bima ini bersumpah nek ngantek gelap ndak iso mateni wong KPK, eh Arjuna, dia bakal bunuh diri.

Eh, ketika Arjuna hampir mampus tiba-tiba Kresna menghalang-halangi matahari dengan senjatanya, Cakra. Seketika ajang perang Kuru Setra sak nyet gelap. Arjuna masih sekarat, belum sempat terbunuh. Jayajatra bunuh diri.

Dalam perang yang sama, Baratayuda, dari pihak Pandawa, Setyaki, adik ipar Kresna, hampir saja dibunuh oleh Burisrawa. Biarpun Setyaki sakti dengan gada wesi kuning-nya, pahlawan dari pihak Kurawa itu nyaris memenggal kepala Setyaki,

Tiba-tiba Kresna mencabut rambutnya sendiri. Dipegangnya sehelai rambut itu dengan dua tangan. Di kejauhan, ahli panah Arjuna diperintahkan untuk memanah rambut tersebut. Panah melesat membelah rambut Kresna, memang, tapi terus ba­blas ke leher Burisrawa.

''Aaaahhhhhhh.....''

Petruk melenguh, membayangkan teriakan si Burisrawa, raksasa sakti dari Cindekembang.

''Maka,'' lanjut Semar, ''dalam lakon Pandawa Moksa Kresna mendapat hukuman. Kresna itu rekoso matine. Setelah yang naik ke sorga itu anjing, lalu Yudistira, lalu Kunti, lalu Drupadi, lalu Nakula Sadewa, lalu Arjuna, lalu Bima...Kresna masih terkatung-katung di alam fana.''

Sebelum naik ke alam langgeng, Bima bersabda kepada Kresna, ''Kakang, terimalah kodrat dewata, jangan kamu menangis karena tidak bisa segera menyu­sul kami ke ranah keabadian... Sebelum kamu bisa bercengke­rama dengan kami di alam moksa, sekarang kamu harus menjalani hukuman lebih dahulu: bertapa 40 ribu tahun di atas samudera pasir."

Makanya Togog-Bilung males ikut-ikutan tanda tangan meminta pemimpin turun. Tanpa hukuman dari kita, toh mbesuk alam dan kodrat itu sendiri akan menghukumnya berlimpah-limpah.

Bagong pun inget Anggodo bisik-bisik di pemancingan. ''Sssttt...Ini antara kita. Kresna itu juga punya anak yang nggak pernah diakui, namanya Gunadewa. Deweke isin sebabe wujude Gunadewa yo, munyuk, babar pisan bedes koyok aku, Anggoooodoooooo......''

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
 

Episode 13 Unjuk Rasa Badut-Badut
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 15 November 2009
Image
WIS meh sebulanan iki rumah tangga Gareng kacau balau. Dapurnya ndak terlalu ngebul lagi. Gara-garanya, penonton dagelan sepi. Pendapatan pelawak turun drastis persis jalanan di Klakah nek Sampeyan dari Lumajang ke Probolinggo. Masyarakat lebih tertarik nonton kasus KPK, kejaksaan, dan polisi. Masyarakat lebih kepingkel-pingkel sampai mbrebes mili matanya seperti orang nangis saking nggak kuatnya menahan geli.

Petruk dan istrinya pernah tukaran habis-habisan entek ngamek. Petruk mbanting pintu. Istrinya, Dewi Undanawati, mbanting piring. Adik Gareng itu nendang meja. Dewi Undanawati ndugang panci. Tapi ribut-ribut suami-istri itu mak jleg rampung begitu televisi menyiarkan kasus KPK-Polri. Petruk segera ngakak. Istrinya terbahak-bahak juga malah lebih keras. Keduanya kemudian rangkulan sambil cekikikan. Baru tiba-tiba keduanya menangis ketika dapat telepon dari Gareng, ''Ojok seneng disik talah, nek pejabat lebih lucu daripada awake dewe...terus sing nonton awake dewe nanti siapa...Kalau kita gak kuat beli makanan, mbadog opo...?''

Petruk melepas rangkulannya. Istrinya juga melepas rangkulan. Keduanya termenung di sudut ruang. Menangis. Ujuk-ujuk datang­lah bungsu panakawan, Bagong. Dia menanyakan apakah ada job bulan ini. Soalnya dapurnya sudah tiga minggu ini tidak nya­la. Istrinya, Dewi Bagnowati di Pucangsewu sudah bete terus. Petruk melihat kalender yang ditempel di dinding gedheg rumahnya. Dia kaget ternyata dari tiga minggu lalu sampai sebulan ke depan belum ada tanggal yang dibunderi, tanda tak adanya job pementasan. Tambah membik-membiklah Petruk.

Belum pernah dalam sejarah Petruk yang easy going sesuai namanya, Kantong Bolong, itu menangis. Bagong sing adate lugu walaupun cerdas mak blas lari ke tempat Gareng di Bluluktibo. Kembali lagi ke tempat Petruk di Kembangsore dia sudah nyangking Gareng. Bagong minta diadakan rapat dadakan. Tibalah rapat pada keputusan. Diputusno nek tiga-tiga-ne akan demo turun ke jalan. Mereka nuntut agar seluruh penyelenggara negara tidak cuma dites kesehatannya dan track record-nya seperti pada fit and proper test. Mereka meminta calon-calon pejabat itu dites juga oleh para psikolog apakah punya bakat nglawak. Kalau punya bakat melawak, jangan jadi pejabat, suruh saja jadi pelawak.

Persoalan muncul. Siapa pendukung demo. Mosok demo mek wong telu. Nek misale Semar tahu-menahu materi rapat ini, si mbah bisa disambati mencari dukungan sana-sini. Si mbah bisa telepon temen-temene yang sudah tua dan nganggur baik di kota pensiunan seperti Temanggung maupun Rogojampi. Pasti mereka segera datang tumplek turun ke jalan. Demo panakawan akan terlihat banyak pendukungnya. Tapi, persoalannya, Semar belum tahu masalah ini dan anak-anaknya tidak berani memberi tahu rencana mereka.

***

Jer basuki mowo beo. Tidak ada yang gratis di dunia ini bahkan untuk nonton lumpur Lapindo. Para pemuda dan masyarakat Porong dan sekitarnya telah ''mengkapling-kapling''-nya seperti daerah wisata, dan para pengunjung mesti bayar. Dan itu bagus buat kesejahteraan bersama. Begitu juga dengan demo. Petruk punya ide bagaimana kalau sisa celengan patung Batara Narada dipecah. Duitnya dipakai untuk membayar demonstran.

Alasan Petruk, setiap orang yang kecewa di negeri ini bisa membayar kaum demonstran. Demonstran saat ini sudah nyaris jadi profesi seperti modin alias penghulu, tukang sunat, dan juru dakwah. Kabeh pakai bayaran. Orang-orang yang kecewa itu tinggal mbayar siapa yang mau bengak-bengok keleleran nduk jalanan sambil mengepal-ngepalkan tangan.

Gareng mengungkap, ''Karena kita tidak punya kata sportif. Kita cuma punya kata legowo. Sportif itu mengaku kalah dan mengakui kemenangan pihak lain. Legowo itu mengaku kalah, tetapi tidak mengakui kemenangan pihak lain...''

Petruk jengkel pada teori Gareng, ''Ya sudahlah...Yang penting kita sudah dikasih tauladan bahwa orang yang kalah biasanya mbayar demonstran. Jadi, apa salahnya kita-kita kaum panakawan ini juga ngamplopi para demonstran."

Celengan hampir dipecah, tapi Gareng buru-buru menyela, ''Tunggu dulu. Nggak sayang kamu mecah patung Narada? Nggak kuwalat? Dia kan Sekjen para Dewata?"

Wah, sayang bagaimana. Justru bagi Petruk dan Bagong, Sekjen yang merangkap sekretaris kabinet Dewata Bersatu itu terlalu banyak melawak. Lihat saja setiap kali ngomong selalu diawali dengan ''blegenjong blegenjong pak pak pong pak pak pong waru doyong ditegor nguwong..." Terus mulutnya selalu cengengesan seperti Sengkuni. Ini yang, menurut Petruk, kemudian ditiru oleh para pejabat. Jadilah para pejabat sekarang podo dadi badut. Jadi, menurut Petruk, pemecahan celengan patung Narada ini sekaligus simbol awal demonstrasi mengakhiri guyonan para petinggi. Tanpa ba bi bu, ndak srantan Bagong mecah celengan dimulai dari cangkeme Narada.

Plethak...pyur...pyur...pyur....!!!

Duit berantakan di ruang tamu Kembangsore. Kebanyakan lembar dua ribuan baru. Maklum sejak Bank Pandawa mengeluarkan lembar uang 2000-an yang mirip Dua Puluh Ribu Panakawan sering dapat tips 2000 itu, ya dari Kresna, dari Bima, dari Yudistira, dari Arjuna. Biasanya, sebelum lembar baru itu keluar, para petinggi ngasih 20.000. ''Buat beli rawon,'' biasanya begitu kata Arjuna. Sekarang mereka mbeseli 2000, tapi tetap pesannya sama, ''buat beli rawon." Mana ada rawon harga 2000? Kecuali rawon kampus untuk mahasiswa kelas (maaf) kere di Universitas Negeri Jember.

''Ini Ndoro Arjuna pura-pura salah ngasih 20.000 padahal cuma 2000, atau sengaja nglawak supaya kita cuma bisa beli sego kucing?" gerutu panakawan yang lalu-lalu, kemudian sambil kesel memasukkan semua itu ke dalam celengan saja, dan mereka memutuskan berpuasa.

Nah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Dua ribu demi dua ribu lama-lama banyak juga. Kini duit itu berantakan dan munjung di lantai tanah dari celengan Narada yang pecah. Persoalan muncul lagi. Ternyata, tidak ada satu pun warga peng­ang­guran yang mau dibayar untuk mendukung demonstrasi.

''Emoh,'' begitu rata-rata kaum penganggur yang ditawari amplopan demo. ''Nanti saya ketinggalan siaran langsung televisi. Pejabat kita lucu-lucu. Kami ini haus hiburan. Maklum kami ini kan para pengangguran. Kami perlu tontonan segar."

Yang lain bilang, ''Sampeyan ini mbok nglawak saja di depan kami. Jangan nawari demo. Ayo nglawak! Tak tonton. Saya itu kalau ketawa lupa bahwa saya itu nganggur."

Ada yang sama sekali malah tidak menengok ke arah panakawan yang mendatangi mereka. Mata mereka terus ke televisi. ''Lihat...lihat...'' Tangan dan wajah mereka menuding ke televisi, mengajak agar para panakawan juga menonton televisi dan menghentikan tawaran demonya, "Lucu kan...orang-orang pasar sekarang sombong-sombong. Kadang-kadang kambil dan teri ndak bisa ditawar...Padahal perkara pengadilan saja bisa ditawar-tawar..."

''Dengar, kan?'' yang lain nyeletuk. ''Lucu....Memang setiap perkara di pengadilan ada harganya. Dan, setiap perkara bisa ditawar...dan nek iso...ojok larang-larang, Rek....Jangan mahal-mahal. Nah nek harganya wis ketemu...ayo makan-makan. Opo maneh nek wis suwi gak tau mangan enak...''

Ibarat kesabaran istri pada suami, semua kesabaran ada batasnya. Seminggu nggak dapat dukungan demo, panakawan putus asa. Sampai suatu pagi datanglah satu per satu dukungan. Mereka adalah warga penganggur yang semula menolak demo.

Seseorang bilang dengan serius, mengaku sebagai pengagum Markuat, Markeso, Durasim. ''Tadi malam saya bermimpi bertemu dengan almarhum pelawak Cak Markuat, Cak Markeso, dan Cak Durasim. Mereka setuju demo yang Sampeyan gagas. Kalau pejabat ikut-ikutan melawak, nanti pelawak ndak laku. Kasihan keluarganya...Sekarang saya bersedia untuk ikut demo bahkan kalau misalnya tanpa dibayar...''

Datang lagi yang lain. Dia pengagum Warkop DKI. Dia bilang, sambil sesenggukan, ''Kemarin siang, saya berdiri di puncak Argopuro, tiba-tiba seperti saya lihat ada Mas Dono Warkop dan Mas Kasino Warkop di depan saya. Mereka seperti melotot ke saya dan bilang eh elo ngapain kagak mau ikutan demo pelawak? Ini penting buat masa depan pelawak. Bagaimana pelawak bisa hidup, kalau para pejabatnya jauh lebih bodor daripada badut...''

Datang satu tumbuh seribu. Tanpa nyana jumlah pendukung demo panakawan kini sudah mencapai ribuan. Mereka terdiri atas beragam bekas pekerja. Ada yang mantan pekerja petani garam yang kini nganggur. Ada yang bekas tukang ukir yang kini kerjanya thengak-thenguk. Ada bekas penambak udang yang sudah setahun ini ndlongop saja kerjanya. Wah macem-macem. Ada juga bekas penyanyi campur sari yang kini tergeser organ tunggal dan kerjanya cuma ''Menghitung Hari'' seperti Kris Dayanti. Belum lagi bekas dalang, karena sudah makin jarang sekarang orang punya hajat yang kuat nanggap wayang.

Berbagai foto pelawak melengkapi poster-poster demonstran. Di sudut sana kita lihat poster Asmuni. Nun di sana lagi kita lihat poster Basuki. Wah, ada juga poster Benyamin S. dan Bing Slamet. Poster Bagio dan Basiyo diumbul-umbulkan di tempat lain lagi. Fantastis!

Negara gonjang-ganjing. Panawakan menuntut para pejabat keluar dari kantor masing-masing dan bersatu menyambut demonstran. Para pejabat akhirnya berkumpul dan menyambut para demonstran.

Jutaan demonstran akhirnya menyerbu para pejabat. Panakawan senang menyaksikan adegan itu. Sayangnya, kemudian mereka menangis.

Ternyata....ternyata....

Begitu melihat wajah pejabat secara langsung, kaum demonstran berubah pikiran. Jutaan orang yang merangsek ke depan menemui pejabat itu bukan hendak mendamprat dan menyampaikan unek-unek. Mereka justru pengin salaman dan mengucapkan terima kasih selama ini sudah sangat menghibur rakyat. ''Ternyata aslinya lebih lucu dari yang di televisi," teriak mereka. Banyak yang minta foto bersama.

Gareng, Petruk, Bagong pulang satu per satu.

Tertunduk.

Gerimis.

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 14 Mega Mendung di Atas Century
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 22 November 2009
Image
''...Sampeyan kabeh jangan kesusu marah-marah nek listrik byar-pet byar-pet. Pertama, orang sabar itu kekasih Gusti Allah. Kedua, siapa tahu maksud PLN sakbenernya bagus. Misal, nguji kedisiplinan dan toleransi kita. Nek lampu merah di perempatan ndak main margo listrik matek, kiro-kiro lalu-lintas bakal semrawut apa nggak? Bot-serobotan nggak?

PLN yang zaman tahun 80-an itu dipanjangkan jadi Perusahaan Listrik Nih-yeeeee, juga pengin nunjukno bahwa inilah abad kebudayaan. Perusahaan tersebut bukan cuma instansi yang kering, jauh dari kesenian. Ingin ditunjukkan pula bahwa mereka bisa berkesenian. Bisa ngajak joget. Emang yang mampu byar-pet byar pet cuma lampu disko di lantai dansa? Wah, PLN hari-hari ini jauh lebih jago dari diskotek mana pun.

Perusahaan Gundala Putra Petir itu, karena logonya ada petirnya, jan-jane juga punya tujuan mulia dengan moto barunya yang dikembangkan dari kitab Kartini, ''Habis Gelap Terbitlah Terang, Lalu Gelap Lagi, Terang Lagi, eh, Gelap Lagi...'' Tujuan mulianya, semua kita dibikin eling lan waspodo, betapa selama ini sebenarnya kita menduakan Tuhan. Kita sudah entek ngamek sumpah cuma bergantung pada Tuhan. Nyataannya apa? Nyatanya kita bergantung pada listrik dan lain-lain. Begitu listrik mak pet, kabeh bingung kepontal-pontal..."

Mengakhiri pidato panjang-lebarnya yang saya sitir sebagian itu, Gareng beruluk-salam. Banyak keplok-keplok dari sesama warga di RT/RW-nya. Gareng yang pakai kopiah dan sarung itu berpidato mewakili ayahnya, Semar. Semar lagi repot nolongi masyarakat lain mencari Yuliantoro Situgintung, rekan Ari Mus Muladi, yang kabarnya menyerahkan uang Rp 5,1 miliar kepada pemimpin Kelompok Pemulung Karangmenjangan alias KPK.

O iya, menyela sebentar...

Kenapa Semar yang disambati mencari Yuliantoro? Karena Semar baru saja dipinjami minyak Jayeng Katon oleh juragannya, Arjuna. Dengan minyak yang dioleskan ke mata itu, segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada, bisa kelihatan seolah-olah ada. Masyarakat, meniru keyakinan Adnan Buyung Nasional, berwasangka jangan-jangan Yuliantoro Situmeong, eh, Situgintung ini fiktif. Nah, hanya orang-orang yang punya lisah Jayeng Katon-lah yang sanggup menerawang keberadaannya walaupun dia sebenarnya tidak ada.

Di tempat kumpul-kumpul RT/RW lain, Semar yang tidak bisa hadir karena kesibukannya memimpin Tim 9 alias Wali Songo, diwakili oleh anak keduanya, Petruk. Dan inilah sekapur sirih Kyai Lurah Pentung Pecukilan itu:

''Saudara-saudara, juga saudari-saudari, baik yang belum hamil, sedang hamil, maupun akan hamil lagi...Soal banjir ini saya bingung mau melapor kepada siapa. Nek misale banjir ini dari laut, dengan gampang saya bisa wadul pada Sang Hyang Baruna. Umpomo banjir ini lantaran angin...angin bikin air boyongan dari suatu bendungan ke pelataran rumah-rumah penduduk, saya bisa mengadu ke Dewa Bayu. Sekaligus saya protes kenapa kok dewa yang satu ini kerjaannya iseng banget, hobinya melihat punggung kita dikeroki karena mangsuk angin...

Banjir ini bukan karena laut, bukan pula karena angin. Banjir ini karena air di daratan penginnya jalan-jalan sendiri kayak nggak ada kerjaan yang lebih penting selain ngalor-ngidul. Nah, saya bingung, Dewa yang mengurus air hujan di daratan itu siapa? Kalau kebakaran gampang, kita tinggal lapor ke Dewa Brahma, mertuanya juraganku, Ndoro Arjuno.

Bumi gonjang ganjing langit kelap kelap....

Syahdan di kahyangan Salendro Bawono, Sekjen PKS yakni Partai Kahyangan Sesungguhnya, Batara Narada, sedang pusing mengikuti sidang para dewa. Seluruh dewa yang hadir rebutan peran dalam pemberantarasan korupsi manusia. Dewa Brahma yang menguasai api misalnya, ngamuk-ngamuk. Dia sudah menangkap seorang koruptor. Koruptor tingkat tinggi. Dibakarnya koruptor tersebut. Tapi sang koruptor tetap nggak mati-mati, sampai Brahma bosen main api.

Kenapa sang koruptor kakap itu nggak mati-mati? Karena wewenang mencabut nyawa itu hanya ada pada Dewa Yamadipati. Padahal Yamadipati males memberantas korupsi di kalangan manusia. Bukan karena anak Semar itu, saudara Wisnu yang sama-sama anak Semar, setuju pada korupsi. Tapi dia sudah merasa frustrasi. Memberantas korupsi di kalangan manusia ibarat patah tumbuh hilang berganti...mati satu tumbuh seribu....Esa hilang dua terbilang, kalau kata orang-orang Jawa Barat.

Dewa Baruna juga kesal. Dia diberi tugas memberantas korupsi, tapi tidak diberi wewenang menindak. Semula dia senang. Dia pikir di negara maritim alias kelautan seluruh manusia termasuk koruptor tinggal di laut. Wah nanti tinggal dihantam ombak dan digerus arus saja koruptor-koruptor itu. Ternyata di negara yang mengaku maritim itu, manusianya pada tinggal di daratan. Pang­lima tentaranya saja dari Angkatan Darat, bukan Angkatan Laut seperti seharusnya secara logis kalau emang negara maritim.

Pernah ada koruptor yang kebetulan suka laut. Jiwanya jiwa maritim. Setiap akhir pekan, ia tidak mengajak keluarganya ke mal-mal atau gunung-gunung. Dia selalu mengajak mereka ke laut. Pokoknya berusaha mengembalikan kecintaan keluarganya pada laut, seperti orang-orang Majapahit dan Sriwijaya dahulu. Nah, pas koruptor itu sudah digulung ombak dan digerus arus laut atas kekuasaan Dewa Baruna, tetap aja koruptor itu tidak mati-mati.

''Hahahaha....Soal kematian itu wewenangku,'' Yamadipati ketawa sambil leyeh-leyeh di neraka, alias Kahyangan Yomani.

Untuk mengatasi kisruh segitiga pembagian wewenang pemberantasan korupsi antara Dewa Bayu, Dewa Baruna dan Dewa Yamadipati, Kahyangan Satu alias Bathara Guru membentuk sebuah tim independen. Ketika mau dinamai Tim 8, Sekjen Dewa Bathara Narada protes. "Jangan, Adi Guru, nama itu sudah pernah ada yang pakai." Bathara Tanpa Tanda Jasa alias Bathara Guru ingin menamainya dengan Tim 9. Lagi-lagi Bathara Narada protes. ''Jangan, Bathara Oemar Bakrie, itu sudah dipakai oleh Adinda Sampeyan, Semar, yang sekarang sedang mencari Yuliantoro."

Rapat pimpinan Bathara Oemar Bakrie yang tak ada hubungannya dengan Aburizal Bakrie itu akhirnya memutuskan nama tim independen tersebut adalah Tim Sepuluh, Tim 10, ditulis Timlo, nama makanan favorit di Solo. Agar independen, ketua yang diberi mandat diambil bukan dari kalangan dewa, bahkan di luar ka­langan pewayangan, yakni Gundala Putra Petir.

Belum sempat peresmian nama tim independen itu dirayakan dengan tepuk tangan, datanglah tergopoh-gopoh Petruk dan Gareng. Seluruh dewa kaget, kok bisa-bisanya ada manusia sanggup naik kahyangan tanpa pemberitahuan. Biasanya manusia, termasuk Arjuna, Kresna, dan lain-lain, kalau mau naik kahyangan ya lewat gunung yang dipercaya sebagai puncak paling puncak dari Gunung Himalaya...di sana ada wot ogal-agil, lalu naik lagi ada alon-alon repat kepanasan, dan masuk gerbang yang dijaga ketat oleh semacam Paspampres, Dewa Kembar Cingkoro Bolo-Boloupoto.

Ternyata Gareng-Petruk masuk kahyangan melalui jalan yang selama ini ditutup-tutupi oleh para dewa, yang konon mengandung harta karun bernilai lebih dari Rp 6,7 triliun...Namanya Gunung Es Century...Tak ada penjagaan sama sekali di situ. Tak ada Cingkorobolo-Boloupoto. Yang ada cuma poster-poster Boediono dan Sri Mulyani yang ditancapkan oleh pendaki-pendaki gunung sebelumnya, yang mungkin belum tahu bahwa justru gunung ini sebetulnya jalan pintas penyelesaian masalah menuju kahyangan Salendro Bawono.

Masih menggigil kedinginan karena baru saja lewat gunung es, bibirnya biru gemetar, Petruk langsung curhat ke para dewa. ''Harus ada dewa banjir. Sekarang saya bingung kalau ada banjir di daratan mengadunya pada siapa. Karena banjir sekarang sudah makin ngawur saja. Mestinya yang klelep kan cuma koruptor-koruptor. Ini koruptornya selamat, yang kintir dan rumahnya terendam banjir malah rakyat biasa yang pah poh ngah ngoh nggak pernah gupak duwit korupsi. Dan Sampeyan kabeh sekarang malah sibuk bikin pangananTimlo...Tolong pikir juga masalah banjir ini..."

Gareng, sama menggigil dan kathuken-nya dengan Petruk, minta selimut ke Narada, juga langsung curhat. ''Saya keberatan total, kalau Gundala Putra Petir diangkat sebagai ketua Timlo. Biarkan si Gundala itu mengurus listrik saja. Saya punya kecurigaan, KPK dilemahkan, polisi dilemahkan, sekarang perusahaan negara yang mengurus listrik ini sengaja dilemahkan juga agar kalau sudah jatuh dan citranya buruk, maka para swasta akan turun tangan mengelola hajat hidup orang banyak itu...Nggih nopo mboten?"

Bathara Guru, kakak Semar, menjawab, ''Janganlah memaksa saya untuk menjawab cepat, Gareng. Jangan pula mendikte saya untuk bertindak cepat. Mungkin kalian akan melihat saya ini lamban....Aaaakaaaan tetapi..."

Akan tetapi Bathara Guru tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Para dewa pada menunggu akhirnya pulas ketiduran semua. Gareng-Petruk pulang. Di perjalanan ketemua ayahnya, Semar, sedang ongkang-ongkang di bawah pohon randu. ''Lho, Sampe­yan kok santai-santai saja, Mar,'' tanya keduanya.

''Lha iyo Reeek...sopo sing manut buang-buang waktu mencari orang yang tidak ada di muka bumi...mbok kiro aku iki goblok ta?" ***

*) Sujiwo Tejo, tinggal di lagu Lautan Tangis YouTube


Episode 15 Suatu Abad "Century"
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 29 November 2009
Bersama RamabagaImage
YUK Sampeyan tak kenalno mbarek Ramabargawa. Tokoh ini persis Bima. Tapi rambute gondrong. Tur gimbal. Kalau perusahaan sampo Sampeyan mau bangkrut, gampang. Jadikan saja Ramabargawa alias Ramaparasu ini bintang iklannya. Gantine Sandra Dewi. Ditanggung perusahaan Sampeyan remuk koyok Bank Century.

Ndak cuma gimbal gedibal kaping pitulikur, orang ini juga lebih nyentrik dibanding Bob Sadino. Itu lho pengusaha kaya raya tetapi nggak kuat beli celana panjang mulakno ke mana-mana pakai celana pendek. Ramabargawa lebih minim dari kathok. Sudah badannya tinggi besar dan gempal, ke mana-mana dia cuma cawetan.

Sudah cuma cawetan, ke mana pun pergi senengane mesti bawa busur plus panahnya. Ke mana saja dia pergi. Ke Benowo bawa itu. Ke Menur nyengkiwing itu. Ke Sukolilo, ke Taman Surya. Wis pokoke ke mana-mana. Siapa ya yang dicari-cari dan mau dipateni? Kok plaur-plaur temen ngalor-ngidul nyangking senjata busur dan panahnya yang terkenal itu, Bargawastra?

''Jan-jane wong gendeng ini hanya ingin membunuh golongan ksatria, Siapa pun ksatria yang dipergoki akan dicekel cek, diudet-udet, dipateni," kata Gareng. ''Ramabargawa terikat sumpah. Dia sumpah-sumpah akan melibas siapa saja dari golongan ksatria, karena ibunya, Dewi Renuka, selingkuh dengan Raden Citrarata. Citrarata itu kelas ksatria. Ramabargawa main gebyah uyah, pukul rata. Dalam sumpahnya Ramabargawa akan menghabisi seluruh golongan ksatria yang dijumpai.''

''Ck ck ck...Serem, Rek. Sumpahe sampek koyok ngono yo, Cak,'' tanya para juru warta yang merubung Gareng. Kebeneran waktu malam Kamis Kliwon itu para wartawan berbondong-bondong ke tempat Gareng, sehabis pulang liputan dari Mahkamah Konstitusi.

Ganti Gareng bertanya, ''Kalian tadi pasti bertanya ke Pak Mahfud MD, ketua aMKd...''

''Ketua MK, Cak Gareng, bukan aMKd...''

''Lho, Pak Mahfud itu orang Madura tulen...Yang bener aMKd...aboooh Mahkamah Konstitusi diiiik...Ya, kalian tadi pasti bertanya pada ketua aMKd kenapa kok sibuk mikir Bibit-Chandra. Sampai-sampai ia revisi undang-undang. Sekarang tersangka dan terdakwa masih boleh memimpin KPK, sampai yang bersangkutan terbukti bersalah di pengadilan. Iya kan? Kenapa kalian nggak sekalian takon, kok aMKd tidak memikirkan undang-undang untuk melindungi kerapan sapi di Madura sebelum diakui Malaysia, hayo?''

''Ah, jangan mengubah pembicaraan, Cak Gareng. Jawab dulu pertanyaan kami. Kok sumpahe Ramabargawa sampek dipegang teguh seperti itu? Padahal undang-undang saja bisa direvisi. Sumpah jabatan saja juga tidak mengikat. Semua pejabat itu sumpahnya akan mendahulukan kepentingan umum, tapi kenyataannya?''

Gareng mulai berdiri. Gareng bilang, sumpah jabatan bisa dilanggar, karena itu sumpahnya wong waras. Tapi Ramabargawa itu wong gendeng. Wajar kalau Ramabargawa konsisten terhadap apa yang sudah diucapkannya, dengan apa yang sudah menjadi prasetyanya. Hanya orang sinting sekarang yang memegang teguh satunya kata dan perbuatan.

Begini skenarionya. Ramabargawa alias Ramawadung itu diperintah oleh ayahnya, Resi Yamagdani, untuk memenggal kepala ibunya pakai wadung atau kapak. Ini setelah terbukti ibunya berselingkuh dengan Citrarata, golongan ksatria dari Kerajaan Martikawata. Kakak-kakak Ramawadung yang tidak mau melaksanakan titah ayahnya dikutuk oleh sang ayah sakti mandraguna itu jadi binatang. Ada yang jadi celeng, anjing, ular, dan lain-lain.

Setelah terperangah dan termangu, Ramawadung akhirnya bersedia memenggal kepala Dewi Renuka, ibu kandungnya sendiri. Pakai syarat, tapi. Uba rampenya, setelah pemenggalan maka seluruh kakaknya yang telah menjadi binatang dikembalikan ke asalnya sebagai manusia, dan ibunya dihidupkan kembali. Resi Yamadagni, sang ayah, oke. Seketika mak thel...Kepala Dewi Renuka gumlundung, berdarah-darah di tanah atas kapak sang putra. Tapi malang tak dapat ditolak, Yamadagni meski pandita ketularan watak pejabat. Ia ingkar janji. Kakak-kakak Ramawadung tetap menjadi binatang dan sang ibu tak kunjung hidup. Nah, Sedulur-sedulur, di situlah sumpah Ramawadung terkumandang membahana sambil mengacung-acungkan kapak dan busur panahnya.

Malam Kamis Kliwon itu Gareng sedang menjadi dalang wayang orang. Dan skenario itu pula yang dituangkan kepada seluruh pemain di belakang panggung sebelum pentas, termasuk kepada Pak Sri Mulyono, pemeran Ramabargawa. Penonton tumpah ruah ke tobong wayang orang itu. Termasuk wartawan. Beda jauh nek dibandingno jumlah rata-rata penonton wayang orang Bharata di Jakarta atau Sriwedari di Solo yang cuma sepersepuluh jumlah pemain.

Ternyata mereka itu dibawa oleh biro perjalanan yang dipimpin Mbak Budiana. Iming-imingnya, pertunjukan wayang orang yang didalangi Gareng ini lain dari biasa. Selalu aktual. Keluar dari pakem. Wajib tonton.

Nah, pas Pak Sri Mulyono pemeran Ramabargawa itu keluar merokok sebentar di halaman belakang sebelum pentas, sudah pakai kostum lengkap, tapi kelihatannya masih banyak pikiran, dihampirilah dia oleh Mbak Budiana. Dari perkenalan singkat itu Pak Sri Mulyono sempat curhat biaya hidup. Katanya sekarang sudah mending. Kebutuhan anaknya untuk belajar dan beli buku tidak sebesar sebelumnya, karena harus termehek-mehek bisa lulus ujian nasional (unas). Sekarang unas bakal ditiadakan. Tapi kebutuhan lain bukannya tidak berseliweran seperti nyamuk di Wonocolo.

Saat itu ngasihlah Mbak Budiana duit ke Pak Sri Mulyono, sambil bisik-bisik. Mbak Budiana pesen ke Pak Sri Mulyono agar tidak mengecewakan ribuan penonton yang sudah setengah mati dibawanya termasuk para wartawan. ''Kalau Pak Sri Mulyono pakai lakon wayang orang pakem, penonton pasti pulang. Biro perjalanan saya nanti remek. Jadi, Rama­bargawa jangan mencari-cari golongan ksatria...Itu sudah kuno...nggih Mas, ngaten nggih Mas Sri Mulyono, sayangku?'' kata Mbak Budiana sambil sun pipi kiri-kanan Pak Sri Mulyono dan pergi.

Tak heran pas di panggung Ramabargawa bermonolog di luar pakem:

''Aaaakuuu nang Benowoooo...Nang Sukoliloooo...Nang Menuuuur...Taman Suryoooo...Sopo ngerti mereka ada di situ. Aku mencari dan akan menghukum siapa saja yang sedang atau pernah menjadi menteri keuangan dan gubernur bank sentral...."

Wah, penonton bertepuk tangan. Bersorak-sorai. Tidak sedikit yang merangsek, menjabat tangan Mbak Budiana di bangku depan. "Terima kasih, Mbak. Matur nuwun. Kami semua puas menonton wayang orang ini. Asyik. Lain kali saya akan tetep pakai biro perjalanan Mbak Budiana. Berapa pun biayanya.''

Karena wayangnya menyimpang dari pakem, sehabis pentas wartawan langsung menyerbu belakang panggung, merubung Pak Dalang Gareng. Setelah berbasa-basi tanya soal ketua aMKd Mahfud MD tadi, para juru warta menyatakan kebingungannya. Kalau betul yang dicari orang sakti tanpa tanding ini adalah menteri keuangan dan para mantannya, juga gubernur bank sentral dan para mantannya, mana ada menteri keuangan atau gubernur bank sentral sampe mau-maunya kleleran nduk Taman Surya? Apalagi kalau, misalnya saja, misalnya lho, bekas gubernur bank sentral itu sudah menjadi wakil presiden.

Tahu kakaknya pucat-pasi plegak-pleguk nggak bisa njawab seperti masih menahan marah pada pemeran Ramaparasu, Sri Mulyono, Petruk yang easy going ambil bagian. ''Ehm, begini rekan-rekan pers...Kenapa kok akhirnya yang dicari-cari Ramawadung adalah menteri keuangan dan gubernur bank sentral beserta seluruh bekas-bekasnya...Karena yang membuat Dewi Renuka mau berselingkuh itu bukan ksatrianya, bukan Raden Citrarata-nya, tapi karena ksatria ini sering memberi uang kepada sang bunda. Maklum, Dewi Renuka, Resi Yamagdani itu pertapa miskin di pucuk gunung. Kesimpulan Ramabargawa, sumber masalahnya adalah uang. Padahal uang tidak bisa dihukum, yang bisa dihukum adalah para pembuat uang.''

Wartawan masih belum puas, karena bukan itu inti pertanyaan mereka. Mereka bertanya apa mungkin para pejabat tinggi dan mantannya keluyuran sampai Taman Surya. Gareng menyeret Petruk yang masih cengegesan segera berlari menghindari pers. Mereka mencari Bagong yang kemarin ditugasi mengaudisi seluruh calon pemain termasuk pemeran Ramawadung. ''Orangnya jujur, kok," Bagong seperti biasa, ngotot. ''Lemah lembut dan sopan. Tidak mungkin Pak Sri Mulyono dapat disuap untuk membelokkan skenario...''

Ndilalah pas Bagong mendelik-ndelik dan ngotot itu lewat Pak Siswo Duanyi, yang di pementasan tadi melakonkan kera Anggodo, anak Resi Subali dan Dewi Tara dari Kerajaan Guakiskenda. ''Betul, setuju Bagong, Pak Sri Mulyono itu orangnya jujur,'' kata Pak Siswo Duanyi, ''Tidak mungkin dia bisa disogok. Saya sudah kenal lama kok. Cuma tadi itu dia bisik-bisik ke saya, kenapa kok dia spontan ngenggokno skenario. Lantaran dia mangkel, kakak-kakak Ramabargawa ketika dikutuk sang ayah Resi Yamadagni, kok nggak jadi babi, anjing, ular seperti di pakem...Tapi kok mereka --Rumawan, Susena, Wasu, Wiswawasu-- terbagi dua kubu jadi cicak dan buaya... Lhaaa itu kuncinya dia marah terus ngombro-ombro tekan Taman Surya...''

Bagong dan Petruk melirik Gareng, seolah-olah meminta pertanggungjawaban si sulung kenapa bisa muncul cicak dan buaya di panggung.

Gareng kasih penjelasan, terbata-bata, dan sering menelan ludah. ''Gini lho, Romo Semar sekarang kan makin tua. Sering sakit-sakitan. Perlu biaya. Negara tidak mau menanggung warganya yang sakit. Saya sebagai anak tertua harus bertanggung jawab. Bojoku, yo mbakyumu Dewi Sariwati, wis tahunan bikin kostum cicak dan buaya... ndak payu-payu, ndak ada yang mau beli. Siapa tahu kalau dipakai di panggung, banyak yang nonton, terus ada yang tertarik membelinya...'' ***

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 16 Garuda di Dada Limbuk
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 06 Desember 2009
Image
LIMBUK ujuk-ujuk ngalamun. Di bawah pohon cempaka di taman keputren Astina. Baru saja tuan putri, Dewi Banuwati, ke tempat yang lebih luas dibanding taman Agrowisata Batu itu. Sang permaisuri Raja Diraja Duryudana minum teh di taman ini, lahan yang asri, mbarek mendengarkan ayam bekisar di bawah pohon sawo manila.

''Apa kamu tadi baru dimarahi Ndoro Putri?'' tanya Cangik dengan kinang dan sirih di mulut.

Limbuk ndak nggabres pertanyaan mboknya itu. Mungkin perawan gembrot ini sedang memikirkan hak angket DPR tentang Bank Century. Ah, tapi tidak mungkin Limbuk mau-maunya nggagas perkara-perkara yang ngglambyar dan tokoh-tokohnya cuma pating pecotot itu.

''Aku kangen swargi Mas Lesus, Mak. Ndahneyo senengnya kalau di hari-hari kayak begini Ndoro Putri nanggap Mas Topan dan Mas Lesus.
Kita bisa ikut nonton gratis,'' Limbuk akhirnya mau juga menanggapi Cangik.

O, Cangik ngelus dodo. Lega. Tidak mungkin putri satu-satunya ini goblok banget sampai sudah merasa puas karena DPR sudah menggunakan hak angket kasus Century. Limbuk itu pinter kok, meski tidak tamat SD. Daya ingatnya juga lumayan.

Makanya, Limbuk juga ndak pernah lali, sudah berapa kali hak angket DPR dikandaskan di tengah jalan, termasuk angket soal BBM naik. Sampeyan pasti sudah lupa semua to? Hehe... Jadi pas semua orang lupa sejarah, semua orang bahagia dan dikecoh oleh munculnya angket Century, Limbuk malah menjeb sinis. Panakawan Astina ini totoan, o alah ini kan cuma buat nyenang-nyenangkan sedulur-sedulur. Nanti pas kabeh awake dewe yang pelupa ini sudah ndak ngrewes Century lagi, ya angketnya dikandaskan.

Tahu nggak? Kenongopo Limbuk sampai sekarang nggak kawin-kawin sampai karaten? Ya, karena daya inget-nya yang dimasukkan kulkas itu...awet banget.

Jadi, dia itu pernah ditolak cintanya mbarek Raden Arjuna. Raden Arjuna hampir saja kepincut Limbuk, malah mau menceraikan istrinya, Dewi Subadra. Raden Arjuna bosen menjadi laki-laki yang nggak punya pendirian, yang gandrungnya cuma pada perempuan langsing. Apa salahnya jatuh cinta pada wong wedok moleg ginuk-ginuk.

***

SUATU purnama mulailah mereka jalan-jalan berdua di pesisir Banyuwangi, yang lautnya kinclong-kinclong bagai kaca. Angin semilir dari selat Bali. Pas Arjuna mau ngambung, eh Limbuk dengan YellowBerry-nya facebook-an embuh sama siapa.

Limbuk berseru, ''Wah, aduuuh, enak lho Mas Juno facebook itu, bisa membuat kita dekaaaaat dengan banyak orang...''

Arjuna kesal sambil meninggalkan Limbuk. ''Betul...Mendekatkan yang jauh. Tapi facebook menjauhkan yang jelas-jelas sudah dekat...byeee..''

Sejak itu dendam Limbuk pada Arjuna tak pernah raib

Suatu Rabu Pon datanglah seekor burung Garuda di Taman Kadilengeng, ya tempat Limbuk menjadi pegawai.

''Mak Cangik, malam Pon seperti ini kok tiba-tiba ada wujud begini di depan kita. Apa ini iklan kacang...?''

''Hush, bukan iklan kacang. Itu burung Garuda...''

''Lho aku nggak minta burung Garuda, Mak. Untuk ngusir pikiranku sing lagi judeg, aku penginnya burung perkutut...Bukankah mendengar bekisar dan burung perkutut itu bagus timbang nonton wong-wong partai nggedebus nang televisi...''

''Iya bagus, Mbuuuk. Tapi perkututnya lagi nggak ada. Makmu ini sudah pesen ke juragan perkutut nduk Jakarta, Cak Nurbuat...tapi belum dapat-dapat juga.''

''Bojone Rohana?''

''Iyo, bojone koncomu naliko Taman Kanak-kanak dulu. Cak Nurbuat kan memang ahlinya perkutut...''

''Apa Pak Lik Nurbuat juga judeg mikir bongso iki, kok pelariannya seneng perkutut...?''

''Wah soal itu Makmu gak ngerti Nduk. Mungkin dia juga kangen Lesus...daripada tiap hari nonton orang eyel-eyelan perkoro Bank Century...Gak onok Lesus, ya perkutut saja.''

Merasa gak direken, Burung Garuda yang menclok di kenanga mulai ngomong. Bilang, bahwa dia tasih bersaudara dengan burung Jatayu dan Sempati. Dia adalah kendaraan Wisnu, anak Semar...

Begitu mendengar Semar, Limbuk ingat juragan Semar, Arjuna. Limbuk langsung menuduh kedatangan maskapai penerbangan Garuda ini untuk menjemput Limbuk, membawa ke Arjuna. Padahal dendam Limbuk belum pupus pada Penengah Pandawa itu.

Tandasnya campur-campur logat Trenggalek, ''Bilang pada Arjuna. Ora ritek saya mamek ketemu dia lagi...Ora ritek....''

Garuda menenangkan suasana. Maksud dia bukan menjemput. Garuda justru ingin melamar menjadi salah satu satwa pengisi taman. Udaranya lebih segar dan cocok untuk merentang sayap terus-menerus. Kodratnya adalah merentangkan sayap. Dia kedinginan kalau siang malam harus merentangkan sayap di ruang ber-AC seperti di istana dan kantor-kantor di Jakarta.

''Makanya,'' kata Garuda, ''Jadi orang itu jangan terlalu mengingat-ingat yang sudah-sudah. Belum selesai saya ngomong, kamu sudah menyangka saya memboyong kamu ke Tuan Arjuna.''

Kita beruntung banget bisa hepi mendengar angket DPR soal Bank Century karena lupa bahwa angket-angket sebelumnya, kayak angket BBM, ternyata cuma nggedebus saja.

Bayangkan kalau ingatan kita kuat, kita akan nggak percaya pada angket Century, karena kita selalu ingat gombalnya angket-angket masa lalu. Dan kita akan susah makan bagai Limbuk karena selalu ingat tinjanya wong kecirit.
(*)

*) Sujiwo Tejo, tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 17 Begawan Mintaraga Disadap
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 13 Desember 2009
Image 
MBAK Yanti pesinden Pacitan. Ia lagi peye di Tulungangung. Tapi pamitnya ke suami manggung nduk Nganjuk. Gawat kalau Mbak Yanti blak-blakan bilang lakinya nek pentas di kota marmer itu. Lha wong dulu Mbak Yanti pernah sir-siran sama tokoh penting di Tulungangung, hayo.


Dari Hakim Mbilung yang mulutnya selalu bocor persis talang digerogoti tikus, Mbak Yanti ngeh kalau telepon genggamnya disadap. Soalnya peraturan baru kerajaan bilang, penyadapan mesti pakai izin pengadilan, Rek. Wah sebagian hakim bancakan do ngerti kabeh. Pagi-pagi banget Mbilung ngos-ngosan ketuk-ketuk pintu rumah Mbak Yanti. Yuniornya Togog ini bisik-bisik, ''Aduuuh Yaaan, Yanti...HP-mu bakal disadap karo suamimu, ati-ati yo.'' Ia baru pamit setelah Mbak Yanti mbeseli uang rokok.

Nalikane akan berangkat ke ''Nganjuk'' suami Mbak Yanti wanti-wanti, ''Dik, kakang ini selalu kangen kamu apalagi kalau pas nembang. Nanti tolong pas mau nembang kamu telepon calon produser di Surabaya. Kalau sudah nelepon beliau, tetap hidupkan HP-mu sampai kamu nembang. Biar beliau ikut mendengar. Oh, siapa tahu suara emasmu yang bagai Nyi Condrolukito itu akan jadi direkam di studionya sana. Nanti ta' derekno ke Surabaya. Sekarang ati-ati ke Nganjuk ya Diajeng...''

Mbak Yanti pura-pura percaya itu rayuan tulus. Mbak Sri Pujianti, lengkapnya, juga pura-pura mesra ngesun suaminya di ambang pintu rumah mereka yang lumayan magrong di Pacitan. ''Wong wedok kok dikadali...," batinnya sambil ngesun.

Kini ratusan penonton wayang orang di Tulungagung sudah menanti-nantikan suara Mbak Yanti. Itu pas adegan Limbukan. Tapi khalayak di sana bingung. Plonga-plongo semua. Kok pesinden ayu ini menyapa mereka sebagai warga Nganjuk ya. ''Sugeng ndalu poro rawuh ing kito Nganjuk,'' kata Mbak Yanti dengan ciri khas suaranya yang renyah dan gurih. Penonton bersorak-sorai, ''Sanes Nganjuk, Mbak Yanti meniko Tulungaguuuuung...''

Setiap kali penonton berteriak ''Tulungagung'', Mbak Yanti cepet-cepet menutup HP-nya dengan selendang ungunya agar sang suami nun di Pacitan kota SBY sana tidak mendengarnya. Adegan itu berulang-ulang terjadi. Kadang Mbak Yanti menutup HP-nya dengan gelung konde. Sampai akhirnya penonton bosen berteriak. ''Ya wis, karep-karepmu, Mbak Yanti...''

***

Banyak yang bilang cara paling jitu mengganyang korupsi adalah penyadapan. Tapi kini muncul peraturan baru kerajaan, penyadapan harus seizin pengadilan. Rencana penyadapan oleh KPK kemudian sering bocor. Cak Mantoro, sejawat Mbak Yanti pemeran Begawan Mintaraga, juga disadap.

Hakim Mbilung yang bertandang di ruang rias bertanya ke Cak Mantoro, ''Kamu mau main wayang orang apa pentas musik reggae kok rambut palsumu gimbal persis Bob Marley? " Cak Mantoro bilang, ini dandanan Begawan Mintaraga alias Begawan Ciptaning. Ini wujud lain Arjuna yang bertapa bertahun-tahun sampai rambutnya panjang seperti Sunan Kalijaga dulu saat tapa di tepi sungai. Hakim Mbilung bisik-bisik, ''Ati-ati...di rambut palsumu itu ada mikrofon kecil seperti kutu. Kamu sedang disadap dan istrimu juga bisa ikut nguping..."

Wah, Cak Mantoro kelimpungan. Panik. Mau cari mikrofon kecil di rambut palsu tapi ia sudah harus cepat naik pentas. Mbilung ngadang dalan di wing kiri panggung. Setelah dibeseli uang rokok, baru hakim itu pergi kasih jalan Cak Man. Bablaslah Begawan Mintaraga masuk panggung, duduk bersila. Samadi. Layar panggung wayang orang menyibak perlahan. Penonton bertepuk tangan..

Berdatanganlah dalam tarian mirip bedaya delapan bidadari yang dititahkan untuk mengganggu sang pertapa. Semuanya cantik-cantik. Lengkap seperti pakem pedalangan. Rempyoh-rempyoh sesinome, mandul-mandul payudarane... Ada Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra... Ada yang netranya lindri anjait...Misalnya Dewi Gagarmayang. Ada yang pinggulnya nawon kemit ya Dewi Tunjungbiru. Ada yang betisnya amukang gangsir... Dewi Lengleng Mandanu.

Menurut pakem yang dibabarkan dalang pas pendadaran sebelum pentas, betapa teguhnya pertapaan Mintaraga agar cita-citanya kelak tercapai: negara yang bebas korupsi. Meditasi Ciptaning tak bisa diganggu oleh siapa pun. Semua bidadari diusirnya, dengan satu mantera, ''Dasar, semua perempuan memang racun!!!''

Ternyata Cak Mantoro, pemeran Begawan Mintaraga, ndak brani mengucapkan mantera tersebut. Para bidadari juga tak kunjung pergi. Maklum, Cak Mantoro takut kalau ngomong, ''Dasar, semua perempuan memang racun!!!'' Nanti kalau istrinya di rumah ikut mendengar lewat penyadapan yok opo?

Cak Mantoro traumatis. Dulu suami-istri itu pernah gegeran. Waktu itu ia membela Aburizal Bakrie. Istrinya membela Sri Mulyani. Cak Mantoro keprucut ngomong, ''Dasar, semua perempuan memang racun!!!'' Wah, istrinya kalap. Ia acungkan ulek-ulek sambel tempe penyet sambil mengejar-ngejar Cak Mantoro dari pematang sawah sampai ke jalan-jalan raya di depan istana Pak Boediono.

***

Ah, yang disadap ternyata bukan cuma Mbak Yanti dan Cak Mantoro. Sebelum ngabari Cak Mantoro di ruang rias, ternyata Hakim Mbilung sempet ketemu Pak Djoko, dalangnya. ''Mas Djoko, gawat, Mas. Ini untuk pemberantasan korupsi. Sampean akan disadap. Ati-ati. Pakai mikrofon kecil yang dimasukkan ke mik seperti susuk..."

''Tapi istri saya kan gak bisa dengar, Pak Hakim?''

''Ya, saya tidak bisa jamin, Mas Dalang. Rencananya sih hanya KPK yang nguping...''

Seperti pada yang lain-lain, Hakim Mbilung nempel ki dalang terus, baru pergi setelah dibeseli uang rokok.

Akhirnya penonton terus protes. Pada pemain Mintaraga, mereka protes kok tidak mengusir-usir bidadari. Padahal, menurut penonton, biarpun cantik-cantik para bidadari itu tak ubahnya koruptor yang menyusahkan orang banyak. ''Hoi... Mintaraga, usir koruptor-koruptor itu," teriak penonton.

Nah, pada Pak Dalang, penonton protes kok dari awal sampai tengah malam Pak Dalang batuk-batuk terus sehingga suluk, janturan, dan ada-ada-nya tidak terdengar jelas. Mana pakai ''hoooweek hooowek lagi...''

Alasan Pak Dalang, ''Istri saya di rumah jangan sampai tahu bahwa saya sehat wal afiat kalau di luar rumah. Soalnya kalau di rumah, saya pura-pura sakit-sakitan terus cek gak disuruh-suruh terus...''

Di tempat lain ada yang garuk-garuk kepala. Seperti orang KPK, macam KPK, tapi bukan KPK. ''Wah, bocor...bocor...penyadapan kita bocor...."

Demikian Wayang Durangpo kali ini.

Sidang budiman pembaca Jawa Pos, Kupat pakai santen, menawi lepat nyuwun ngapunten. Madura bilang, Salah lopot nyoon sapora. Dan seperti biasa, semua nama dan tempat fiktif. Tapi kalau Menkominfo Tifatul Sembiring percaya ini betul-betul terjadi, ya silakan. Kalau sang menteri, yang ngotot ingin penyadapan baru bisa dilakukan setelah ada izin hakim, percaya pada cerita tadi, ya monggo...
(*)

*) Sujiwo Tejo , tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 18 Prita Mencari Undur-Undur
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 20 Desember 2009
Image
Kondangnya Dewi Kunti. Perempuan ini anak Raja Kuntiboja dari Kerajaan Mandura atau...gampange sebut wae Madura. Tapi sejatinya perempuan tangguh ini Prita namanya. Ibu Pandawa yang nama lengkapnya Dewi Kunti Nalibranta itu janjane punya nama alias Dewi Prita. Begitulah pakem pedalangan menyebutnya.

Sekarang lihat...Masyarakat lagi gandrung-gandrungnya ngumpulno koin buat Prita. Yok opo nek aku usul agar sedulur-sedulur juga urunan dukungan dana buat perkara pengadilan Prita-Prita yang lain.

Wah...wah...wah...Pengadilan memang kurang bijak memecahkan masalah Dewi Prita.
Masa' Prita dihukum gara-gara rasan-rasan tentang buruknya pelayanan rumah sakit. Padahal yang digunjingkan mungkin sedikit banyak ada benarnya juga.

''Wah itu malah bijak. Dan sudah bagus engatase anak raja, Prita tetap diadili," kata Bagong kepada Gareng.

''Bijaknya di mana?" Gareng nyureng-nyureng sambil seperti biasane berpikir serius koyok yak-yako.

Seperti biasa pula, dengan polos namun cerdas Bagong menyahut, "Namanya saja memecahkan masalah. Jadi masalah satu dipecah jadi dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan seterusnya...dari satu masalah jadi makin banyak masalah..."

"Bagong bener," sela Petruk yang pernah bekerja di pegadaian dan baru belajar bahasa Inggris di Saudi Arabia. ''Kalau wong londo Inggris sudah jelas, istilahnya kalau nggak problem solving ya solving problem. Jadi menyelesaikan masalah tanpa masalah. Bukan malah masalah itu dipecah-pecah menjadi bermasalah-masalah..."

Masalahnya, zaman semono Dewi Prita bunting di luar nikah gara-gara kelakuan Dewa Surya. Prita meminta rumah sakit itu membantunya bersalin secara wajar. Yaitu, kelahiran lewat guwa garba. Tapi pihak rumah sakit ingin menge­luarkan bayi melalui telinga alias karna. Alasan rumah sakit, agar kewanitaan Prita tetap gres ewes-ewes. Maklum, bulan depan akan diadakan sayembara perang untuk mencari pejantan tangguh sebagai suami bagi Dewi Prita. Masa' yang disayembarakan sudah blong.

Ah, Prita males eyel-eyelan di ruang bersalin. Dokter-dokter menang. Akhirnya Prita babaran melalui telinga alias karna. Maka bayi itu akta kelahirnnya bernama Karna, kelak menjadi Adipati Karna setelah hak asuhnya diambil alih oleh pihak Kurawa.

Suatu hari di pasar kaget Madura, sebut saja dekat Bangkalan, Prita rasan-rasan rumah sakit itu. Dia protes, kalau laki-laki boleh ndak joko pas mantenan, kok cek enake perempuan mesti perawan thing-thing sehingga rumah sakit itu susah-payah dan menyakitkan mengeluarkan orok dari telinga dia.

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap...

''Opo dosaku sampai telinga ini diobok-obok. Gara-gara rumah sakit itu maka indra runguku sekarang jadi berkurang. Saya kurang bisa mendengar apakah betul nama SBY disebut empat kali oleh Anggodo dalam sadapan telepon yang dipamerkan di Mahkamah Konstitusi. Kalau memang SBY disebut-sebut empat kali namanya di situ, dan SBY tidak tersangkut, kenapa SBY yang biasanya supersensitif tidak melaporkan pencemaran nama baik itu ke polisi," kata Dewi Prita sambil mulutnya menyonyo-nyonyo persis ibu-ibu arisan.

***

Tur maneh, pertemuannya dengan Dewa Surya pas Dewi Prita mudo nduk kamar mandi juga tidak terjadi atas kesengajaannya. Waktu itu Prita sedang menjadi sukarelawan percobaan perusahaan handphone. Perusahaan ini ingin memecahkan rekor bahwa handphone bukan cuma bisa memunculkan gambar hidup seseorang, tapi langsung bisa menghadirkan sosok fisik orang yang kita inginkan.

Staf ahli perusahaan tersebut adalah Resi Druwasa. Seperti disebutkan dalam pakem pedalangan, resi ini mempunyai aji sangat terkenal yaitu Cipto Wekasing Roso Sabdo Tunggal Tanpo Lawan. Barang siapa diberi aji tersebut yang dilengkapi sebuah cupu, bisa mendatangkan siapa pun yang sedang dipikirkannya.

Kocap kacarito pas Prita mandi pagi hari itu, setelah melepas seluruh pakaiannya termasuk yang terakhir adalah bra-nya, Prita melihat matahari dari balik jendela kamar mandi. Prita terlintas memikirkan sang Surya itu. Mak jleg, tahu-tahu Dewa Surya sudah hek-metehek berdiri di dalam kamar mandi. Kunti tak bisa mengusirnya. Wong Dewa Surya itu perayu ulung. Apalagai di kalangan dewata Mas Ganteng ini dikenal sebagai playboy.

Syahdan terjadilah peristiwa itu...

Tapi Prita tidak merasa perlu menutup-nutupi kecelakaan yang indah itu. Dan demi keadilan, Prita merasa tidak perlu harus pera­wan untuk bisa menikah, wong laki-laki juga gak harus perjaka untuk bisa nikah kok. Tapi pihak rumah sakit memaksanya melahirkan melalui telinga agar keperawanan Prita tetap prima.

Akhirnya Prita sudah jatuh ketimpa tangga. Pihak rumah sakit merasa namanya dicemarkan. Hakim memutuskan Prita membayar denda ratusan juta. Sudah itu, eh, telinga Prita rusak. Misalnya suatu panitia khusus meminta agar pejabat-pejabat yang diduga terlibat perkara korupsi mundur dari jabatannya, paling tidak mundur sementara. Prita salah dengar. Yang didengarnya, panitia khusus itu meminta masyarakat agar mencari binatang undur-undur.

***

Sudah hampir satu bulan sampai malam 1 Suro kemarin Prita mencari undur-undur. Tapi ndak ketemu-ketemu. Hewan ini lebih besar sedikit dari ketonggeng alias tinggi. Badannya lunak. Warnanya abu-abu ketanah-tanahan. Dulu waktu Prita masih kanak-kanak, ketika iklim masih bagus, jauh sebelum Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, ia suka bermain dengan undur-undur.

Biasanya ia cabut rambutnya yang panjang itu satu. Lalu ia kili-kilikan masuk ke tanah yang gembur di karangkitri, yaitu pekarangan di belakang rumah. Ketika rambut itu pelan-pelan ia kili-kilikan naik ke permukaan tanah, biasanya terikut binatang yang jalannya nggeremet mundur itu. ''Nah, itu namanya undur-undur, Ndoro Ayu," Semar menjelaskan.

Kini satu Suro bahkan sudah lewat masih juga undur-undur tak ditemukan. Akhirnya Prita lapor ke suatu panitia khusus, ''Mohon maaf Mas Pansus, binatang yang bersedia mundur sekarang sudah tidak ada. Mungkin karena perubahan iklim. Mungkin juga karena sudah banyak di-untal masyarakat sebagai pengobatan alternatif kencing manis. Binatang-binatang lain yang saya temui tidak berkenan mundur. Semua jalannya maju. Bahkan kuda yang zaman bapak saya bisa disuruh mundur, kalau kendalinya kita hentak pelan dan kendurkan, sekarang tetap diam ditempat. Jaran itu malah maju..."

Mas Pansus terhenyak, kok telinga Prita bermasalah. Mas Pansus ngetes. "Coba saya tes...Supaya adil, sebaiknya koin-koin yang kalau disusun lebih tinggi dari Monas itu juga dipersembahkan buat pencuri cuma tiga butir kakao, Mbok Minah...Hayo tirukan omo­nganku tadi..."

Prita: Hehehe...Mas Pansus tadi bilang begini, Pak SBY malu 100 persen dan sudah setuju imbauan Mas Pansus agar Kang Mas Boediono dan Mbakyu Sri Mulyani mundur sesuai akar budaya kita, yaitu tradisi binatang undur-undur.

Waduh... Mas Pansus akhirnya mengimbau masyarakat, jika kumpulan koin sudah melebihi denda yang harus dibayar Dewi Prita, sisanya buat membiayai Prita ke ahli THT untuk memecahkan masalah kupingnya.

Gareng: Memecahkan masalah apa menyelesaikan masalah, Mas Pansus? (*)

*) Sujiwo Tejo, tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 19 Natalia Luna Mayang
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 27 Desember 2009
Image
NATALIA Luna Mayang nama seorang tokoh. Artinya perempuan yang mak pecungul lahirnya pas Natalan. Artinya, bisa juga, arek wedok namanya Luna. Pada hari Natal perempuan itu lagi melakonkan wayang. Melakonkan wayang bahasa Jawanya kan mayang, Rek.

Tapi awas jangan kebablasan jadi Mayang Sari ya. Kalau ini bukan pelakon wayang. Dia biduanita dari Purwokerto. Sekarang dekat mbarek keluarga Cendana. Hubungannya dengan wayang cuma faktor orang tuanya. Bapaknya pelakon wayang. Beliau dalang senior Banyumasan, Ki Sugito Purbocarito. 
Luna yang ini cukup Natalia Luna Mayang saja. Ndak pakai Sari. Perawakannya tinggi semampai. Kelahiran Bali. Matanya belok. Mesem-nya ndak pernah cuti. Bahkan cuti hamil juga ndak. Pernah pas lagi hamil tahun lalu, Luna Mayang teteeeep aja mesem. Ndak seperti Pak SBY yang sekarang sedang cuti mesem. Dan Luna Mayang memang sedang mementaskan wayang. Tokohnya dirinya sendiri.

Seperti Luna-Luna yang lain, Natalia Luna Mayang juga berbeda dibanding Mbah Surip. ''Swargi Mbah Surip senang menggendong pacarnya ke mana-mana, Luna Mayang ke mana-mana sukanya nggendong anak orang lain," kata Semar mengawali pementasan wayang orang.

Di panggung pada Kamis Kliwon itu Luna Mayang meminta penonton satu-satunya, namanya Ariel, untuk dijadikan bahan gendongan di panggung. Ariel, anak kecil yang masih berusia 3 tahunan itu meronta-ronta. Ia pengin digendong oleh ibu kandungnya sendiri yang sedang keluyuran embuh ke mana. Lagi pula anak itu nggak mood tampil di panggung kalau honornya kurang dari Rp 6,7 triliun. Luna Mayang akhirnya masuk panggung. Ia angkat pemeran Bagong yang sudah berusia 50 tahun. Digendongnya tokoh itu masuk ke atas panggung sambil perempuan ini tertatih-tatih. ''Bagong kan sifatnya seperti anak kecil,'' batin si Luna Mayang, napasnya melar-mingkup.

Kebetulan beberapa wartawan sedang berkumpul di belakang panggung. Mereka sedang bikin liputan tentang nyaris punahnya kesenian tradisional. Kagetlah mereka melihat adegan Luna menggendong Bagong. Gila, yang digendong jauh lebih besar daripada yang menggendong. Mana Bagong sampai angler ketiduran. Berebutanlah para wartawan naik ke panggung untuk memotret. Sampai akhirnya di gendongan Luna, kepala Bagong terantuk kamera.

Weladalah...wah...wah..wah...Luna Mayang protes. Bagong yang ketiduran segera dialihkannya ke mobil. Balik lagi menemui wartawan Luna langsung mendamprat mereka. Kemudian inilah kata-katanya yang akhirnya lebih terkenal dibanding wajah Osamah bin Ladin: Wahai para wartawan!!! Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian lebih buruk daripada cicak dan buaya!!! Ikh...Hmm..Kalian lebih kejam daripada pembunuh!!!"

***

Sebet byar kataliko....tan kocapo..

Di kawasan Surabaya, cicak-cicak di Dolly, di Tandes, ndak trimo dibilang buruk oleh Luna Mayang. Menurut para binatang itu Luna nabok kiwo keno tengen. Yang Luna hajar kelihatannya wartawan. Tapi sebenarnya dia menghujat cicak dan buaya. Bilang saja wartawan buruk. Tapi ndak usah pakai embel-embel bandingan bahwa wartawan lebih buruk dari cicak dan buaya. ''Berarti kami-kami ini buruk, dong,, nggih nopo mboten sedulur-sedulur?'' pekik para binatang kompak.

''Padahal, akui saja lebih buruk mana saya dibanding kadal," kata seorang cicak. Seorang cicak yang lain menambahkan, ''Bukannya kami mau sombong. Tapi sumpah tokek malah lebih bopeng-bopeng dibanding kami hayo...lihat sendiri aja kalau ndak percaya. Apa di Jakarta Luna udah ndak pernah lihat tokek? Di Paiton masih banyak. Wuaah kaco tuh badannya. Banyak tatonya...Kami masih lebih bersih. Kami lebih mirip Ariel.''

Cicak-cicak yang lain juga silih berprotes di depan istana Amerta, tepatnya di hadapan Raden Sadewa. Memang hanya anggota Pandawa yang kalem ini yang mengerti bahasa binatang. Dia seperti Nabi Sulaiman. Tugasnya memang mengurus fauna. Kembarannya, Nakula, dari Ksatrian Sawo Jajar, diberi tugas oleh Prabu Yudistira, pemimpin Pandawa, untuk merawat flora. Yaaah, bagi-bagi tugaslah. Arjuna disuruh membina perempuan. Bima dengan kuku Pancanakanya diminta mengelola obat kuat.

''Seburuk-buruknya kami,'' sambung seorang buaya, ''Kami pernah menolong kancil nyeberang sungai lho...Luna Mayang itu pernah dengar cerita kancil tidak sih? Ini akibatnya kalau tradisi mendongeng makin luntur di tanah air. Orang tua lebih senang anaknya thenguk-thenguk di depan televise. Mereka bisa lebih santai, tidak perlu kasih dongeng lagi sebelum anak-anak tidur..."

Raden Sadewa manggut-manggut mendengar aspirasi buaya. Petruk dan Gareng bengong. Aspirasi apa? Wong bajul-bajul itu cuma mangap, megal-megol sambil matanya plerak-plerok kayak markus alias makelar kasus. ''Kalian betul," kata Raden Sadewa dari Ksatrian Cemoro Sewu. Bahasanya campur-campur antara bahasa kasat kuping dan tak kasat kuping. "Kalian tidak buruk. Kalianlah satu-satunya yang pernah menolong kancil. Rumpun bangsa kalian lainnya tidak. Tidak biawak. Tidak komodo. Tidak cicak dan tokek.''

Petruk dan Gareng mulai mengerti bahasa campuran itu. Keduanya menyela. ''Betul, Raden. Ada yang paling buruk dalam etnis kadal-kadalan ini. Bentuknya seperti kadal. Warnanya plin-plan. Tergantung lagi menclok di mana. Dapat terbang sampai tinggi. Tinggi pula pendapatannya. Tapi tak mampu berpendapat...''

''Namanya bunglon!!!'' timpal Gareng.

Bunglon-bunglon itu menurut Gareng-Petruk kini makin banyak di pohon-pohon di halaman gedung MPR/DPR, di istana, di kantor-kantor partai, departemen-departemen...wah pokoknya makin banyak. Makanya Luna Mayang mestinya jangan nyebut wartawan lebih buruk ketimbang cicak dan buaya. Yang bener, wartawan lebih hina-dina ketimbang bunglon. Ini harus diralat.

***

''Julukan pembunuh juga harus diralat oleh Luna Mayang di situ, biar adil," kata seorang manusia yang ujuk-ujuk datang. Dia mengaku sebagai pembunuh Nasrudin. Merasa profesinya dilecehkan, pembunuh ini protes bergabung dengan ribuan demonstran cicak dan buaya pada siang yang terik itu.

Alasan si pembunuh Nasrudin, ''Kami tidak kejam. Yang kejam adalah otak pembunuhan. Mestinya Luna bilang bahwa wartawan lebih kejam dibanding otak pembunuhan. Kami membunuh karena memang kami nggak punya otak. Kami mustahil dapat gawean di tempat lain. Kami membunuh karena terpaksa. Tapi kalau otak pembunuhan, mereka punya otak. Punya banyak pilihan pekerjaan karena punya otak. Jadi, kenapa harus jadi perancang pembunuhan dari balik layar? Padahal dengan kemampuan otaknya mereka bisa jadi tukang tipu, tukang jagal, atau seapes-apesnya kalau sudah kepepet, ya jadi presidenlah."

***

Wartawan di zaman wayang berbeda dibanding wartawan zaman lain. Mereka tukang kritik, tapi sebaliknya tidak tipis kuping kalau ganti dikritik. Mereka tidak marah seraya main lapor polisi karena diserang Luna. Justru para wartawanlah yang mendamaikan cicak dan buaya dengan Luna Mayang pada akhir demonstrasi hari ke-40. Menjelang salam-salaman cicak-buaya dan Luna, Bagong yang baru bangun tidur sejak digendong Luna dulu tiba-tiba bangkit. Kepalanya masih benjol bekas terantuk kamera. Ia pidato. Kelihatannya betul-betul dari hati nurani, bukan dari perdebatan ayat dan dalil-dalil yang masih silang sengketa.

''Sebelum jabat tangan, hayo kawan-kawan dari agama mana pun kita ucapkan selamat Natal dan Tahun Baru kepada Natalia Luna Mayang.''

Bagong turun panggung. Selanjutnya di kawasan demo itu berkumandang kasidah rombongan pesantren dari Blitar... Perdamaian...perdamaian...perdamaian...Kesyahduannya sundul sampai ke langit khatulistiwa. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
 

Episode 20 Semar Moksa... (Buat Gus Dur)
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 03 Januari 2010
Image Ndoro Arjuno, izinkan saya berpulang ya. Ndak usah nangis lho Sampeyan. Bojo yang paling Sampeyan cintai, Ndoro Sembodro, juga jangan membik-membik. Nek Sampeyan dan Ndoro Ayu sungkawa, nanti anak-anak saya, Gareng, Petruk dan Bagong, pasti tambah melas dan keronta-ronta... katulo-tulo katali.
Saya pergi dari Klampis Ireng yang fana sama sekali tidak ada sambung rapet-nya dengan ngambek atau mutung. O, mboten Ndoro. Sungguh selama saya ngemong keluarga Pandawa utamanya Ndoro di Madukoro ini toh nyatanya cuma sekali saya berontak.
Itu lho...kalau ndak salah pas Ndoro Janoko...ehmmm...mau memangkas kuncung saya. Ingat, kan? Waktu itu saya sampai munggah kahyangan. Suroloyo saya obrak-abrik. Batoro Guru yang merajai Suroloyo tak unek-unekno...tak tuding-tuding.

Saya ngamuk pada nasib. Bukan pada Ndoro. Kenapa gerangan begitu? Lantaran saya yakin Ndoro Permadi ndak bakal nggunting kuncung saya. Ini pasti gara-gara rayuan maut Dewi Mustokoweni. Maklum dia perempuan ayu. Tapi Mustokoweni ndak mungkin sanggup ngarang-ngarang rayuan maut kalau tidak gara-gara disekongkoli oleh gurita dewa-dewa di Suroloyo.

Saya tahu...Saya ngeh sejatinya Ndoro Kombang Ali Ali kebal terhadap rayuan berbagai tipe perempuan. Ndoro Margono sebagai lelananging jagad hanya berpegang teguh pada cita-cita bangsa. Demi itu Ndoro akan merayu perempuan mana pun waton cita-cita kebangsaan Ndoro tercapai.

Tapi ndak bakalan Ndoro bisa dirayu. Ndoro itu orang laki yang yakin, setiap perempuan yang merayu lebih dahulu pasti membelokkan cita-cita laki-laki. Ndoro Pandusiwi pasti mboten purun. Nggih to?

Nggih...Itu kejadian pas Ndoro mau ngetok kuncung saya mak thel. Hanya sekali itu saya mencak-mencak. Bahkan kalau dihitung sejak pengabdian saya pada ayahanda, almarhum Prabu Pandu Dewonoto, kakek Ndoro Abiyoso bahkan kakek buyut Manumayoso dan seluruh leluhur Ndoro yang saya turut mengasuh. Itu pun saya tidak mencak-mencak pada Ndoro. Saya mencak-mencak pada gurita-gurita yang akan memanfaatkan Ndoro melalui bujuk rayu dan sudut kerling wanita.

***

Ooo...mbegegeg ugeg-ugeg sadulita...hemmel... hemmel... Wong bagus satriyo Madukoro Ndoro Arjuno, yo Janoko, yo Ndoro Kombang Ali Ali, yo Permadi, yo Margono...Yo Ndoro Pandusiwi...yo Sukmowicoro, yo Ndoro Mintorogo, Ndoro Parto, tur yo Ndoro Endro Tenoyo...

Mustahil Ndoro Sukmowicoro waktu itu sadar dengan sengaja mau memotong kuncung kawula cilik seperti saya. Pasti ini karena rekayasa gurita-gurita kekuasaan. Wong Ndoro tahu kok, kuncung itu perlambang jiwa saya yang selalu jujur dan tulus seperti anak-anak. Senadyan saya sudah uzur, sudah kaki pikun kampong perot jambul uwanen, tapi saya masih punya jiwa kekanak-kanakan.

Ibarat bocah yang berkelahi rebutan dolanan, kuncung saya cepat melupakan perkelahian. Kuncung saya susah punya dendam. Dan ibarat kanak-kanak yang dilambangkan dalam kuncung beruban saya, saya itu tidak pernah ngitung risiko dalam melakukan apa pun, termasuk dalam upaya menyuburkan demokrasi.

Kalau saya sudah tidak punya kuncung, Ndoro Mintorogo tahu maka saya akan sama saja dengan orang-orang dewasa pada umumnya. Saya akan awet kalau punya dendam. Mustahil akan diprakarsai rujuk nasional dengan orang-orang eks PKI. Mustahil orang-orang Tionghoa dibolehkan merayakan Imlek.

Ketika DPR dulu pernah dibilang tidak beda dengan Taman Kanak-kanak, lho... mereka ngamuk. Padahal maksudnya baik. Maksudnya, DPR hingga masa hak angket ini agar masih punya sifat ketulusan dan keberanian anak-anak. Ya, sudahlah kalau mereka masih ngamuk, gitu aja kok repot.

***

Ndoro Parto alias Endro Tenoyo, surat saya hampir selesai. Sekali lagi jangan menangis seperti Gus Solah dan Gus Mus ketika berdoa di suatu pemakaman di Jombang. Saya berbeda pendapat. Bergembiralah. Tradisi kita menyambut kematian dengan gembira karena kematian adalah jalan awal menuju kehidupan yang lebih indah. Nangis-nangis dan pakai baju hitam dan pakai lagu-lagu yang sedih pas kematian itu tradisi dari Eropa.

Nanti semua kita jadi takut mati. Padahal situasi negara kita saat ini termasuk dalam pemberantasan perampokan duit rakyat, yang kerap diperhalus dengan kata korupsi, makin menuntut kita untuk menghadapinya dengan sungguh-sungguh dan berani mengambil risiko. Kalau perlu risiko mati. Jangan takut menghadapi ubur-ubur penguasa bahkan sampai se-gurita-guritanya.

Masa' Sampeyan yang sudah menyandang sebutan Begawan Mintorogo kalah bijak dengan dalang senior Mbah Gondo Darman di Sragen. Pesannya sebelum meninggal, hendaknya jenazah beliau diarak dari rumah ke tanah makam dengan iringan kaset lawakan pelawak legendaris Jogjakarta, Basiyo. Maka di pertengahan dekade 90-an itu, ketika Mbah Gondo moksa alias melanjutkan hidup di alam lain, para pelayat berjalan ke tanah kubur dengan banyolan pelawak Basiyo.

Maka bergembiralah Raden Arjuno. Saya masih hidup kok, di alam lain bersama Batara Ismaya yang kasihan kalau saya terus-terusan repot di dunia dan beliau ingin agar sepeninggal saya tumbuh di alam fana generasi penerus saya yang lebih banyak dan moncer. Bahkan seandainya orang-orang betul-betul mencintai saya, sukma saya masih berdenyut di mayapada. Kalau mereka memang mencintai saya, tak cukup dengan tangis atau bendera setengah tiang. Yang lebih penting ambilah pelajaran dari saya, yaitu jangan takut untuk kentut di sembarang tempat.

Jangan munafik. Kentut itu lambang kejujuran. Sekarang masyarakat saya lihat-lihat kok kurang mengutamakan kejujuran. Mereka makin mengedepankan tata krama, basa-basi, dan kemunafikan. Mestinya kita itu ceplas-ceplos. Ngomong apa adanya sesuai hati nurani dan sukar dikecoh oleh kedok sopan santun pemimpin.

O, Ndoro Arjuna, sekali lagi, kalau mau kentut, saya kentut sajalah di mana pun. Makanya, akhirnya saya dianugerahi senjata pamungkas yaitu kentut. Siapa yang berani maju kalau akan dikentuti oleh kawula alit seperti saya? Tidak ada! Batara Kala, Batari Durga, yang Pandawa kalah itu, hehehe lari terbirit-birit pulang ke kahyangan Setro Gondo Mayit kalau saya sudah mungkur dan siap-siap mau ngentuti mereka...

Hidup Indonesia... Mari kita hidupkan kentut. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com


Episode 21 Lakone, Payudara Dewi Wilutomo
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 10 Januari 2010
Image PETRUK mengudara. Bukan jadi Gatutkaca, lho. Juga bukan lagi miloti kapal terbang. De'e duduk-duduk nduk daratan tapi siaran radio. Operator-e Bagong. Acaran-e ''Gado-gado''. Program tengah malam itu pancen bener-bener campur aduk. Plek mbarek judul-e. Tergantung Sampeyan arep njaluk opo...

Pesen lagu-lagu, monggo. Minta resep makanan hayo...dari panganan manusia, cucak rowo sampai asu, silakan. Semua diladeni Mas Penyiar sambil cengengas-cengenges. Ada yang mintanya via SMS atau langsung telepon. Ada yang pakai telepati. Segelintir pendengar malah pesan via merpati pos.
  Cuma satu dua request yang ditampik. Tepatnya ditunda. Contohnya pada yang pesen azan. ''Sabar, Rek, kok ce' kesusune Sampeyan itu, ini belum Subuh, sik jam siji," kata Petruk masih cengengesan. Desah tawanya terdengar di Gresik, Lamongan, Tuban, bahkan sampai ke Suriname.

Ada yang minta lagu Didi Kempot. Wuah Bagong sigap mencari CD Stasiun Balapan di rak dekat dapur. Baru menginjak reffrain, ada yang minta lagu Indonesia Raya. Bagong hepi. Ketemu kaset karya W.R. Supratman itu di meja dekat toilet.

Nduk tengah-tengah syair... bangunlah jiwanya...bangunlah badannya ...untuk Indoneeeee...tiba-tiba Gareng sebagai petugas penerima telepon kasih kode. Eh, ada yang minta info penting. Orang ini, kata Gareng, minta daftar sopo wae perempuan yang membunuh bayinya di Surabaya dini hari itu.

Petruk katon dari balik kaca ruang siaran yang kedap suara mulutnya mangap-mangap persis ikan mujair. Kayaknya dia omong ini, ''Hoi, ndak bisa dipotong, ini lagu kebangsaan. Bukan lagu Ungu, bukan lagu BCL." Setelah agak lama, selesailah Indonesia Raya, tapi peminta daftar algojo bayi itu keburu mangkel. Dia, orang Brunei, sudah berubah permintaan via merpati pos yang ujug-ujug wis menclok di mikrofon Petruk, menembus gedung, menembus ruang kedap suara.

Pesan tertulis yang tercantol di kaki kiri merpati bunyinya: Dini hari yang ngeres ini, ketika udara berlendir, dingin tak terkira, tolong diceritakan soal payudara Dewi Wilutomo....

Nah, nah, nah...Selesai Petruk membacakan pesanan itu di udara, langsung telepon di meja Gareng mak klakep ndak krang-kring krang-kring lagi. Tak seorang pun minta ganti menu acara yang lain-lain. Mereka seakan menunggu. Akan kayak apa ya payudara Dewi Wilutomo.

Padahal, sebelumnya, siaran berjalan terputus-putus. Petruk membawakan permintaan pendengar, dihentikan oleh pendengar lain yang minta alternatif. Lagu yang dipesan khusus oleh seseorang untuk menghibur segenap anggota Pansus Century, dihentikan oleh penelepon dari Sumedang.

''Eleuh-eleuh eta kumaha', ari anggota Pansus Century mah sudah banyak hiburannya atuh. Sekarang malah makin banyak anggota DPR itu yang ''masuk angin'' saking seringnya dapat ''hiburan''...Mending lagu eta' mah dikirimkeun wae kepada Hendri Mulyadi...sebagai penghormatan. Bayangkeun...orang tadinya dateng cuma mau jadi penonton PSSI lawan Oman, tapi PSSI tidak menang-menang, akhirnya masuk lapangan...ngebelain bangsa dan nagara...Hidup Hendri Mulyadi. Hidup Hendri Mulyadi...Mari kita dukung dia sebagai pemimpin PSSI!!!''

Ada lagi siaran yang terputus. Misalnya seorang di Sulawesi yang transmigrasi ke situ tahun 70-an dari Jawa, minta disiarkan kegiatan Presiden SBY di Puri Cikeas. Baru Petruk setengah jalan membawakan kegiatan presiden dengan cara merangkai kata-katanya dalam tembang jula-juli, ada pendengar protes, ''Ganti ramalan nomer kode togel yang keluar minggu depan saja, Mas Petruk," kata seorang dari Riau. Akhirnya Petruk banting stir menyebut angka-angka.

Tak demikian ketika masuk pesan via merpati pos tentang dada Dewi Wilutomo. Telepon-telepon permintaan alternatif segera hening.

Eh, ada ding, satu penelepon dari Jakarta. Tapi inti pesannya justru nggak sabar menunggu kabar tentang sangu-ne Dewi Wilutomo. ''Cepetan dong, Bang Petruk, ude kagak tahan nih gue..."

***

Petruk berlama-lama tak kunjung bercerita tentang Dewi Wilutomo. Sebenarnya karena dia tidak terlalu tahu cerita tentang wayang itu. Ketika Ruhut, seorang office boy masuk ngeterno kopi, Petruk tanya, ''Ssstt...kamu mau gantikan aku siaran? Kamu ngerti lakoke Dewi Wilutomo?''

''Bah, Dewi Wilutomo itu kan cerita wayang, Bah? Masa' kau sesama wayang tak tahu itu...?'' kata Ruhut. Kebetulan kontrakan office boy dekat kantor Partai Demokrat itu tidak terlalu jauh dari Stasiun Radio. Ruhut lari ke rumahnya. Datang-datang sudah bawa istrinya, bule asal Washington yang wajahnya mirip Hillary Clinton.

Dengan dipandu bule Amerika mirip Hillary via bahasa isyarat, agar tak masuk mikrofon, mulailah Petruk mendongeng.

Oooo...

''Ada seorang tokoh bernama Resi Baratwaja. Dia pengin anaknya, Bambang Kombayana, cepat menikah. Ada bapak bertanya pada anaknya, buat apa berlapar-lapar tidak menikah. Ada anak berkata pada bapaknya, buat apa cepat-cepat menikah. Bambang Kombayana dengan sombong bilang, saya hanya akan menikah dengan ...dengan...dengan..."

Perempuan bule menunjuk-nunjuk dirinya. Petruk mencoba menafsirkannya dari balik kaca siaran. ''Bambang Kombayana hanya akan menikah dengan Hillary Clinton..."

Tangan perempuan bule itu memberi kode bahwa bukan itu maksudnya. Petruk meralat, ''Bambang Kombayana hanya akan menikah dengan perempuan yang mirip dengan Hillary Clinton..."

Sekali lagi tangan perempuan bule istri Ruhut itu memberi kode ''bukan". Petruk meralat lagi, ''Bambang Kombayana hanya akan menikah dengan perempuan dari Amerika..."

Perempuan bule itu mengacungkan jempol.

Masih dengan panduan bahasa isyarat dari balik kaca perempuan bule, Petruk melanjutkan cerita tentang Bambang Kumbayana. Kata Petruk, ''Sang ayah, Resi Baratwaja, akhirnya marah-marah seperti George Bush pada Saddam Hussein. Akhirnya Bambang Kombayana diusir oleh ayahnya...Nah, di tepi pantai mau menyeberang ke pulau Jawa, Bambang Kombayana yang tak bisa berenang itu putus asa. Ia berujar, barang siapa bisa menyeberangkannya, kalau laki akan diakuinya saudara, kalau perempuan akan dinikahinya...

Mak jlek tiba-tiba muncul seekor kuda terbang. Kuda akhirnya menyeberangkan Bambang Kombayana ke pulau Jawa. Sehabis menyeberangkan, kuda yang ternyata betina itu tak pergi-pergi dari Kombayana. ''Katanya siapa pun yang sanggup menyeberangkan, sekali lagi, siapa pun, kalau perempuan akan Sampeyan nikahi," kata kuda itu kepada Bambang Kombayana yang kelak bernama Resi Dorna.

***

Karena cerita Petruk, di samping terbata-bata menafsirkan bahasa isyarat bule istri Ruhut, juga ndak to the point ke payudara Dewi Wilutomo...mulai banyak krang-kring telepon komplain. Ada yang minta stop lakon soal payudara itu, ganti saja dengan pembacaan weton Wapres Boediono dan Mbak Menkeu Sri Mulyani. Tapi pendengar yang lain-lain protes. Mereka tetap saja sabar menunggu sampai cerita Petruk menginjak soal payudara.

''Ganti saja soal membanjirnya produk-produk dari China yang bikin Indonesia kalang kabut," kata seorang penelepon.

''Hush, bu yao shuo hua !!!" begitu kata penelepon dari Beijing. Maksudnya, jangan ganggu alias don't disturb.

''Sudah, tukar saja dongeng soal payudara itu dengan cerita soal Burj Khalifa. Menara hampir setinggi satu kilometer di Dubai itu berapa kalinya Tugu Pahlawan nduk Surabaya?"

''Aaaah, Arraja' adamul iz'aj!!!'' kata seorang TKI yang tinggal di Jeddah. Dia sudah nggak tahan pengin dengar lakon tentang payudara Dewi Wilutomo. Cerita Petruk akhirnya memang tak membahas sama sekali payudara tersebut. Istri Ruhut yang bule itu dengan bahasa isyaratnya malah membelokkan lakon menjadi payudara aktris dunia dari Amerika, Dolly Parton dan Pamela Anderson.

Tapi masyarakat sudah telanjur tak ingin mendengar tentang apa pun, termasuk persidangan Antasari dengan saksi Susno Duaji. Masyarakat lebih ingin mendengar kabar tentang payudara Dewi Wilutomo.

(Ini cerita pakemnya: setelah kawin dengan Dorna, kuda terbang itu berubah menjadi Dewi Wilutomo. Mereka punya anak, Aswatama. Kelak, ketika mau membunuh turunan Pandawa, Aswatama membangun gorong-gorong yang langsung menuju ruang tidur Parikesit, cucu Pandawa. Dalam membangun gorong-gorong, Aswatama diikuti oleh sang Dewi dari belakang. Aswatama tak boleh menengok ke belakang. Aswatama dibantu oleh cahaya yang berasal dari payudara Dewi Wilutomo).


*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com


Episode 22 Balada Sinta Obong
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 17 Januari 2010
Image
Dahana kobar mangalad-alad…Gumaluduk guntur ketuk…Lindu bumi gonjing…
Bagong: Yang artinya?
Yang artinya sukar dicetuskan ke dalam bahasa versi Soempah Pemoeda…
Gareng: Yang tafsirnya?
Yang tafsirnya gini. Dahana itu api. Ada dahana kobar menjilat-jilat sampai ke dirgantara. Wah lipat ganda geliat api itu lebih tinggi dari puncak Monas. Lebih munjung dahana itu, menjulang lebih dari pucuk Semeru di Lumajang.

Itulah pembakaran Dewi Sinta serampung balatentara Prabu Rama dari Ayodya meluluhlantakkan pasukan Alengka se-Rahwana-Rahwana-nya, dan membebaskan Dewi Sinta setelah 12 tahun kunjul jadi tawanan si Raja Diyu.
Dalam gelora si raja merah, gaibnya, Putri Mantili itu tidak hangus-hangus. Yang legam malah hati dan perasaan kaum perempuan seluruh Ayodya sampai ke provinsi-provinsi kabupaten/kota pemekarannya. Nurani mereka kelam bahkan gosong manakala mereka terawang lidah api menggeliat-geliat dan menggelinjang di antariksa.
Emosi masyarakat berkecamuk, teradukaduk seperti serundeng di atas wajan panas. Ih, tega nian raja mereka membakar ibu negara.
Curiga benar Prabu Rama akan kesucian keng garwo setelah 12 tahun disekap di Taman Argasoka di kerajaan raksasa Alengka Diraja.
’’Terlalu sadis sang Dasarati (Prabu Rama), dasar raja tega,” kata seorang perempuan.
Yang lain, sesama perempuan, menimpal, ”Iya, keterlaluan!!!’’
’’Huhhh…ther…lha…lhu…,” sergah perempuan lain lagi mengekor aksen idolanya, Raja Dangdut Rhoma Irama.
Nun dari jauh asap pembakaran permaisuri Ayodya mengepul juga sampai ke kompleks permukiman itu. Ibu-ibu sambil nutup hidung pada rasan-rasan mengitari gerobak sayur keliling.
Semua masih dasteran dan dengan rambut awut-awutan. Bahkan, walau masih pagi mruput, sebagian keringat mereka sejagung-jagung terimbas hawa panas Sinta Obong di tempat yang jauhnya bagaikan Anyer ke Panarukan.
***
’’Met, Slamet, kamu lihat api di sana itu,” kata ibu-ibu yang lain sambil angop-angop ke pemuda tukang sayur. ’’Sudah tujuh hari tujuh malam lho api itu membakar sang Dewi… Aduh Gusti nyuwun ngapunten…Kenapa ya laki-laki… nggak kamu nggak suamiku … sama saja sejak zaman Pak Sakerah sampai zamannya Saipul Njawil. Amit-amit kerjanya kok curigaaaaa terus ke istrinya?”
’’Hehehe…’’
Slamet, seperti adatnya, menanggapi omongan seluruh Dharma Wanita kompleks perumahan itu dengan ketawa pringas-pringis saja sambil motong-motong paha ayam, dada, dan sayap-sayapnya.
’’Kok dari tadi kamu cuma ketawa-ketawa saja to, Met?”
’’Hehehe…’’
’’Dasar laki-laki …ya ndak kamu ya ndak Pra bu Raghutama (Rama)…Semua laki-laki itu buaya…”
’’Hehehe…’’
’’Lho, semprul, ngguyu maneh koen, Met…
’’Lha kalau nggak hehehe atau hahaha… saya mau bilang apa lagi, Bu Rustam? Masa’ saya bilang, kalau laki-laki buaya, maka perempuan lubang buaya…Nanti Cak Arief Santosa dan seluruh redaktur Jawa Pos bilang, ah itu dagelan
sudah basi…Masa’ wayang Durangpo basi?”
’’Ah, kamu, Met,” kata Bu Rustam sambil nowel Slamet. ’’Ah, kamu, Bu,” balas Slamet juga sambil nowel.  Lho, Bu Rustam kaget. Ibu dua anak yang wajahnya mirip artis Mieke Amalia itu terkejut. Dikejarnya dengan gemas tukang sayur yang mirip Tora Sudiro itu. Tukang-tukang ojek yang mangkal di kejauhan cuma mesam-mesem melihat dua insan itu berlarian berputar-putar. Ada yang ketawa keras. Mereka tahu bahwa Slamet memang tukang sayur favorit ibu-ibu. Bapak-bapak kompleks dalam hati agak geram pada Slamet. Cemburu.Hanya satu bapak-bapak yang tak cemburu ke Slamet, tapi ke tukang ojek…ya yang ketawanya paling keras itu.
’’Mestine…mestine…,” sambung ibu-ibu sekembali Slamet dan Bu Rustam ke dekat gerobak sayur, ’’ Mestine yang dites itu Prabu Rama. Beliau yang dibakar. Kalau nggak kepanggang dan tetap perkasa berarti jujur. Kalau Prabu kobong jadi arang berarti selama Dewi Sinta diculik di Alengka, Prabu Rama nggatheli macem-macem sama pembantunya. Memangnya yang doyan pembantu cuma laki-laki Hongkong, Malaysia, dan Arab Saudi?”
’’Hehehe…bawang putihnya sekilo apa tiga, Bu? Tahunya sekarang naik, Bu...Katanya kedelai impor dari Amerika naik.’’
’’Met, Bu Parjo itu serius, Koen ojok nggapleki ta lah, jangan nylimur ke bawang merah bawang putih,” si daster kelabu protes. ’’Itu pengalaman pribadinya. Pak Parjo itu ditinggal Bu Parjo sebentar cari garam ke pracangan sebelah saja, eee eee eee…pulang-pulang Bu Parjo sudah lihat Pak Parjo di kamar kerokan sama bedinde- nya…”
’’Hehehe…’’
’’Ih, lebih dari itu malah, Bu Satriyo,” tukas Bu Parjo sambil ngelus dada dan bisik-bisik ke si daster kelabu.
’’Hehehe…’’
’’Hush…Met, Slamet, jangan nguping kita lho, awas…”
’’Hehehe…’’
’’Sssttt…Bu, Bu Rustam, Slamet itu brondongbrondong kayak gitu juga curigaan ke istrinya…’’
Bisikan Bu Satriyo segera dibantah oleh ibu yang mirip Mieke Amalia. Mereka saling mendekat dan berbisik dalam jarak yang cukup sehingga Slamet tak dapat nguping.
***
Nyatane Slamet sangat mengkeret pada istrinya dan selalu kalah. Itu yang terungkap dalam lingkaran ’’pansus’’ bisik-bisik kaum ibu. Pernah Slamet bikin konstitusi, tiga langkah dari pagar rumah, lelaki merdeka. Ia sudah bukan milik istrinya lagi. Pariyem, istri Slamet, tidak manut malah membalas. Gak ngantek tiga langkah dari pintu pagar, tiga langkah dari pintu rumah saja, istri malah sudah bebas. Ia sudah bukan milik suaminya lagi. Slamet membalas. Tiga langkah dari pintu kamar, suami sudah bukan milik istrinya lagi. Pariyem, bakul jamu gendongan, bereaksi membikin amandemen undang-undang dasar. Tiga langkah dari ranjang, istri sudah bukan milik suaminya lagi. Slamet klenger.
’’Sidang pansus” kaum ibu pagi itu menginspirasi mereka untuk bikin dukungan kepada Dewi Sinta. Sinta alias Paramasatya diminta agar tidak terlalu menurut dan tunduk pada suaminya, Prabu Janardana (Rama). ’’Maaf, bakul jamugendongan saja berani ke suami, kok ini permaisuri malah swargo nunut neroko katut pada suami, terlalu patibrata alias terlalu taat dan setia,”tulis wakil mereka, Ibu Arthalya Tantular Anggodowati, di surat pembaca koran ’’Jawi Pos’’.
Oooo…kukusing dupo kumelun…kelun-kelun wor mego kang membo bathoro
Kemudian kaum ibu terbelalaklah ma na kala televisi menggemparkan dunia dengan berita penting. Ternyata Dewi Sinta ndak segoblok yang mereka terka. Ketika Sang Hyang Maruto (De wa Angin) menyingkap sedikit api yang memenjarakan Dewi Sinta, tampak Dewi Sinta sik tahes-tahes saja, masih segar bugar seakan ada di ruangan yang diberi pelindung dari api. Sang Hyang Jwalana (Dewa Api) yang menguasai penjara api mengizinkan ada air conditioning di situ, lengkap dengan kulkas, alatalat fi tness, karaoke, dan ahli kosmetik. Bahkan Sang Jwalana juga menghadiahi kanaka pangkaya (teratai emas) di permukaan kolam dalam penjara api.
Petruk ngucek-ngucek mata, hampir gak percoyo laporan televisi. Gek gek tak ada kemewahan apa-apa di penjara api Dewi Sinta, tapi mata masyarakat dan mata kamera televisi dikelabuhi oleh ulah tukang sulap Uya, ilusionis Deddy Corbuzier, dan mentalis Rommy Rafael. Ternyata gak onok rekayasa sulapan opo-opo. Dewi Sinta memang betul-betul dibikinkan ruang khusus yang adem di dalam penjara api.
Uya, Deddy, dan Rommy tak akan sempat mengelabuhi mata kita dalam memandang ruangan Sinta dan ahli kosmetiknya. Konon ke tiganya sedang punya kesibukan sendiri: memastikan apakah Anggodo yang ditahan KPK betul-betul Anggodo, bukan tukang sayur Mas Slamet yang disulap bersosok Anggodo oleh ilusionis lain tunggal guru untuk iseng dan men jajal ketiganya.
’’Meet, kamu di manaaaa…?’’ Bu Parjo nglindur pas dini hari, di samping suaminya.
                Bagong: Yang artinya? (*)
*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 23 Megatruh Para Perempuan Korban
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 24 Januari 2010
Image"Cak, ceritakno nang aku tentang perempuan. Ceritakno sopo wae asal perempuan. Khususon perempuan yang hidupnya dijadikan korban oleh banyak orang.”
                Itu pertanyaan seorang gadis kepada pemuda pujaannya. Sang pemuda berambut panjang. Ikal. Matanya lebih bersinar dibanding Trawas di kala malam. Pandaan di kala malam…Surabaya malam hari dari Udara…Ooo semua kalah dibanding cahaya mata sang pemuda. Apalagi sorot mata kalau lelaki kelahiran Pulau Bawean ini sudah mulai bercerita tentang wayang.
                “Oh, Ada…Ada, Diajeng,” kata lelaki itu lirih perlahan.
                Perempuan dalam cerita lelaki petualang itu dikorbankan oleh suaminya sendiri. Namanya Dewi Windradi. Padahal yang bersalah bukan cuma Windradi, perempuan yang kelak menjadi nenek Hanoman. Setiap ada problem dalam hubungan suami-isteri, pasti yang bersalah adalah dua-duanya.
                “Dua-duanya? Jadi bukan cuma Anang, tapi Kris Dayanti juga salah? Bukan cuma Ahmad Dani, tapi Maia juga salah? Kenapa bisa begitu?” gadis berambut panjang itu menyela dongengan sang pemuda. Angin dari jalan Pemuda Surabaya mengibarkan rambut panjangnya ke arah jalan Kembang Jepun.
                Biasanya pemuda berwajah Bali-Madura itu kesal kalau ceritanya dipenggal-penggal oleh pertanyaan perempuan. Tapi perempuan ini agak khusus. Apalagi ketika angin senja hari itu tak saja membuat rambut gadisnya meriap-riap. Angin yang syahdu itu juga membuat wangi melati semerbak dari rambut panjangnya yang hitam, lembut dan betapa sorgawi.
                “Ning…”
“Lho? Tadi Diajeng…”
             “O ya, Diajeng,” kata pemuda itu sambil menaruh ranselnya dan menepis-nepis celana jeansnya yang berdebu,”Dalam teori fisika modern…Dibuktikan bahwa tak ada satu peristiwa apa pun di dunia ini yang diakibatkan oleh cuma satu sebab. Bahkan sebab-sebab kecil dan remeh-temeh bisa ikut andil dalam kumpulan sebab-sebab itu…”
                “Maksud Sampeyan, Cak!?”
                Sang pemuda tidak langsung menjawab pertanyaan kekasihnya. Sang pemuda, dengan dada yang bidang dan pundak yang tidak luruh, tidak mengatakan kemungkinan Maia dan KD juga bersalah dalam hubungan dengan masing-masing suaminya.. Sang pemuda cuma memberi contoh dari fisika modern, betapa hal yang sepele seperti kepakan sayap kupu-kupu di Brasil pun terbukti bisa ikut andil dalam melahirkan angin ribut di Amerika Serikat.
                “Oooooh…Cacak-ku… Cacakku…” sang gadis mulai melenguh panjang bagaikan sapi dari Pulau Sapudi. Tubuhnya menggelinjang seperti sesekali kawah gunung Argopuro, “Sampeyan betul-betul pujaanku. Aku nggak salah pilih. Dulu pernah kupuja para pemuda yang mobilnya mahal-mahal. Lebih dari mobil-mobil menteri yang harganya cuma 1,3 M. Dulu pernah kupuja para pemuda yang gigih dan kritis pada negara. Nyatanya setelah mereka diangkat jadi staf khusus maupun juru bicara presiden, hmmmm…mereka jadi kuthuk dan plonga-plongo dan ndlongop seperti ayam bekisar kalau kurungannya terlalu mewah…Jadi Dewi Windradi itu tidak bersalah?”
                Bersalah. Bersalah. Tapi dia bukan satu-satunya yang bersalah karena sebagai isteri kok masih nyah-nyoh dan nyosor pada lelaki lain. Pacar gelapnya, Dewa Surya, juga bersalah. Lha wong wis ngerti nek Windradi itu punya bojo, lha kok sik nyayap wae. Tapi sang suami, Resi Gotama, juga bersalah. Salahnya, sebagai kepala rumah tangga dan sebagai suami, mengapa waktunya habis terkuras cuma untuk mengurus ribuan santri dan padepokannya. Hampir Resi Gotama tak punya waktu untuk Dewi Windradi. Hampir Resi Gotama tak punya waktu untuk mengurus ketiga anaknya, Guwarso, Guwarsi dan Dewi Anjani.
                Saking nggak terurusnya sampai-sampai Guwarso menjadi monyet Subali, yang kelak jadi ayah Anggodo. Guwarsi menjadi kera Sugriwo. Anjani bertapa jadi katak dan wajahnya berwujud kera, dan punya anak bernama Hanoman.
                “Apakah Anjani perempuan yang dikorbankan?” sekali lagi pertanyaan kala senja dari gadis berambut panjang memotong cerita sang pemuda.
                Bukan Anjani korbannya. Perempuan yang dikorbankan kali ini adalah Dewi Windradi. Ketika perselingkuhannya dengan Dewa Surya ketahuan oleh sang suami, Resi Gotama, sang Resi mengutuk istrinya menjadi arca. Patung dilemparkan. Karena yang melempar adalah seorang resi dengan tenaga batinnya…terlemparlah patung Dewi Windradi itu jauuuuuh…. sampai ke sebuah perempatan besar di kerajaan raksasa Alengka. Menjadi tugu lalu-lintas raksasa.
                Kelak patung perempuan itu hancur lebur ketika dicabut oleh kera Anggodo, bukan Anggodo dari geng kembang jepun. Anggodo putra Subali mencabut arca Dewi Windradi dan dihantamkan kepada Prahasto. Prahasto adalah mahapatih Alengka yang sekaligus paman sang raja Dasamuka.
                “Apakah Dewi Windradi itu mirip Arthalyta atau Sri Mulyani?”
                Kali ini sang pemuda marah atas pertanyaan kekasihnya. Pertanyaan itu dianggap keluar dari konteks. Ibarat kita mau omong serius soal peternakan bekicot, tapi disela obrolan tentang kelakuan anggota Pansus Century. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan mengambil ransel.
***
                 “Cak, ceritakno nang aku tentang perempuan. Ceritakno sopo wae asal perempuan. Khususon perempuan yang hidupnya dijadikan korban oleh banyak orang.”
                Gadis berambut panjang itu kembali bertanya pada kekasihnya di senja yang lain. Kali ini di Tanjung Kodok. Seperti biasa dalam pacaran, ribut lalu damai. Damai, lalu ribut, damai lagi. Perdamaian senja di Tanjung Kodok diwarnai matahari kemerahan yang mau angslup ke peraduan. Bahkan rekonsiliasi itu diringi rerangkulan dan tawa canda keduanya. Burung-burung camar yang pernah hidup dalam lagu Aryono Djati dan dinyanyikan oleh Vina Panduwinata betul-betul ada pating sliwer sore itu. Cecet ciyet suaranya melengkapi tutur kata sang pemuda.
                Sang pemuda menyitir lakon Pandawa Dadu. Lakon ini dimulai dengan raja dari Pandawa, Yudistira yang…
                “Horeee, Yudistira, aku tahu….dia anak Vina Panduwinata,” teriak sang gadis sambil menggelayut ke dada bidang pemudanya, baur dengan tumpang-tindih rentetan suara burung camar.
                Sebenarnya Yudistira alias Darma Putra adalah anak Pandu Dewanata. Tapi sang pemuda tak ingin mengecewakan kekasihnya yang bangga karena merasa mengerti lakon wayang, sementara kawan-kawannya yang lain cuma ngerti soal Avatar. . Ia pun tak ingin merusak perdamaian senja itu. Demi alasan keindahan pendapat gadis itu dibenarkan.  “Iya, pinter, Yudistira itu anak mbarep Vina Panduwinata,” kata sang pemuda sambil mengelus rambut gadisnya, bersama elusan angin semenanjung.
                Putra Vina Panduwinata itu akhirnya kalah berjudi dengan orang-orang Kurawa. Kebijakannya keliru. Keputusan-keputusannya keliru. Maka kalahlah Pandawa dalam berjudi. Tanggung jawab dialihkan.  Semua itu yang menanggung bukan Yudistira, tetapi Dewi Drupadi, perempuan yang dikorbankan.
                “Lebih buruk dari pengalaman Arthalyta, eh Dewi Windradi, yang dijadikan korban?”
                Bukan saja lebih buruk, tapi jauh lebih biadab. Dewi Windradi cuma dijadikan patung. Tapi Dewi Drupadi ditelanjangi oleh Kurawa di depan umum…Yudistira dan segenap Pandawa tak bisa membela Drupadi karena sesuai isi taruhan: Drupadi diserahkan pada Kurawa. Selanjutnya terserah Kurawa perempuan korban itu mau diapakan.
***
Cak, ceritakno nang aku tentang perempuan. Ceritakno sopo wae asal perempuan. Khususon perempuan yang hidupnya dijadikan korban oleh banyak orang.”
Sri Mulyani. Perempuan asal semarang ini akan dikorbankan dalam kasus Century.
Petruk dan Bagong kurang percaya pada kata-kata sang pemuda kelahiran Telaga Kastoba di Pulau Bawean itu. Memang pemuda itu bukan keturunan orang sembarangan. Kakek-moyangnya dulu pernah menaklukkan Prabu Dewanateguh di kota Sangkapura, yang kini bernama desa Gunungteguh. Dewanateguh adalah raja raksasa yang menguasai Bawean, setelah pulau di Kabupaten Gresik itu berganti dari nama sebelumnya, Pulau Majeti.
Petruk dan Bagong yang untuk pertama kalinya mulai mau berpikir tentang negara, angkat bicara, “Pemuda itu bisa saja salah, meski dia berdarah biru, keturunan tokoh yang mampu mengalahkan Prabu Vina Pandu Dewanateguh…”
Menurut Gareng, yang selalu berpikir kritis, salah atau benar kabar bahwa Sri Mulyani akan dikorbankan, sudah tidak penting lagi. Yang penting kita semua harus waspada. Kalau betul perempuan yang menteri keuangan itu akan dikorbankan, maka akan timbul korban yang lebih banyak lagi. Korban rentetannya adalah siapapun laki-laki yang sesungguhnya punya kemampuan otak dan tenaga, tetapi diam saja ketika menyaksikan perempuan dikorbankan.
“Setuju, Mas Gareng,” kata pemuda itu, pacar Dewi Sriayu Fatinah, gadis yang namanya mirip putri mahkota Prabu Dewanateguh di Bawean. “Masyarakat menyangka bahwa ksatria Bisma mati di tangan Srikandi dalam Perang Baratayudha. Sesungguhnya lelaki bermartabat ini sudah mati jauh hari sebelum itu. Putra Dewi Gangga itu sejatinya sudah mati ketika dahulu kala menyaksikan Dewi Drupadi dikorbankan, ditelanjangi di depan umum, tetapi diam seribu bahasa tak mampu berbuat apa-apa.”
Sungguh laki-laki sudah mati, semati-matinya mati, kalau diam saja melihat perempuan dianiaya…
Oooo…Punopo to mirah ingsun…prihatin waspo gung mijil….
 *Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Episode 24 Wisanggeni Mbelani Bonek
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 31 Januari 2010


Diunggah oleh: ARAGOS
Image    SIDANG Kabinet Dewa-Dewi Jilid 2. Batara Bayu, presdirnya angin, terus-terusan merengut. Kata orang zaman sekarang, dia bete. Lha bagaimana tidak bete to, ndak ikut makan nangkanya tapi ujuk-ujuk kena pulut atau getahnya. Nangkanya adalah proyek pembuatan roket yang diuji-coba di kawasan Lumajang, Jawa Timur.

Seingat Mas Bayu, sepeser pun dia ndak dapat duit dari proyek tersebut. Baik fulus itu disambut melalui istri, anak maupun sanak-familinya. Ndak ada. Lalu rampunglah proyek. Roket yang diuji tiba-tiba ndak ke sasaran. Keluyuran sak karepe dewe. Roket menggempur gubuk warga. Akibatnya penghuninya luka bakar serius bahkan kakinya harus diamputasi...dan seterusnya...

Eh, yang disalahkan angin.
''Coba, Cak Bayu, Sampeyan eling-eling," celetuk Gareng yang jadi pramusaji di sidang kabinet. ''Ojir cash mungkin Sampeyan ndak kecipratan dari proyek ini. Tapi siapa tahu Sampeyan pernah ditraktir makan di Bromo, Tretes atau lontong balap nduk Gubeng?''

Kepala Mas Bayu gedek-gedek tanda tak sekalipun dia pernah dapat ''pembekalan'' dari proyek roket tersebut. ''O, pernah, pernah. Pernah aku diajak cangkruk nduk Pasar Atom. Makan sate. Tapi aku mbayar dewe, Rek..."

Petruk yang mendampingi Gareng sebagai pramusaji sidang kabinet menekan-nekan handphone-nya. Setelah tersambung dengan istri Bayu, HP diberikan kepada Bayu. Dewa angin ini diminta ngomong langsung ke istrinya.

Kontan istri Mas Bayu naik pitam. Terima duit bagaimana? Kalau dia dapat duit ceperan dari proyek ini, buat apa dia beli alat-alat dapur yang murah-murah dari Cino? Panci, ember, baskom, ceret yang murah meriah bikinan Tiongkok?

''Aduh Caaaaak Cak, suamiku, Mas Bayu...Siapa yang tidak ingin tetulung tetangga dan konco-konco sendiri sak Nusantara yang bikin alat-alat dapur itu. Kang Sardi dari Ngawi itu bagus ceret dan baskomnya. Matrawi asal Tuban itu apik ember-e. Tapi Sampeyan ndak jegos cari duit. Kita mampunya beli yang murah. Lha yang murah-murah itu gaweannya Cino. Celana dalem Sampeyan itu juga bikinan Cino."

Batara Guru yang memimpin sidang Kabinet Dewa-Dewi Bersatu Jilid 2 mengusir pramusaji Gareng dan Petruk. Dua panakawan yang berdasi kupu-kupu ini dianggap mengganggu konsentrasi bos Departemen Angin-anginan. Tapi, setelah Gareng dan Petruk pergi pun, bos departemen itu juga tak kunjung bisa berkonsentrasi.

Batara Guru kembali menegur Bayu.

''Ya ampun mau konsentrasi bagaimana, Pak Guru?'' protes Bayu. ''Wong jajaran dan anak buah saya dari direktorat hairdryer , tambal ban sampai direktorat masuk angin, tidak diajak rembukan apa-apa dalam persiapan uji coba peluncuran roket...Giliran roket mengorbankan Muhammad Nuran dan Tiamah...Ujug-ujug angin disalahkan...Saaaaaakit hati saya, Pak Guru, sakiiiit..."

***

Sidang Kabinet Dewa-Dewi itu sedianya akan membahas rencana pemimpin sidang, Batara Guru, untuk menerbitkan album musik ketiga berjudul Ku Yakin Sampai di Sini Saja. Dewa Pencabut Nyawa, Yamadipati, keberatan. Judul album itu tampak pesimistis. Emangnya setelah kasus Century diungkap maka selesailah sudah kepemimpinan Batara Guru? Kok beliau cuma, ''Ku Yakin Sampai di Sini Saja"?

Batara Indra yang menguasai kesenian sependapat dengan sang Dewa Maut. Menurut bos Departemen Kesenian dan Jalan-Jalan (pariwisata) itu mestinya kita semua optimistis. Kalau cuma ''Ku Yakin Sampai di Sini Saja'' berarti Batara Guru keder. Dia ketar-ketir pemakzulan bisa melengserkan kekuasaannya di tengah jalan. Jangan! Harus optimistis! Mestinya judul album berisi sembilan lagu tersebut adalah Ku Yakin Sampai di Sana.

Batara Brama yang menguasai api tampak kurang puas. Kata bos Departemen si Jago Merah itu Kabinet Dewa-Dewi terlalu menjiplak judul album SBY di Nusantara, Ku Yakin Sampai di Sana.

''Kita Dewa-Dewi hendaknya tidak main contek dan main jiplak. Karena di sini tidak ada Ujian Nasional yang diem-diem mengharuskan kita main contek untuk mengejar kelulusan... Kita harus kasih contoh yang baik. Bukan saja di sini tidak ada Ujian Nasional, tapi di sini juga harus ada teladan kreativitas. "Ku Yakin" itu bagi saya masih ragu-ragu. Kurang tuntas seperti cara dan sifat api kalau melaksanakan tugas. Api itu rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Bagaimana kalau judulnya jadi, Ku Haqqul Yakin Sampai di Sana!!!''

Kabinet Dewa-Dewi gemuruh bertepuk tangan.

''Judulnya lengkap pakai tiga tanda seru?'' tanya Dewa Asmara, Kamajaya.

''Ya!'' seru Batara Brama sambil berdiri dan mengepalkan tangannya. Wah, bahana tepuk tangan amboto rubuh kembali memadati graha sidang tersebut. Kecuali Batara Bayu. Ketika Bagong lewat mengeluarkan pisang goreng, Bayu berbisik, ''Batara Brama hepi banget karena tidak dijadikan kambing hitam kecelakaan uji-coba roket. Padahal korbannya kan terbakar. Kena api. Melepuh. Kenapa api tidak disalahkan. Kenapa kok cuma angin."

Bagong yang juga berdasi kupu-kupu mirip Gareng-Petruk kasih kode, agar Mas Bayu bilang sendiri unek-uneknya di forum. Masa dewa kok beraninya ngomong di belakang.

Akhirnya, setelah diam sekitar setengah hari, Batara Guru angkat bicara dalam sidang Dewa-Dewi.

''Saya usul, agar budaya saling menyalahkan kita hapus. Kita harus bertanggung jawab untuk mencari kesalahan pada diri sendiri. Reffrain lagu Ku Yakin Sampai di Sini Saja harus memperhati..."

''Hoooi...Judul sudah diganti Ku Haqqul Yakin Sampai di Sana... Kamu tadi ikut rapat atau ngalamun?" teriak Sekjen Dewa-Dewi Batara Narada.

Bayu: ''Ya, reffrain lagu Ku Haqqul Yakin Sampai di Sana... jangan diambil dari lagu rakyat Buto-buto galak solahmu lunjak-lunjak...Karena melalui folksong itu sejak kanak-kanak kita diajari untuk menyalahkan orang lain. Dengar... lha wong kowe we we sing marah marahi...Bukankah itu ajaran moral pada kita untuk selalu menyalahkan pihak lain. Kalau anak kecil jatuh, yang kita pukul lantai atau kodok...Selalu yang salah pihak lain.

Makanya, lewat lagu Ku Haqqul Yakin Sampai di Sana, kita-kita yang di kahyangan ini harus kasih teladan kepada manusia di mayapada. Akar budaya tidak seluruhnya baik. Tembang dolanan Buto-buto Galak termasuk yang tidak baik untuk disitir dalam album. Jangan saling lempar kesalahan. Jika kasus Century terjadi di kahyangan, kita harus kasih contoh bahwa yang tanggung salah adalah pemimpin puncak: Batara Guru.

Bagong secara goblok-goblokan nyeletuk, ''Setujuuu. Misalnya Batara Guru itu kepala sekolah, masak duit keluar masuk bendahara sekolah, kepala sekolah ndak tahu!?''

***

Sebetulnya Bayu mangkel ke Brama juga karena hal lain. Waktu putri jelita Brama, Dewi Dresonolo, dinikahi oleh Arjuna dan sudah hamil, eh Brama masih ngasih juga Dresonolo ketika dilamar oleh Batari Durga. Durga melamar Dresonolo untuk dinikahi oleh anak Durga, Dewasrani.

Ketika bayi Arjuna lahir, bayi dibuang ke kawah Candradimuka. Anehnya bayi itu tidak mati, malah tumbuh jadi ksatria yang sakti di Kahyangan Duksinageni. Orangnya sederhana. Ndak gablek duit. Lebih compang-camping dibanding bonek. Ke mana-mana praktis cuma pakai celana dalam. Ia ceplas-ceplos, ngoko pada siapa pun dan mokong. Namanya Wisanggeni. Tapi kepiawaiannya bicara sangat tinggi, bahkan Kresna saja, yang punya senjata pamungkas Cakra, tunduk, diam dan takut kalau sudah berhadapan dengan Wisanggeni.

Kini Wisanggeni, ksatria kesayangan sang Hyang Wenang, sudah bicara di hadapan seluruh penguasa dunia yang tertunduk. Di belakang ksatria yang suaranya tinggi dan serak-serak seperti bocah kebanyakan main itu adalah punakawan dan ribuan bonek.

''Kenapa kalau bonek yang bikin salah kok mereka yang dihukum tidak boleh jadi supporter 4 tahun lamanya? Kenapa kesalahan tidak ditimpakan ke orang lain? Angin disalahkan dalam peluncuran roket? Menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia yang disalahkan dalam kasus Century. Lha kesalahan rajanya dikemanakan?"

''Ben adil, sama-sama lempar kesalahan, kenapa dalam perkoro bonek ini ndak Sampeyan salahno Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo tahun 1945. Merekalah yang mengajari pentingnya nekad sebagai bondo, sebagai modal... Ariawiraraja dan Raden Wijaya juga gitu ndisik pas awal-awal Majapapit nduk Jawa Timur. Bondo nekad."

''Sekarang pilih mana: bonek diizinkan menyaksikan pertandingan bola di mana pun atau saya cangking ribuan bonek ini untuk menyaksikan pertandingan partai-partai dalam memutuskan kesimpulan akhir hasil kerja Pansus Century awal Maret di ibu kota!!!???" (*)

*) Sujiwo Tejo , tinggal di www.sujiwotejo.com
 

Episode 25 Sang Prabu Dipada’no Kebo
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 07 Pebruari 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImagePRABU Duryudana dipada’no, disama-samakan, dengan kebo alias kerbau. Yang bikin persamaan para demonstran. Jan-jane tukan bikin persamaan ya guru-guru matematika. Mereka tidak suka pertidaksamaan. Tapi, walau tak ikut bengak-bengok di jalan, kaum pengajar matematik itu tampil sebagai pembela. “Lho, dalam semangat persatuan, sebaiknya cari perbedaan atau persamaan? Persamaan kan?” kata salah seorang wakil mereka.

“Contohnya nduk Suroboyo saja,” lanjutnya, “Buat apa kita cari-cari perbedaan orang Benowo dan orang-orang kandangan, Bongkaran, Pabean, Menanggal, dan lain-lain. Justru kita harus nggoleki persamaannya.
''Itu tok ndak cukup. Kita juga harus nyari persamaan manusia ambek unsur-unsur alam. Ya, tumbuh-tumbuhan. Ya, hewan. Ingat, konsep persatuan kita bukan cuma kesatuan antar-manusia. Kita juga peduli pada kemanunggalan menungso ambek alam. Masyarakat kaprahnya cuma sanggup melihat perbedaan antara kerbau dan sang Prabu. Sekarang, lihat, para pendemo malah telaten dan mampu menemukan persamaannya. Enak to? Manteb to?"

Di singgasananya, Prabu Duryudana semula akan manggut-manggut. Ndak sido, karena si kembar dan si gagap Citrakso-Citraksi bisik-bisik di kiri-kanan telinga sang Prabu. Mereka mengingatkan, awas lho, kebo itu gemuk dan dungu. Juga penurut. Cek saja nanti pas Paman Sam berkunjung kangen-kangenan Maret nanti. Bawakan kerbau di bekas sekolahnya di Menteng. Paman Sam bilang ''ngidul'', pasti kerbau itu ke selatan. Obama, eh Paman Sam bilang ''ngalor'', pasti kerbau berubah kiblat jadi ke utara.

We ladalah! Tokoh nomor satu Astina itu bingung. Harus koyok opo reaksinya sebagai raja menanggapi soal kebo. Waduh dewaaaaa....dewaaaaa...Diam saja nanti dikira mayat. Misuh-misuh nanti dikira Ruhut Sitompul. Padahal, meski pakai anting seperti umumnya para raja, Duryudana tidak punya kuncir seperti Ruhut.

Sepilah suasana sidang di balairung. Nyenyet. Sampai-sampai di luar balairung pun keadaan turut menghening... tan ono sabawaning walang awisik, ron-ronan datan mobah, samirono datan lumampah...Bahkan tak ada satu pun gemerisik belalang, daun-daun tak bergerak, angin pun mandek.

Patih Sengkuni memecah kebekuan yang sudah berlangsung sejak senja hingga nyaris beduk tengah malam. Ia batuk-batuk dan berdehem. Hadirin yang semula tunduk pada menoleh. ''Menanggapai demonstrasi kebo, bagaimana kalau reaksi Sampeyan, Prabu Duryudana, ketawa-ketawa saja," bujuknya seraya cengegesan seperti adatnya.

Duryudana alias Jaka Pitana, ya sang Destarastratmaja mak jlek memandang Patih Sengkuni. Lalu Jaka Pitana nyureng-nyureng. Bagaimana kedua alisnya tak bersatu? Ngguya-ngguyu haha-hehe kan lambang suka-cita? Nanti mereka dikira hepi-hepi karena diem-diem naik gaji dan remunerasi bersama pejabat negara lainnya. Padahal, rakyat sudah teriak-teriak mbok para penyelenggara negara jangan joget-joget di atas penderitaan mereka.

Atau sebaiknya Prabu Duryudana marah-marah? Tapi ini akan melanggar perpu tentang marah-marah. Dalam peraturan pengganti undang-udang itu disebutkan, pemimpin boleh misuh-misuh tapi tak boleh marah-marah. Pemimpin hanya boleh marah kalau harga-harga kebutuhan pokok sudah turun. Padahal, sekarang, harga-harga justru naik-naik ke puncak gunung. Ya, gula. Ya, beras. Ya, gas. Kecuali kalau perpunya diganti lebih dulu supaya mereka berubah bisa marah-marah. Seperti dulu mereka mengganti perpu lebih dulu agar bisa membantu Bank Senturi.

Gedubrak! Prabu Duryudana nggeblak, jatuh semaput. Sidang dikukut.

***

Kapten Chelsea John Terry tidak sendirian dalam berselingkuh. Arjuna juga punya pacar gelap. Namanya Dewi Banuwati, permaisuri Duryudana alias Prabu Anggendariputro. Bukan saja cantik, putri asal Kerajaan Mandaraka ini juga berkuasa atas laki-laki. Bayangkan, dia hanya bersedia dipinang oleh Raja Astina, Duryudana alias Suyudana, dengan syarat perias pengantin putrinya harus Arjuna. Dirias di kamar tertutup 40 hari 40 malam. Edan, Suyudana setuju!

Kini Suyudana yang pingsan dari ruang sidang sedang diusung ke peraduan. Banuwati yang sedang SMS-an dengan Arjuna sudah tahu. Pasti penyebabnya adalah kebo. Maka begitu Suyudana sudah siuman, sang Dewi yang sudah siap dengan seabrek dongeng tentang kebo, mulai bercerita kepada suaminya. Sebagian info itu diperoleh Banuwati dari panakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Dongeng-dongeng tersebut perlu dituturkan sang Dewi agar suaminya tidak minta macem-macem di malam yang dingin dan kadang mati listrik itu (Mohon dipersori untuk Mas Dahlan Iskan, dirut PLN, ST).

Bener. Pas Suyudana siuman, laki-laki ini langsung ngambung kening istri dan meraba dadanya. Sing digerayangi paham. Sang Dewi cepat nylimur, ''Eh, Cak, tahu ndak, ternyata kebo itu baik lho. Kalau mbajak sawah paling lurus hasilnya. Hasil garis bajakan sapi masih mbliyut-mbliyut. Ini karena kerbau mirip manusia autis, yang punya keterbatasan melakukan berbagai jenis aktivitas, dan kerap dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang di Tanah Air. Padahal orang autis kalau dipupuk bisa melakukan gerak yang sama ratusan kali dengan ritme dan ketelitian yang ajek dan luar biasa. David Beckham salah satu contohnya."

Prabu Destarastratmaja terpana. Tapi dongeng permaisurinya terhenti karena sibuk SMS-an ambek Arjuna. Sang Prabu kembali menggerayangi istrinya di bagian yang lebih ke bawah. Cepat-cepat Dewi Banuwati nylimur lagi.

''Eh, Cak, Sampeyan ngerti? Ternyata kerbau yang tenaganya lebih besar ketimbang sapi juga jauh lebih disiplin. Kelihatannya saja kerbau tidak tebar pesona dan tidak jaim alias jaga image karena badannya sering berlumpur dari hobinya berkubang. Tetapi, bahwa sesungguhnya, kerbau sangat rapi hidupnya. Yaitu, pulang kandang selalu melewati jalur yang rutin mereka lalui saban hari. Buang kotorannya juga tidak di sembarang tempat. Kerbau praktis lebih sering buang kotoran di tempat biasanya dia buang hajat.''Sekali lagi dongeng Dewi Banuwati terhenti karena SMS-an dengan Arjuna. Prabu Duryudana semula terkesima pada kebaikan kebo. Akhirnya tangannya kembali menjadi aktivis. Satu per satu kancing gaun malam istrinya dibukanya. Dewi Banuwati kembali nylimur. ''Eh, Cak, kebo itu bagus kok. Tahu kan? Makhluk yang dikeramatkan di Keraton Kasunanan Surakarta sejak abad ke-17 adalah kerbau. Bukan kuda. Bukan sapi. Kerbaulah yang paling terbukti bisa menjaga kehormatan pusaka Kyai Slamet sampai-sampai kerbau itu sendiri secara turun-temurun dinamai Kyai Slamet dan diarak setiap peringatan tahun baru 1 Suro.

Kerbau pula yang mampu mengantar Nusantara memperoleh penghargaan dari UNESCO belum lama ini. Wayang mereka hormatidan dudukkan sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan. Apakah para demonstran itu berpikir bahwa Nusantara tetap bisa memiliki wayang tanpa adanya kulit kerbau? Kulit sapi dan hewan-hewan lain tidak bagus sebagai bahan wayang kulit. Jati diri kebudayaan Nusantara yang suku-sukunya saling bekerja sama juga mengolah tanduk kerbau, terutama kerbau Toraja, sebagai gapit dan cempurit (tulangan dan pegangan) wayang."

***

Dari pengalaman-pengalaman itu kemudian tak satu jeda pun Dewi Banuwati kasih kepada tangan suaminya untuk beraktivitas. Dongengannya tentang kerbau terus nyerocos. Hingga hari menjelang terang tanah dan kokok ayam ketiga.

Putri Prabu Salya dari Mandaraka itu bercerita tentang betapa orang-orang hebat dahulu kala juga menggunakan kebo atau mahesa sebagai namanya. Misalnya Mahesa Wong Ateleng. Ada juga Kebo Marcuet di alas Purwo. Saking saktinya sampai Raja Blambangan itu meresahkan Majapahit.

Apakah nama pemimpin Ekspedisi Pamalayu itu lebah? Tidak. Tapi kerbau. Yaitu Kebo Anabrang. Kalau tidak digdaya, mustahil panglima Kerajaan Singasari itu berhasil menaklukkan seluruh wilayah Melayu termasuk kerajaan Melayu Jambi dan Sriwijaya. Di Singasari itu banyak tokoh bagus-bagus namanya pakai kebo. Jangan cuma terpaku Kebo Ijo yang pandir dan dimanfaatkan oleh Ken Arok. Lihat juga kebo-kebo yang lain. Kebo Giro, nama gending gamelan yang sering ditalu pas mantenan, itu juga enak.

''Sudah bagus Paduka disamakan dengan kebo," bisik Banuwati, "Daripada Paduka disamakan dengan lebah. Tawon itu lempar batu sembunyi tangan. Persis kelakuan siapa pun yang terlibat kasus Bank Senturi. Yang nyengat, yang ngentup, itu dia-dia sendiri. Eh, dia diem saja ketika yang disidang dan disidik-sidik aparat hukum di Jawa Timur seorang murid sekolah di bawah umur...Cak...Caaaaaak..."

Zzzzzzzzz....

Duryudana ketiduran di ranjang. Matahari sudah naik sepenggalah. Di ranjang yang sama, Dewi Banuwati segera mungkur dan melanjutkan SMS-an dengan Ksatria Piningit: Arjuna. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
Link :


Episode 26 Sri Gayatri Kedanan Sri Kandi
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 14 Pebruari 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image BAPAKKU Sayang, siapa ngomong gudangnya pemusik cuma Bandung dan Jogja. Dianggepnya Surabaya hanya kaya nyamuk dan bonek. Salah. Selain gudangnya triliunan duit...Budi Sampoerna itu wong Suroboyo lho...Surabaya juga lumbunge pemusik. Salah satunya Leo Kristi yang awal-awalnya pernah sa' grup ambek Gombloh di Band Lemon Tree's. Nah, di antara penyanyi Leo Kristi ada yang namanya Gayatri.

Jadi, Bapakku Sayang, Gayatri di sini belum karuan Gayatri yang Sampeyan karepno. Bisa saja Sampeyan mikir Gayatri di sini perempuan yang pipinya mirip Ria Irawan. Padahal pikiran saya ke Gayatri-nya Mas Leo. Atau Sampeyan nyangka Gayatri di sini perempuan ceplas-ceplos, abang ngomong abang, ijo ngomong ijo, khas Suroboyo, tapi aksennya Makassar. Pakai ''lha'' gaya Jawa tapi juga pakai ''to'' gaya Bugis. Sementara Sampeyan-Sampeyan yang lain ngira Gayatri di sini itu Gayatri sing modis dan senengane megal-megol.

Oh, Bapakku Sayang, begitu banyak perempuan cantik bernama Gayatri selain Gayatri yang Sampeyan tuding dan Gayatri-nya Leo Kristi. Apalagi sekarang setelah banyak peristiwa penculikan karena pergaulan facebook. Orang-orang tua wanti-wanti agar anak-anak gadisnya tidak pasang nama asli di Mayapada alias dunia maya. Aneh bin ajaib, satu dua ABG mulai pakai nama samaran yang sama: Gayatri. Tiba-tiba ini berdampak sistemik. Di facebook seluruh perempuan lantas pakai nama Gayatri.

***

Gareng, Petruk, dan Bagong rembukan serius nanggapi banyaknya perempuan digondol dan diewer-ewer wong lanang gara-gara facebook. Rembukan jadi berantakan tanpa penengah. Maklum, Semar yang biasa jadi moderator bagi anak-anaknya sudah moksa bersama kepergian Gus Dur. Gareng, panakawan sulung, jadi ekstrem. Anak-anak perawannya dilarang mblakrak main facebook. Akibatnya mereka semua stres dan masuk rumah sakit jiwa di Lawang.

Waktu rembukan itu Bagong baru cekcok dengan istrinya, Dewi Bagnawati. Yok opo ndak antem-anteman, Bagnawati entek ngamek membela Demokrat dan PKB, Bagong mbelani PDI-P, Golkar, PKS, Hanura, dan Gerindra. ''Jangan sama-samakan facebook dengan kaum istri," kata Bagong emosional ke Gareng yang juga baru cekcok dengan istrinya, Dewi Sariwati. ''Facebook berbeda dibanding istri. Facebook itu masih ada sisi positif-positifnya."

Petruk tersinggung. Masa' si bungsu nggebyah uyah menyamaratakan kaum istri semuanya negatif. Akal sehat Bagong wis mlotrok. Buktinya, istri Petruk masih punya sisi positif lho. Misalnya, Dewi Undanawati, istrinya, masih curiga ketika Pak Antasari divonis bersalah.

''Berarti istriku masih ada positif-positifnya. Dia masih pengin tahu siapa pembunuh Nasrudin Zulkarnaen sebenarnya. Dia masih terus bertanya kenapa kok Antasari langsung diciduk menjelang Antasari akan periksa morat-maritnya penyelenggaraan pemilu. Berarti otak istriku masih jalan. Masih positif," kata Petruk.

Petruk lantas mengambil jalan tengah soal facebook. Bagong membebaskan anak-anaknya main facebook. Akibatnya seluruh anak gadisnya hilang lebih misterius ketimbang penerima saluran dana Century. Penerima dana Century yang diduga menjadi cukong calon presiden dan wakil presiden tertentu pada pemilu lalu kan nama dan alamatnya ada.
Pas dicek ternyata RT/RW setempat bingung thingak-thinguk karena orang itu ndak ada. Anak-anaknya Bagong yang diculik pemain facebook itu sekarang nama dan alamatnya saja ndak ketahuan. Hantu keramas dan suster ngesot saja masih ketahuan ada di mana.

Jalan tengah Petruk: anak-anaknya dibebaskan main facebook tapi dengan syarat, tidak boleh memasang foto asli. Mereka ng-upload foto Gareng atau Bagong. Waduh!! Anak-anak Petruk kemudian mengeluh. Ternyata setelah memasang foto Pak De dan Pak Lik mereka itu, mereka kehilangan banyak sekali teman di facebook. Ndak ada yang nge-add. Syarat diubah oleh Petruk. Bagaimana kalau pasang foto sendiri tapi jangan yang pas dalam keadaan cantik atau pas seksi.

Waduh!! Ini juga problem. Anak-anak Petruk itu cantik-cantik bahkan ketika pas ndak cantik saja masih cantik. Lencir dan langsing pula. Maklum bapaknya tinggi, hidungnya mancung, dan murah senyum. Undanawati, ibunya, juga tak kalah dengan manise Gayatri. Petruk tak kurang akal. Anak-anaknya disuruh menatap lumpur Lapindo lalu ekspresinya dipotret. Mereka langsung tampak jelek.

Hari lain mereka dibawa Petruk keliling Jawa Timur. ABG-ABG itu disuruh menyaksikan banjir. Pas itu wajah mereka dijepret. Fotonya tampak jelek. Terakhir Petruk membawa kerbau yang pernah dipakai buat demo di Jakarta. Anak-anaknya dia suruh menerawang kerbau itu lalu diklik kamera. Hasilnya luar biasa. Jelek banget jadinya anak-anak Petruk.

Foto-foto jelek itulah yang dipasang di facebook anak-anak Petruk. Mereka akhirnya ngambek juga karena tetap saja kayak waktu mereka pakai foto Bagong dan Gareng. Mereka tetap kehilangan banyak sahabat di facebook. Banyak cowok-cowok yang me-remove mereka. Akhirnya jalan tengah tercapai. Mereka boleh mengunggah foto-foto asli yang cantik-cantik. Tapi harus pakai nama samaran. Mereka kompak memakai nama Gayatri dengan berbagai variasinya.

Inilah yang kemudian berdampak sistemik. Seluruh perempuan di facebook pakai vanasi nama Gayatri. Ada yang wajahnya seperti Julia Perez. Tapi namanya Gayatri Srihandini. Ada yang mirip Andi Soraya, tapi namanya Hayat Tree. ''Pohon kehidupan alias Kalpataru'' begitu statusnya dalam facebook. Seorang gadis di Ngaglik, Surabaya, yang ndak bisa nyanyi sama sekali malah menamakan diri Gaya Trie Utami.

Wah, opo tumon. Jusuf Kalla dan George Soros boleh bilang kasus Century tidak berdampak sistemik. Tapi, Bapakku Sayang, kasus Gayatri betul-betul berdampak sistemik.

***

Jangan dikira cuma ludruk dan ketoprak yang punya lakon-lakon tentang wong wedok edan. Misalnya Suminten Edan yang berlatar budaya Ponorogo. Di wayang juga ada lakon perempuan sinting. Di antaranya Srikandi Edan. Cuma, edannya Srikandi bukan karena celengannya hilang sampai miliaran. Putri kedua Prabu Drupada dari Kerajaan Cempala alias Pancala ini menjadi gila karena marah. Srikandi, siswi panahan dari Arjuna, marah-marah terus lantaran kok tambah banyak orang gila yang mengaku waras. Mereka malah tak sedikit yang menjadi pejabat negara. Celakanya, masyarakat sendiri juga tidak mengakui bahwa para pejabat itu jan-jane edan. Masyakarat malah mendakwa yang edan adalah Srikandi.Waduh!!!

Tekanan batin itulah yang pada akhirnya membuat Srikandi miring. Ia bukan saja berpakaian mirip laki-laki, didandani oleh sekjen para dewa, Batara Narada. Namanya berubah jadi Bambang Kandihawa. Suatu hari Srikandi malah bertukar kelamin dengan lelaki sakti bernama Begawan Amintuna.

Lakon inilah yang mengilhami pemuda dari Benowo dalam bermain facebook. Dia pengagum Begawan Amintuna. Dia memasang foto dirinya dengan foto perempuan. Nama aslinya, Sri Gandos Waskito, diubahnya menjadi Sri Kandi.

Oooo...Kodrating Jawoto gak keno diduwo...

Seluruh Gayatri kemudian hengkang dari facebook Srikandi, kecuali satu Gayatri. Gayatri yang satu ini tetap yakin bahwa Srikandi tersebut adalah lelaki yang diimpi-impikan sepanjang hayatnya. Bayangan Gayatri yang satu ini, hanya Srikandi, lelaki yang bisa memahami perasaan wanita, yang akan bisa menuntaskan problem hidupnya. Satu jam saja Gayatri tidak di-wall maupun di-chat oleh Srikandi, Gayatri akan kelimpungan.

Dan kalau sudah kelimpungan, Gayatri akan melempar-lemparkan telur, buah dan sayur-mayur. Dia akan ambil cat. Dia corat-coret dinding-dinding kota. Capek mencorat-coret, dia akan menari-nari megal-megol. Kadang goyang-goyangnya itu dilakukan di atas truk.

Bapakku Sayang, ketika aparat keamanan mau menangkapnya karena menganggap Gayatri gila dan mengacau keamanan, Gayatri sempat nge-chat Srikandi.

''Aku tahu kamu laki-laki to, kamu pemimpin to, meski penampilanmu seperti perempuan. Setidaknya seperti banci. Lha, tolonglah aku. Kamu tanda tanganlah kasih instruksi agar celenganku kembali. Kalau kamu takut tanda tangan, lha minimal kamu berani bilang ke masyarakat, matanya suruh lihat, bahwa di zaman edan seperti ini, yang edan sebenarnya bukan Gayatri to. Jadi begitu, Bapakku Sayang..." (*)

EPISODE 27 - Rahwana I Love U..
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 21 Pebruari 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageRAHWANA mbawa Dewi Sinta ke Alengka. Istri Prabu Rama dari Kerajaan Ayodya itu digondolnya setelah Garuda Jatayu yang mencegat Rahwawa di dirgantara keok oleh si raja Alengka itu. Sekarang wis 12 tahun lebih Sinta nduk Argasoka, tempat bintang lima di Alengka. Padahal Rahwana sudah punya istri, Dewi Tari.

Konon penyebabnya sepele. Dewi Tari uring-uringan terus soalnya Rahwana sering mbanding-bandingno masakannya ambek masakan ibunya, Dewi Sukesi. Pikir Tari, ''Enakan jadi Siti Hawa ya, Adam ndak mungkin pernah nyebut-nyebut masakan ibunya.''

Waktu pergi ke tabib, Dewi Tari diberi obat penenang. Dia heran, Rahwana tidak pernah mau minum obat. ''Bukan untuk Bapak, aduh, tapi untuk Mbak Tari. Agar Mbak Tari tidur saja ndak usah ngomel-ngomel sehingga suami betah di rumah,'' kata tabib.
Gareng bertanya-tanya, ternyata di Alengka tidak saja diumbar nikah siri dan poligami. Bahkan berpoligami dengan istri orang lain juga sip sip saja.Bagong selalu berbeda dibanding Gareng, kakaknya. Bungsu Semar ini selalu polos-polos saja. Tidak pernah sok kritis dan sok intelektual bagai kakak sulungnya. Bagong selalu berpegang pada prinsip sederhana bapaknya, ndak usah repot-repot mikir segala hal termasuk poligami boleh apa nggak.

''Yang penting, apa pun agamanya, umat yang terbaik adalah yang paling berguna buat sesama,'' kata Bagong singkat.


Weladalah! Petruk berusaha membuat kata-kata Bagong panjang seperti hidungnya. Percuma tidak nikah siri, tidak poligami, kalau konsentrasi tiap laki-laki cuma melulu pada keluarganya sendiri. Makanya, banyak orang lain yang nganggur, kelaparan, bahkan sampai menjuali bayi-bayinya.Petruk masih ingin lebih panjang lagi. Katanya, keluarga bukanlah tiang negara. Ini salah kaprah. Bangsalah tiang keluarga. Kalau bangsa ini baik, pengangguran sedikit, karena barang-barang dari China ditunda masuknya sehingga industri dalam negeri tak banyak yang bangkrut, keluarga-keluarga akan tenang.

Di dalam pengangguran yang tidak merajalela, keluarga-keluarga akan tenang. Para orang tua lebih lega melepas anak-anaknya pergi ke sekolah. Mereka tidak was-was anaknya dicopet atau diculik maupun diiming-imingi narkoba. Lapangan kerja akan membuat kriminalitas berkurang.

''Jadi, kamu anti pada orang yang tidak mau berpoligami, orang yang cuma memikirkan keluarga dari istri pertama,'' tanya Gareng.

''Lho, aku tidak anti. Ingat, namaku ini Petruk alias Kantong Bolong. Aku suka mengambil jalan tengah. Sebab, ingat, yang enak-enak itu pasti yang di tengah. Aku cuma menjadi penyambung lidah dari Bagong yang tidak bisa omong bertele-tele agar tidak dikira anggota Pansus Century.''

Bagong tersentak. Sebenarnya dia bukannya tidak bisa bicara panjang lebar. Tapi dia ingin setia pada pepatah kuno agar kita tak bicara panjang lebar. Kalau terlalu panjang kasihan ibu-ibu, terlalu lebar kasihan bapak-bapak.Bisa sih, Bagong berpanjang-panjang. Misalnya, suburnya mafia-mafia di Italia dulu justru karena prinsip bahwa keluarga adalah tiang negara. Semua orang memikirkan keluarganya sendiri. Polisi bahkan tak bisa berkutik memberantas mafia karena semua orang melindungi keluarganya dari penyidikan aparat hukum.

Belum purna ponokawan itu rembukan, terdengar langkah Rahwana menuju Taman Argasoka. Ketiga abdi yang ngintil Dewi Sinta itu segera ngumpet di balik pohon yang pernah dipakai Hanuman menclok ketika dahulu menjadi duta Prabu Rama, pohon Nagasari.

***

Macan mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalan gading. Garuda Jatayu mati meninggalkan, pertama, desain Garuda yang dipakai perancang Georgio Armani. Kedua, salah satu bulu di sayap. Bulu itu tanpa disulap kontan menjadi keris. Pesan Garuda Jatayu setelah kalah dari Rahwana agar Sinta selalu menghunus keris itu. Gunakanlah untuk bunuh diri kalau Rahwana menyentuh sedikit saja kulit Sinta.

Maka, selama lebih dari 12 tahun di Taman Argasoka, Sinta selalu menghunus keris ketika Rahwana memasuki taman. Dan ini yang membuat Rahwana sangat bersedih.

Menurut Rahwana, ini akibat peraturan tentang konten jejaring sosial internet belum diterapkan di Alengka Diraja. Mungkin karena itu maka banyak sekali isi facebook, twitter, blog, dan lain-lain yang mengandung fitnah bahwa dirinya berbahaya bagi perempuan.

Di Taman Argasoka itu, di depan Sinta yang memegang keris dan mengarahkan ke ulu hatinya sendiri, Rahwana menangis. Padahal selama 12 tahun keluar masuk Taman Argasoka, tepatnya ruang Gran Mahakam kamar 803, tak sebersit pun ia akan menyentuh Sinta sebelum Sinta jatuh hati kepadanya. Kelak Ponokawan akan menjadi saksi yang meringankan Rahwana, bagai Susno Duadji yang meringankan Antasari.

''Lho, kamar 803 ta? Gak kamar 308?'' Bagong nyeletuk.

''Goblok kamu Gong,'' bentak Gareng. ''Nomor 308 itu kamare Nyi Roro Kidul nduk Hotel Samudera Beach, Pelabuhan Ratu, Sukabumi...''

Kembali ke Rahwana. Ia merasa difitnah. Dia merasa tidak sejelek yang dituduhkan banyak orang selama berabad-abad. Dewi Sinta menurutnya tidak diculik. Rahwana hanya menagih haknya, yaitu hak menikahi Dewi Widowati yang menitis ke Dewi Sinta.

Ingat. Ketika lahir ke dunia Rahwana cuma berupa darah (Rah) di tengah hutan (wana), lalu darah itu menggeliat-geliat menjadi manusia bermuka sepuluh (Dasamuka). Rahwana malu. Saking malunya, putra pasangan nikah siri Wisrawa dan Sukesi itu kemudian bertapa di Gunung Gohkarno 50 ribu tahun lamanya. Setiap seribu pemilukada alias 5.000 tahun ia penggal kepalanya satu.

Nah, menjelang kepalanya yang kesepuluh dia penggal sendiri, Sekjen Para Dewa, Bathara Narada datang tergopoh-gopoh. Ia larang cucu Prabu Sumali itu bunuh diri apalagi di saat Imlek.

''Hayyyya...Alam semesta ini perlu Yin dan Yang, perlu keseimbangan, perlu hitam dan putih...Perlu juga warna kelabu. Kalau semua orang putih, hayyya o blegenjong blegenjong pak pak pong, pak pak pong, maka dunia ini njomplang...,'' kata Narada sambil menari-nari bagai barongsai.

Di Gunung Gohkarno itu, akhirnya Rahwana tak jadi bunuh diri. Tapi ia meminta dua hal. Dua-duanya disetujui oleh Narada. Yaitu, pertama, kesaktian yang tiada tanding. Kedua, menikahi titisan Dewi Widowati.

Kini Dewi Widawati alias Dewi Sri sudah menjelma jadi sosok perempuan di hadapannya, Dewi Sinta. Tapi mengapa Sinta akan menghunjamkan keris bunuh diri seolah-olah Rahwana akan melakukan pelecehan seksual.

''O, Sinta. O, putri Mantili juwita malamku. Jangan samakan aku dengan guru-guru spiritual yang biasanya melakukan pelecehan seksual. Inilah akibatnya kalau konten jejaring sosial internet tidak diawasi. Kamu termakan fitnah di internet selama ratusan abad bahwa Rahwana itu jelek.''

''O, Sinta, percayalah padaku seperti kelelawar percaya kepada malam, bahtera percaya kepada angin. Jangan kamu termakan oleh jutaan tukang fitnah di internet yang menyalahtafsirkan Empu Walmiki, pengarang Ramayana. Aku tidak seburuk itu, wahai putri duyung tawananku...''

''Sesungguhnya aku rela kamu dinikahi Prabu Ramawijaya meski Dewata dahulu kala telah menjanjikan kamu buat aku. Yang aku geregetan, kok kamu dapat lanangan yang tidak jantan, sing kerjone cuma tebar pesona? Ramawijaya memanah dari belakang ayah Anggodo, yaitu Resi Subali. Ndak hadap-hadapan lho.''

''Dan saking tebar pesonanya, aku sampek ngimpi di saat puspo tajem, yaitu saat menjelang fajar. Artinya ngimpi yang bakal kejadian. Selepas dari Alengka ini kamu akan dibakar Rama. Rama telinganya tipis. Ia sangat sensitif mendengar gunjingan warga bahwa kamu wis ndak suci lagi setelah 12 tahun bersamaku. Makanya ia tebar pesona dengan membakarmu. Tapi kamu suci. Makanya kamu tidak terbakar. Rama belum puas. Ia buang kamu ke hutan Dandaka sampai melahirkan anak dari Rama, yaitu Kusa dan Lawa...''

O, Rahwana menangis. Membik-membik, mbrebes mili, meninggalkan Taman Argasoka.

***

Alengka sudah hampir ludes digempur Prabu Ramawijaya beserta seluruh koalisinya termasuk Sugriwa dari Partai Kera. Ada desas-desus Sarpakenaka, perempuan, bendahara, dan menteri keuangan Alengka akan dijadikan korban. Korban selanjutnya adalah Patih Prahasto, wakil presiden Alengka.

Ternyata kabar burung itu benar. Koalisi Rama menjadikan Sarpakenaka dan Prahasto sebagai korban. Kini Alengka tinggal seorang diri, Rahwana, yang sedang bertandang ke Taman Argasoka.

Dewi Sinta membatin. Jan-jane ia ndak termakan fitnah internet soal kekejian Rahwana. Malah menurutnya konten internet tidak usah diawasi oleh negara. Jarno wae masyarakat internet sendiri yang akan mengadili para pemain culas di dalamnya. Nyatanya hukuman moral itu sekarang sudah jalan sendiri. Masyarakat akan menolak pengisi You Tube yang kurang ajar misalnya.

Dengan keris dari bulu Jatayu selama ini, Sinta jan-jane sudah tahu dari zaman Singosari bahwa Rahwana itu punya sisi positif juga. Sinta cuma ingin menguji ketulusan cinta Rahwana. Dan itu telah 12 tahun terbukti. Rahwana tidak pernah marah sedetik pun setiap Sinta menolak disentuh.

Hanya, malam ini Sinta kaget. Rahwana marah luar biasa, ketika Sinta menguji Rahwana dengan permohonan. Ia memohon agar Rahwana yang tinggal seorang diri dan dikepung, keluar saja dari kraton, menghadap minta ampun pada Ramawijaya yang memimpin pasukan pengepung dari Bukit Maliawan.

''Apa, Sintaku? Aku harus menyerah? Matamu lihat ndak seluruh rakyatku sudah binasa? Menteri keuanganku juga sudah dikuyo-kuyo lalu bongko? Wakilku juga sudah jadi korban? Sekarang kamu minta aku tetap hidup dengan meminta maaf pada belahan jiwamu? Memang kamu kira Rahwana pemimpin macam apa? Pemimpin yang tidak bertanggung-jawab ketika anak-anak buahnya matek dijadikan bal-balan munyuk-munyuk itu?''

Rahwana langsung bablas seorang diri menghadapi jutaan koalisi Ramawijaya.

O, Pak De Karwo, O, Gus Ipul, O sedulur-sedulur Lumpur Lapindo...sak kal lemes dengkul Dewi Sinta sepergi Rahwana. Ia terkulai. Gelung rambutnya pudar menyentuh tanah. Ia menangis tanpa kata-kata. Tapi pohon Nagasari di taman itu mampu menangkap isyarat. Di lubuk hati Sinta sekelebat terdengar kalimat lirih, mirip judul lakon wayang minggu ini. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
 

EPISODE 28 Dewi Drupadi Naik Ambulans
Ditulis Oleh SUJIWO TEJO   
Minggu, 28 Pebruari 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageBukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma' berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ''Soale lama-lama ta' lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,'' bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.

Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ''Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya...'' Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ''Hush...Ngawur awakmu,'' ralatnya, ''Bukan bau melati ini. Ini menyan...''
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.

Ciiiiiiiiittttttttt.....!!!!!!

Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.

Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.

***

Tukang taksi separo umur itu pasti butuh duit tenan sampai ndak sadar bahwa calon penumpangnya tadi mencurigakan. Malam-malam begini. Sudah larut lagi. Sendirian. Jalanan yang biasanya masih ditongkrongi satu-dua ojek dan tukang becak itu tadi sudah kosong lho. Ndak kayak malam-malam biasanya. Kok sopir ini nekad main tarik saja siapa pun yang nyegat. Mungkin karena anak tukang taksi ini sakit. Dia perlu ongkos dokter dan apotek. Mau minta sumbangan melalui koin buat si sakit takutnya masyarakat lama-lama bosen.

Dukun dari Sampang bilang, anak seusia TK itu sakit-sakitan karena namanya ndak cocok. ''Sabar Budi Yuwono itu ndak pas, Dik. Nanti kalau ada anggota Pansus DPR mbesuk ke sini yok opo? Iya kalau semua anggota dewan itu mau memanggil namanya lengkap. Kalau mereka males capek-capek lalu cuma mau manggil inisial Sabar Budi Yuwono? Masa' mereka sebut SBY? Hmm... Begini saja, Dik. Namai Heru Ardi Ibas-koro. Jaga-jaga kalau anggota pansus kurang sehat, energinya ndak sanggup menyebut nama panjang. Mereka cukup panggil inisial ''Hai''...Lebih mesra. Dan ''Hai'' juga lebih punya arti dibanding ''BO'' maupun ''SMI''. Salah-salah malah dikiro Sekolah Menengah Ibu-ibu...''

Begitulah pandangan akhir dukun kelahiran Ngawi ini. Lain lagi pandangan akhir dokter merangkap psikolog. Orang asli Nguling ini yakin, anak sopir taksi itu sakit gara-gara keseringan ndengar ibunya ngomel ke ayahnya. Memang istrinya selalu ribut siang malem non-stop persis warung Padang. Dan, kalau sudah ngomel buaaanter banget.

''Ya itulah risiko punya istri, Mas,'' dokter bertutur ke sopir taksi. Si sopir langsung tampak nglokro mendengar diagnosa dokter. Dokter tanggap. Hiburnya, ''Hmmm...Tapi ndak papa...Tahu beda antara istri dan senapan? Senapan masih bisa kita pasangi alat peredam.''

Ketika temuan fraksi dukun dan fraksi dokter-psikolog disampekno sopir taksi nang istrinya, sang istri yang berbaju biru itu tumben jadi tenang. Katanya, ''Sini ta' bilangi. Apa pun yang diutarakan fraksi-fraksi itu aku gak pateken. Itu baru temuan politik. Bukan temuan hukum. Hukumnya sudah jelas, hukum karma. Anak kita jadi sakit-sakitan begini karena karma Sampeyan. Sampeyan itu ngeluuuuuuuh terus kalau cari duit. Padahal aku kurang opo, Cak? Aku wis mbantu-bantu jadi tukang pijet. Sampek semua bapak-bapak di RW sini wis roto pernah tak pijeti...''

Gitu ceritanya kenapa kok malam ini pak sopir semangat sekali cari duit. Sampek ia ndak awas lagi jangan-jangan perempuan yang baru naik itu bukan perempuan biasa, tapi kuntilanak. Baru ketika melintas Jembatan Merah pak sopir yang gemar wayang itu tiba-tiba merasa aneh. Tumben-tumbennya ada penumpang tidak minta siaran radionya dipindah ke musik. Padahal radio taksi sedang muter wayang, acara kesukaan pak sopir. Perempuan itu malah ketawa-ketawa mendengar radio. ''Itu suara Bagong kan, Pak,'' tanyanya renyah.

''Yo mesti ae,'' kata suara di radio. Suaranya serak, tercekik namun tetap lantang. ''Mesti ae orang hukum ndak takut nang DPR soal hasil pansus. Mereka juga ndak ngrasa terikat, minimal ndak sungkan pada DPR sebabe DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil ya lebih rendah daripada yang diwakili, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Makanya aparat hukum merasa kurang dihargai, kurang diorangkan. Yang ngomong ke mereka belum rakyat sendiri, baru wakilnya. Rakyat masih terlalu padat jadwalnya untuk berkenan datang dan ngomong langsung. Ndak tahu kalau nanti-nanti...''

***

Waktu menunjuk pukul 02.10 dini hari.

''Betul kan Pak, tadi suara Bagong kan, Pak?'' tanya perempuan itu sekali lagi. Suaranya masih renyah, campur suara kuluman permen karet.

''Inggih, betul, Mbak, eh, Bu...''

''Hehe, Bapak ini...Ehmm...Panggil saja saya Drupadi...''

Sopir mengernyit.

''Bapak tahu Drupadi di wayang kan? Pasti mudeng soale Bapak penggemar wayang...''

Jelas si Bapak tahu. Drupadi, alias Dewi Kresna, adalah putri Raja Drupada di Pancala. Dia perempuan yang dinikahi rame-rame oleh Pandawa karena sejak remaja Pandawa telah bersumpah: ''satu untuk semua, semua untuk satu''. Aturannya, siapa pun tidak boleh memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir oleh titisan Dewi Srigati, dewinya poliandri itu.

Di suatu malam tiba-tiba ada teriakan. Ada Pak Tani bengak-bengok minta tolong mengejar maling anak gadisnya yang akan membawanya kabur ke Arab Saudi jadi TKW. Arjuna yang mendengar jeritan itu spontan berpikir harus menolong petani. Pikirnya, kalau tidak ditolong, ini akan berdampak sistemik. Seluruh gadis di Kampung Amerta akan dilarikan ke Timur Tengah. Arjuna langsung mengambil senjata Pandawa yang semuanya disimpan di kamar sulung Yudistira. Kamar terkunci. Yudistira sedang main asmara dengan Drupadi. Arjuna mendobraknya. Gedubrak!!! Dengan senjata yang baru diambilnya kesusu-susu itu Arjuna langsung bablas mengejar maling dan berhasil meringkusnya.

Keempat anggota Pandawa plus Drupadi langsung menggelar sidang hak angket. Agendanya merembuk hukuman apa yang pantas untuk Arjuna karena melanggar kebijakan. Berani-beraninya Arjuna memasuki kamar saudaranya yang sedang digilir Dewi Drupadi. Akhirnya semua sepakat Arjuna tak perlu dihukum karena tujuan memasuki kamar yang ada Drupadi-nya itu mulia. Tiba-tiba sing dirasani muncul. Semua kaget. Drupadi malah sampai pingsan. Gara-garanya Arjuna menyatakan akan menghukum dirinya sendiri selama 12 tahun di tengah hutan.

Di dalam taksi, lewat tengah malam itu, dari jok belakang, tiba-tiba Drupadi njawil pundak sopir taksi. ''Pak?'' tegurnya. Pak sopir sangat kaget. Remnya dia injek tiba-tiba. Mobil sempoyongan berkelok-kelok hingga nyaris nabrak patung polisi. Sopir ngos-ngosan.

''Sampeyan itu lho dijawil wae kaget. Baru tukaran sama istri ta? Atau ngomong-ngomong soal Drupadi, Sampeyan marah-marah margo Arjuna ndak disalahkan malah menghukum diri sendiri...tapi manusia sekarang sudah disalahkan sama pansus masih ndak mau ngrumangsani, gitu? Sampeyan ngalamun bareng tak jawil kaget.''

''Bukan begitu Bu Drupadi. Saya sudah 20 tahun bawa mobil, tapi baru pertama naksi ya hari ini...''

''Lha opo hubungane. Saya itu tadi mau tanya Sampeyan tahu Jalan Century ndak? Makanya saya jawil. Naksi baru sehari, oke. Tapi sudah 20 tahun lho Sampeyan itu nyopir. Mestinya nggak kaget gitu nek tak jawil dari belakang...20 tahun pengalaman nyopir kok masih gampang panik...''

''Dua puluh tahun nyopir itu saya nyetir ambulans, Bu...'' (*)

EPISODE 29 Edan, Yudhistira pun Bisa Bohong
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 07 Maret 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageREMBUKAN ponokawan rampung sudah dan jelas. Kebijakan Prabu Yudhistira mereka nyatakan bermasalah. Mestinya dalam Bharatayuda pemimpin Pandawa itu blak-blakan. Bilang saja yang mati bukan Aswatama anak kinasih Pandita Durna. Yang menggelepar-gelepar terus matek hanyalah Gajah Hestitama. Dia bongko dikepruk gada Rujakpolo-nya Bima. Tapi Prabu Yudhistira bilang yang tewas Aswatama. Kontan panglima Kurawa itu lemes lantaran menyangka anak kesayangannya gugur. Gumrojok tanpo larapan ...dalam kelunglaian itu Thrustajumna mengendap-endap dari belakang. Ia penggal seketika kepala sang mahaguru... Thel...ubluk-ubluk-ubluk...

''Thel itu apa Pak Dalang?'' penonton bertanya.

Leher Durna putus.

''Ubluk-ubluk...?''

Suara kepala Durna ngglundung di palagan Kurusetra... wis cangkemmu jangan tanya terus, Rek. Nanti ceritanya ndak rampung-rampung.

Lanjutane, Yudhistira menanggapi Remsus (rembukan khusus) Ponokawan. ''Kebijakan tidak bisa disalahkan. Saya bertanggung-jawab dunia akhirat,'' begitu pidato Yudhistira yang disaksikan segenap hulubalang lengkap koalisi Sesaji Raja Suya. Yang mungkin bersalah, sekali lagi mungkin, adalah implementasi alias pelaksanaan di lapangan. Umpamane, kenapa Thrustajumna tidak secara ksatria dari depan memenggal Durna alias Resi Kumbayana? Itu masih patut diduga bersalah lho. Adapun kepastian salah atau tidaknya si Trustajumna biar proses hukum di pengadilan yang menentukan. Lembaga wakil para kawula alit seperti ponokawan tidak berhak menentukan seseorang bersalah atau tidak.

Lho, tapi terus apa gunanya dalam wayang sekotak itu perlu dibentuk lembaga ponokawan? Ya, pasti onok gunane-lah. Usus buntu saja ada gunanya. Kira-kira begitu celometan antarpenonton silih berganti, saur manuk, seperti betet sewu andum memangsan.

Sudah buang waktu bulan-bulanan rembukan, nyedot duit kawula miliaran buat sidang malam-siang, ma' jekethek hasilnya tidak dipakai. Dipakai, ah. Dipakai sih dipakai. Dipakai apa coba? Ya, hasil Remsus Ponokawan bisa dipakai untuk menunjukkan bahwa pendapat ponokawan berbeda dibandingkan dengan pendapat sang Prabu. Wis, cuma' gitu aja?

Yo wis. Ndak papa. Gak popo piye? Lho, memang dalam demokrasi, perbedaan pendapat sah-sah saja. Wah, wah, ne' cuma' sah-sah saja semua orang juga sudah mudeng. Bahwa di dalam demokrasi itu siapa boleh apa, si anu boleh anu, asal sesuai dengan apa yang sudah dianu...

Ah, moso'. Kalau gitu ndak perlu capek-capek bikin Remsus ponokawan. Gitu? Iya, gitu. Setuju. Ndak usah capek-capek bikin pidato tanggapan. Iya kan? Hehe...bener. Bener. Perbedaan pendapat memang sah-sah saja dan perlu dipertontonkan. Tapi yang lebih penting kita harus putuskan pendapat siapa yang akan dipakai.

Wah, teppa' itu. Cocok, Cak. Ibarat kita mau bikin rawon. Maksudnya? Ya maksudnya boleh-boleh saja kita beda pendapat takaran kluwek-nya sa' piro. Tapi kita harus putuskan pendapat siapa yang dipakai. Kalau ndak gitu rawonnya ndak jadi-jadi. Empat puluh hari empat puluh malam mung umyek karepe dewe di dapur. Akhirnya rakyat semua kelaparan. Kabeh do kaliren, ndak mbadog-mbadog, cuma' nonton para pemimpin debat otot-ototan.

***

Di antara penonton wayangan semalam suntuk di lahan bekas tambak itu... ada yang jualan pecel Dharmahusada (lengkap mbarek pecel Ngawi Mbak Sum), jualan bakso Kepanjen... Kupang Jalan Ria. Pokoke macem-macem. Ada juga seorang bocah bernama Wisanggeni. Mungkin bapaknya maniak wayang. Sebuah nama kan sebuah harapan? Kayaknya bapaknya punya angan-angan anak itu jadi seperti anak Arjuna-Dewi Dersanala, Wisanggeni, bocah yang cerdas. Dan harapan bapak-bapak asli Blitar itu tercapai.

Melihat tontontan wayang malam itu Wisanggeni yang bersandar di pohon pisang sambil ngemut sate kerang bertanya-tanya. Menurut Prabu Yudhistira wajar-wajar saja terjadi perbedaan pendapat antara dia dan Dewan Perwakilan Kawula Ponokawan. Tapi kenapa kok waktu ponokawan masih sibuk buk-rembukan sang Prabu kirim orang untuk lobi sana-sini agar ponokawan berpendapat seperti pendapat sang Prabu? Berarti sebenarnya ndak wajar pemimpin berbeda pendapat dengan rakyatnya, karena yang mengangkat pemimpin itu rakyat kan?

Wisanggeni boleh cerdas, boleh rangkep-rangkep sekolahe, tapi ponokawan menang tua dan menang pengalaman. Ne' misale Petruk dari panggung bisa lihat Wisanggeni di penonton belakang, Petruk pasti ketawa.

Hati Petruk akan berbisik, ''Sssttt...tahu ndak, anak muda, sebenarnya ponokawan itu pengin nurut ambek sang Prabu. Suaranya pengin distel sama. Tapi, saya, Gareng, dan Bagong masing-masing punya keperluan. Nanti pas pesta rakyat 2014 kami masih ingin laku dijual sebagai boneka. Pas pesta rakyat nanti kan pasti banyak juga orang jualan boneka. Sekarang saja boneka China makin menggempur pasar kita. Kalau kami, Petruk, Gareng, dan Bagong tidak belajar untuk disenangi rakyat saat ini bagaimana bisa laku di tahun 2014?''

***

Petruk agak keliru. Wisanggeni ternyata tidak segoblok itu. Wisanggeni ngerti bener bahwa penanggung jawab skandal ini sesungguhnya adalah Prabu Kresna. Kresnalah yang menyuruh Bima membunuh gajah Hestitama dan membisiki Yudhistira agar berbohong, bilang bahwa yang mati Aswatama, anak Durna. Dan itulah sekali-kalinya dalam seumur hidup Durna berbohong.

Tapi kalau Remsus Ponokawan mengarahkan penyelidikannya ke Kresna, ponokawan akan berhadapan dengan rakyat. Ingat, Kresna muncul sebagai atasan Yudhistira karena pilihan sebagian besar rakyat. Waktu pembentukan koalisi Sesaji Raja Suya, yang melawan Kresna, Sisupala, akhirnya dihakimi oleh rakyat. Lebih baik nyerang Yudhistira. Beliau bukan orang gaul. Bukan orang partai seperti diakuinya sendiri. Yudhistira itu ibaratnya pasar di mana, alun-alun di mana, ya ndak tahu. Kerjanya baca bukuuuuuuuuu....thok.

Makanya, sekali lagi, paling nyaman ponokawan menuding Yudhistira saja yang kebetulan orangnya lemah-lembut-gemulai. Toh Yudhistira bisa distel bilang, ''Kebijakan tidak bisa diadili.'' Maka beralihlah tuduhan pada pelaku di lapangan. Dialah Thrustajumna.

Wisanggeni tahu, untuk membuktikan Thrustajumna bersalah bisa diperlukan waktu lebih daripada lima tahun. Pasti nanti akan ada kontroversi tanpa ujung. Thrustajumna dinilai berhak membunuh Durna tidak secara ksatria. Dahulu Durna toh pernah mempecundangi ayah Thrustajumna, Prabu Drupada, secara tidak ksatria pula.

''Lha terus kalau pengadilan Thrustajumna ndak rampung-rampung yok opo?'' tanya penjual wedang ronde ke bocah yang nyandar di pohon pisang.

''Ponokawan sebenarnya ndak pathe'en pengadilan ini rampung sebelum lima tahun atau tidak. Yang penting ponokawan terus memantau jalannya proses hukum. Kalau perlu marah-marah terus. Galak. Yang penting ponokawan dapat simpati masyarakat, agar bisa dijual pada pesta rakyat 2014.''

''Tapi, Nak, apa benar satu-satunya orang yang berani terhadap Prabu Kresna itu cuma' Wisanggeni?'' (*)

EPISODE 30 Joko Pitono Bukan Teroris!
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 15 Maret 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageWIS bolak-balik dibilangi sama Gareng, Joko Pitono yang darahnya muncrat di Pamulang itu sungguh-sungguh teroris. Bagong tetap saja ngotot. ''Buuuukan!'' katanya metenteng. ''Joko Pitono bukan tukang teror!!!'' Sekarang Bagong ngomongnya malah ambek teriak-teriak.

Tadi baru saja keduanya tukaran soal nama tempat penyergapan. Bagong bilang Joko Pitono didor di Pemalang. ''Aduh, Gong, Pemalang itu kota kelahirannya. Tertembaknya bukan di Pemalang, tapi nduk Pamulang,'' bantah Gareng.

Di kawasan Banten itulah Joko Pitono dilumpuhkan. ''Alah, Pemalang dan Pamulang apa bedanya. Ambek Karangkates baru ndak sama,'' Bagong balik membantah.
Gareng mangkel. Wajahnya jadi lebih merah dari jambu bol. Ia mukul-mukul amben dan gedhek. Kakak sulung Bagong itu akhirnya terus mondar-mandir, kukur-kukur kepala saking jembek-nya. Undang-undang dasar sudah berubah-ubah, kok rakyat yang satu ini ndak berubah-ubah juga. Tetep melarat dan suka ngeyel.

Petruk tanggap. Yang bikin Gareng tambah stres sampai wira-wiri kayak setrikaan, karena dia tidak ingin ihwal penyergapan teroris itu membuatnya lupa Century. Petruk sangat paham, Gareng yang selalu kritis dan waspada ingin engkel-engkelan lebih panjang dengan Bagong alias Bawor soal Joko Pitono. Tapi nanti bagaimana kalau debat kusir ndak rampung-rampung soal terorisme akan bikin Gareng lali Century?

''Ya sudah, Kang Gareng,'' ujar Petruk kalem, ''Mending sekarang Sampeyan ambil napas. Sana, pergi, jalan-jalan, cangkruk terus nongkrongi Pak Bibit dan Pak Chandra di KPK yang kabarnya mulai mengurus lagi soal Century. Dulu konon mereka sudah pernah mau ngurus Century terus...gimanaaaa gitu...Terus mereka berhenti karena lebih sibuk nonton pertarungan cicak dan buaya. Sekarang mereka sudah cancut taliwondo lagi. Sampeyan teruskan debat dengan Bagong soal Joko Pitono via telepon saja dari gedung di Kuningan Jakarta itu. Pepet terus Pak Bibit-Chandra. Obrolan soal terorisme berlanjut, tapi Century tidak terlupakan. Yok opo?''

EPISODE 31 Oblada...Obladi...Obamaaa...Tralala...
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 21 Maret 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageMenyambut rawuh-nya Ndoro Obama, diujilah watak seluruh petinggi kita yang akan jadi pager bagus dan pager ayu. Watak wantu mereka sebagai wong Nusantara harus teruji. Keperluannya, supaya mereka tidak gampang terombang-ambing seperti layangan putus tatkala dibius angin budaya londo Amerika.

Ramah ke Ndoro Obama yo mesti ae, Dik. Namanya juga tuan rumah. Tapi tetaplah pada jati diri. Ojok sampek kita yang rambutnya lurus paling banter ikal, ujuk-ujuk pengin keriting cilik-cilik kayak Obama. Kita yang rata-rata 160 cm ndak usah minta jadi jangkung seperti bojone Yu Michelle itu. Nanti malah ketatap-tatap pintu helikopter seperti di awal-awal Obama manjing Gedung Putih
Dewan kehormatan penguji adalah ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tim penguji yang dipilih oleh ponokawan ditutup wajahnya dengan topeng tokoh-tokoh Amerika seperti Kolonel Sanders yang memprakarsai KFC. Tata ruang ujian dibikin mirip McDonald. Ini agar para penggede yang diuji merasa nyaman.
Nama pengujinya juga nama samaran. Tertera di dada kiri nama-nama bintang Amerika, seperti Tom Cruise, Tom Hank, Robert de Niro, Arnold Schwazenegger, Sylvester Stallone, Angelina Jolie, dan lain-lain. Ini agar para penggede yang diuji merasa akrab. Konon, orang kita lebih akrab dan seneng investasi Amerika ketimbang Arab, padahal duit Arab dan lain-lain jan-jane juga banyak yang mau jadi dayoh.

Setelah lolos dari semua pertanyaan tentang kepribadian bangsa, termasuk soal Susno Duadji, sekarang pertanyaan menginjak ke materi wayang. Wayang dianggap bukan cuma warisan Jawa, Madura, Bali, dan Sunda. Wayang itu warisan Nusantara untuk dunia seperti pernah ditetapkan oleh UNESCO. Di Lombok ada wayang Sasak. Di Batak ada wayang Sigale-gale.

***

Inilah hari pertama ujian nasional tentang wayang.

''Tolong Bapak jelaskan, Dasamuka itu siapa?'' tanya penguji yang nama samarannya Sharon Stone.

''Hahaha...'' Petinggi yang diuji kaget. Ternyata pertanyaannya ndak senjelimet ujian nasional.

Belum selesai penggede itu ketawa, baru menjelang koma, penguji sudah memotong. Wah, lebih galak lho penguji itu ketimbang orang-orang Pansus Century kalau nanya-nanya ke saksi. ''Bu Sharon, maaf, sesungguhnya saya belum selesai ketawa. Bu Stone, boleh saya selesaikan dulu...''

''Ndak usah. Ini bukan soal Gerindra dan bukan soal Cak Markus. Jadi ndak usah ketawa. Langsung jelaskan, Dasamuka alias Rahwana itu siapa!?'' bentak Arnold Schwazenegger.

''Jelas, Pak Seger, Dasamuka adalah sulung Pandawa. Dasamuka punya dua anak, yaitu Bima dan Arjuna...''

Mendengar itu seluruh penguji Tanah Air dalam kedok bintang-bintang Amrik itu manggut-manggut.

Penggede melanjutkan, ''Benar kan Pak Seger? Saya itu sudah ngerti dan menghayati banget budaya Indonesia termasuk wayang. Jadi, sebagai pejabat tinggi, saya tidak akan gampang terpengaruh oleh Obama. Anak saya yang masih SMA mungkin masih gampang diontang-anting oleh Amerika. Wong kesukaan dia makanan Amrik, Michael Jackson, film-film Hollywood. Bahaya kalau dia diketemukan mbarek Obama.

Kemarin dia saya tes. Le, Le, hayo, tembang Ilir-ilir yang diciptakan Sunan Kalijaga seperti apa. Masa' dia nyanyi lagu Linkin Park. Dia yakin betul itulah Ilir-ilir. Prihatin saya. Bagaimana sih generasi sekarang ini. Ngisin-ngisini generasi pemimpin seperti saya. Yang betul Ilir-ilir itu kan begini, Obladi...Oblada...Life goes on, Brah...Lala how the life goes on...''

Sylvester Stallone, ''Lha, bukannya itu lagu The Beatles?''

''Bukan. Bealtes kan yang bikin Bengawan Solo.''

Seluruh penguji Tanah Air, sekali lagi, mendengar jawaban punggawa itu manggut-manggut tanda setuju.

***

Menjengkelkan banget hari pertama ujian tentang wayang. Para punggawa dan penguji ternyata sudah nggak ada yang kenal wayang sebagai salah satu jati diri bangsa. Kalau ujian diterus-teruskan, nggak akan ada yang lulus jadi pager bagus dan pager ayu penyambutan Obama. Ponokawan sebagai Dewan Kehormatan Penguji mencari pola pertanyaan lain.

Esoknya, ketika seorang perempuan penggede negeri datang untuk fit and proper test jadi pager ayu Obama, Tom Hank, dan Cruise tanya, ''Bu, walaupun mungkin Ibu sudah ndak datang bulan lagi...Hmmm...Bukan maksud saya Ibu sudah tidak muda lagi dan tidak menarik lagi lho ya...''

''Wis, cepetan, Hank, langsung pertanyaannya,'' desak Angelina Jolie, ''Nanti kamu ndak jadi nguji malah dituntut kayak pegawai yang ngrangkul-ngrangkul Rike Dyah Pitaloka..''

Tom Hank mengisap rokoknya, mumpung RPP soal tembakau dan larangan merokok belum disahkan. Ia basahi telapak tangan dengan ludahnya lalu menyisir rambut dengan jari tangannya. ''Kalau misalnya Ibu ternyata bisa hamil lagi, lalu Ibu harus menamai anak dari nama salah satu tokoh wayang... Pertanyaannnya, Ibu akan menamainya siapa.''

''Kurawa!''

''Maksud kami, penguji di sini, yang harus Ibu ambil itu nama salah seorang tokoh wayang lho, misalnya Diponegoro, Sangkuriang, Dewa Ruci...''

''Hush, Dewa Ruci bukan wayang. Itu nama Kapal Perang RI. Nama anak saya ya Raden Kurawa itu! Kalau perempuan, ya Dewi Kurawa-wati...Apa susahnya sih?''

''Begini lho Bu...Ehmm...'' Tom Hank sudah mulai panas tapi didinginkan oleh para penguji lain, ''Begini... Kurawa itu bukan nama tokoh wayang. Kurawa itu nama grup, nama kelompok, nama gerombolan, terdiri dari 100 orang. Pemimpinnya Semar.''

''Wah, Sampeyan itu penguji tapi goblok. Yang nama grup itu Arjuna. Arjuna terdiri dari lima orang, yaitu Prabu Yudistira, Raden Bima, Raden Nakula-Sadewa dan terakhir Raden Pandawa.''

''Ehm, begini sajalah,'' Kevin Costner menengahi. ''Bayangkanlah Kurawa itu grup band seperti Peterpan atau Padi. Jadi nama rombongan. Di dalamnya ada Ariel, ada Piyu arek Suroboyo itu. Gitu lho Bu...''

''Wah, Pak, maaf, grup-grup band di Indonesia saya kurang tahu. Tapi kalau grup-grup di Amerika itu saya tahu...''

Terjadi pertengkaran antara pihak penguji dan yang diuji. Ujian dihentikan.

***

Gareng sebagai ketua Dewan Kehormatan Penguji tak heran kalau ibu-ibu punggawa lebih mengenal pemusik-pemusik Amerika. Wong perhelatan jazz di Indonesia saja lebih membanggakan pemusik-pemusik Amerika. Spanduk-spanduk memajang nama-nama pemusik bule. Nama-nama pemusik kita nyempil terakhir-terakhir dan sak upil-upil.

Gareng dan ponokawan lain tidak anti-Amerika. Gareng seperti dibisiki oleh Sharon Stone, cuma khawatir kalau kita kelak dijadikan seperti Irak. Amerika dan gang-nya adalah satu-satunya kekuatan asing di Negeri 1001 Malam itu. Makanya, Amerika seenaknya main tuduh Saddam Hussein punya nuklir lalu menggulingkannya dan bikin pemerintahan baru.

Mestinya negara-negara kuat seperti Negeri China dan Rusia disambut besar-besaran juga di Tanah Air. Jadi kalau Amerika mau neko-neko di sini, kita adu saja dengan China dan Rusia. Kalau kepribadian kita kuat, kita nggak akan ngeblok Amerika atau salah satu negara kuat lainnya. Kita akan mengundang semua kekuatan masuk di sini, sekaligus mengendalikan mereka.

Atas persetujuan Petruk dan Bagong, Gareng meminta seluruh yang berselisih soal wayang mohon fatwa ke Sunan Kalijaga. Wali Songo ini diyakini sebagai tokoh yang mengolah wayang India menjadi wayang Nusantara. Para petinggi dan tim penguji sudah bersimpuh di singgasana Sunan Kalijaga. Sunan lalu bersabda: ''Sayalah Sunan Kalijaga. Tapi kalian salah alamat kalau mau tanya soal wayang. Saya kira kalian semua datang ke sini untuk konfirmasi apa betul saya ada hubungan asmara dengan klien saya, artis kasus narkoba Jennifer Dunn. Nama saya itu memang betul-betul Sunan Kalijaga. Tapi Sunan Kalijaga pengacara. Pakai ''SH''. Ini akibat kalian kebanyakan nonton buron teroris dan kasus Century. Sampeyan ndak pernah nonton infotaintment ta?''

Gareng akhirnya menunda kedatangan Obama hingga Juni, sampai kita semua mempunyai harga dan jati diri. (*)

Dikutip sepenuhnya dari JAWA POS, MINGGUAN, WAYANG DURANGPO

EPISODE 32 Cintaku Kandas di Genteng Kali
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 28 Maret 2010
Diunggah oleh ARAGOS
 ImageNAMANYA Bambang. Suka iseng orangnya. Konco-konconya di Gunung Sahari sering manggil dia Bagong. Nomor HP-nya banyak banget. Kalau lagi nyetir pas lalu-lintas macet, hatinya ndak ngrasani Cak Bambang D.H., wali kota Suroboyo. Wong mau wali kotanya siapa Surabaya tetep macet kok. Kota-kota lain juga macet kok. Ndak mau macet pindah zaman Majapahit saja.

Senengane Mas Bagong sambil nunggu lampu merah ya SMS orang. Nomornya sak karep-karep dia mencet angka. Kadang malah nggak sambil lihat HP. Ngawur saja. Isinya kalau nggak ''Darling, I love uuuu...'', paling ya ''Haiii...miss u so much.''

Suatu hari Mas Bagong kena batunya. Ia dilabrak. ''Situ siapa?'' damprat perempuan di ujung telepon.

''Dapat nomor saya dari siapa? Memangnya saya perempuan gatel opo? Awas ya, meski suami saya bukan Susno Duadji, tapi suami saya juga polisi. Dan masih jantan. Masih bisa kasih nafkah lahir batin. Jangan main-main. Suami saya bisa lacak HP ini HP siapa. Ipar saya orang KPK. Calon mantu saya orang kejaksaan! Semua bisa lacak HP wong lanang kurang ajuuuar kayak kamu...!!! Kamu kira semuanya sibuk nglanjutno kasus Century sampai nggak kober buat nglacak HP-mu sak rai-raimu!!!?''

Kapok. Mas Bagong kapok. Eh, setahun setelah itu isengnya kumat lagi. Pas macet Jumat kemarin nduk Basuki Rachmat, ia iseng SMS dengan nomor ngawur lagi. ''Haiii...I love you...,'' tulisnya. Ndak nyana ternyata segera ada reply.

''Me tooooo...''

Wuuuah, Mas Bagong seneng sambil mukul-mukul stir. SMS-an berlanjut. Hingga suatu hari si cewek minta didongengi soal Century, pansus, dan SBY.

''Wah soal itu aku wis ndak mood, Adinda. Yok opo nek Kang Masmu ini cerita tentang wayang, tapi intinya sama dengan soal pansus dan Pak SBY, yaitu tentang orang-orang yang mungkin kemauannya tidak selalu kesampaian...''

Perempuannya pasrah bongkokan. Berikut adalah cuplikan SMS-SMS Mas Bagong yang telah sambung-menyambung menjadi satu. Itulah kisah cinta.

***

Apa namamu Dewi Irawati? Ada perempuan namanya Dewi Irawati. Erawati podo wae. Istri Komjen Polisi Susno Duadji, Herawati, juga sama. Di wayang, Irawati itu wah tergolong perempuan cerdas.

Tanpa main facebook yang bikin gara-gara banyak kasus culik-culikan, ujuk-ujuk putri sulung Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka ini diculik oleh Kartopiyoga. Dia putra mahkota kerajaan Tirtakandasan, pengin kawin culik. Mungkin dia wis bosen ama kawin siri dan kawin lari. Sampai di Tirtakandasan, pas hampir dinikahi, eh Mbak Ira kasih dua opsi syarat, yaitu opsi A dan opsi C.

Opsi A yang didukung Ruhut Sitompul keok. Langsung ke opsi C. Yaitu, Mbak Ira oka-oke saja. Asal dia dimadu sekaligus tiga bersama perempuan lain. Cak Karto kaget. Bukannya dia tidak mau poligami. Toh pemuda ini salah seorang pemimpin partai besar PKT, Partai Keadilan Tirtakandasan. Cuaca partai itu tidak bikin tabu multi-istri.

Cak ''Karto'' yang ndak pakai ''lo'' ini ndak masalah bojo tiga, meski di lagu-lagu campursari paling banter cuma ada judul Bojo Loro alias Ganda Istri. Istri tiga ndak masalah. Tapi berarti Cak Karto akan punya tiga pasang mertua. Itulah masalahnya. Padahal dari pengalaman senior-seniornya, punya sepasang mertua saja sudah pusing. Ini tiga pasang!

''Ndak gitu Caaaak. Mertua Cak Karto tetap sepasang saja, yaitu ebesku dewe Prabu Salya dan ibuku Dewi Setyawati!'' tandas Mbak Ira. Cak Karto bingung. ''Dua perempuan calon maduku itu bukan orang lain. Please Mas Karto nikahi juga adikku, Dewi Surtikanti, dan adiknya lagi, Dewi Banuwati.''

''Wah, tepa' iki,'' Cak Karto menepuk tangannya.

''Goblok!!!'' damprat Prabu Kurandageni, ayah Cak Karto, setelah dapat laporan sudah dua hari Kartopiyoga balik ke Mandaraka menculik dua putri lainnya.

''Di mana-mana orang kalau habis kemalingan, kena teror, pasti penjagaannya ketat. Lihat saja tiga hari sampai seminggu kalau habis ada teror bom, pemeriksaan dan penjagaan superketat. Di Bandara Juanda. Di mal-mal. Kenapa anakku tidak sabar menunggu seminggu lagi, sampai orang-orang Mandaraka itu lupa terorisme, lupa penculikan, sampai penjagaan tidak ketat lagi? Wong perkoro Century saja tiga bulan lagi, hayo taruhan, orang bakal lupa semua.''

***

Kandiwrahatnala, nama lain Arjuna, sudah berada di Keputren Mandaraka. Prabu Salya, sang raja, tahu bahwa putri-putrinya menyukai Arjuna. Maka, setelah Arjuna diundang di Pendapa Agung untuk rapat koordinasi penjagaan siaga I paska penculikan Irawati, Salya langsung menggandeng Arjuna ke keputren. Ketika Banuwati muncul, Salya pelan-pelan meninggalkan Arjuna.

Sepergi Banuwati, Surtikanti, sang kakak, ganti menghampiri Arjuna. Seperti biasa kalau menghadapi perempuan baru, Arjuna malu-malu. Tunduk. Bicaranya lirih. Cenderung datar. Kalimatnya pendek-pendek. Bikin Surtikanti dan setiap perempuan mana pun makin terkiul-kiul, gemes dan ndak omes kepadanya.

''Sudah dapat titik terang siapa ya kira-kira yang murang toto berani-beraninya menculik Mbakyu Irawati?'' tanya Surtikanti semangat.

''Belum.''

''Lho, adikku Banuwati ke mana? Tadi saya lihat dari jauh kalian mepet-mepet di sini kok?" Surtikanti heran.

''Pulang. Katanya menyiapkan makan.''

''Wah, pasti menyiapkan makanan buat kamu ya, Arjuna. Eh, Arjuna, ayo to Dimas mampir di patunggonku...Aku juga kepingin makan, kembul dahar dengan Dimas...''

''Saya agak kesusu. Maaf. Pamit.''

Seketika Dewi Surtikanti marah-marah. ''O, Permadi, kebangeten kamu sudah menampik asih ingsun. Aku doakan semoga kamu nandang kulupan, kelaparan, di tengah jalan nanti-nantinya.''

Lalu Banuwati muncul. ''Ada apa Dimas Arjuna, kok kelihatannya murung, sedih, seperti ada beban berat sekali.''

''Ah, ndak.''

''Ah, jangan pura-pura to Dimas. Wong aku tadi denger sendiri. Kan aku nguping dari balik pohon sawo itu...''

''Sudah tahu kok nanya...''

''Ya ndak papa to. Ah, yo wis, ayo mampir pinarak di patunggonku...sudah aku tatakan daharan, buah, minum ...ngiras pantes ngleremake saliro disik...''

''Nuwun sewu. Saya kesusu. Sudah ditunggu Ponokawan. Kasihan. Mereka itu sudah...''

Belum selesai Arjuna ngomong, tangannya sudah digamit oleh Banuwati ke arah patunggon-nya.

''Ya sudah. Monggo...Kang Mbok Banuwati...''

''Lha kan gitu. Masa' Permadi takut-takut. Di tempatku nggak ada orang kok...sepi...''

***

Subadra alias Bratajaya. Ini perempuan yang lain lagi. Orangnya agak ngalem dan susah tersenyum. Dia juga tidak pernah kenal istilah politik, ekonomi dan lain-lain. Dia sedang menemani kakaknya, Prabu Baladewa, yang sedang bertapa di pinggiran hutan.

Datanglah tiga orang pengamen. ''Saya Petruk, ini Gareng, itu Bagong,'' Petruk memperkenalkan diri. ''Kami ngamen dengan kata-kata. Satu kata kami ucapkan dijamin Ndoro Ayu ketawa minimal tersenyum. Kami ngamen bukan cari duit. Kami cari makanan. Juragan saya sekarang aneh, seperti kena kutukan, tiba-tiba kelaparan luar biasa di tengah hutan.''

Gareng langsung mengawali, ''Century...!'' Subadra langsung cekikikan dan kasih kode emban-embannya mengeluarkan makanan. ''Pansus...!'' kata Petruk kemudian. Wah, Subadra terpingkal-pingkal. Para emban kontan mengeluarkan lagi makanan-makanan lain. Terakhir Bagong. Katanya, ''SB...''

Kata-kata Bagong belum selesai, Subadra sudah terbahak-bahak pol sampai pingsan. Ponokawan panik. Seluruh makanan dari rawon, pecel, rujak cingur, kupang, sate...cepat-cepat diraup, dibungkus jadi satu. Mereka segera terbirit-birit lari ke tengah hutan.

Arjuna tersinggung. Katanya, ''Siapa perempuan sombong berani ngasih makan Arjuna campur aduk seperti makanan anjing begini? Mati dening aku!!'' Arjuna bablas menuju perempuan yang dianggapnya majenun itu sambil menghunus keris.

Begitu bertatap mata dengan perempuan yang sudah didampingi Prabu Baladewa itu, Arjuna malah jatuh cinta. Kelak Subadralah yang jadi istri Arjuna. Cita-cita Irawati, Surtikanti, dan Banuwati untuk jadi istri Arjuna malah tidak tercapai. Irawati menjadi istri Baladewa, setelah raja Mandura ini membantu Arjuna membunuh Cak Karto. Banuwati hanya puas menjadi kekasih gelap Arjuna.

***

''Aih, tak semua keinginan mereka tercapai, ya Mas Budiono,'' begitu bunyi SMS terhadap Mas Bagong. Keduanya janjian ketemu pertama kali di Pendapa Cak Durasim, Jalan Genteng Kali. ''Aku pakai baju merah, Kang Mas. Rambutku diiket,'' kata perempuan yang ngakunya bernama Mulyani itu.

Jadwal pertemuan sudah dekat. Tiba-tiba, dari balik pagar jalanan, setelah melihat Pendapa Cak Durasim, Mas Bagong yang ngaku bernama Budiono itu balik kanan dan malu ati. Cewek baju merah itu, perempuan yang mungkin juga punya beberapa nomor HP itu, ternyata adalah istrinya sendiri. ***


Disadur Selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo

EPISODE 33 Pajak di Mantu Akbar...
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 04 April 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageNdak cuma Pak Ical yang mantu Nia Ramadani gede-gedean. Masih banyak tokoh yang ulem-ulem nikah anaknya sampai makan tempo sekian hari sekian malam. Dilihat buruknya, ya mana ada sih orang nggak ada buruk-buruknya. Bisa diomog itu jor-joran pemborosan di tengah, umpamanya, susahnya korban-korban lumpur Lapindo.

Tapi kalau mau dilihat baiknya ya ada juga. Misale, Pak Ical yang pernah padu dengan Bu Sri Mulyani soal pajak itu, dan tokoh-tokoh yang mantunya gegap gempita lainnya sesungguhnya justru sedang ingin berbagi dengan masyarakat lingkungannya yang haus hiburan gratis.

Pak Leak malah nanggap wayang tujuh hari tujuh malam. Dan ini sudah hari terakhir. Banyak pedagang bakso kaki lima dan makanan lain yang datang ke hajatan itu. Jualan makanan semalam suntuk persis jadwal wayangan. Pulangnya mereka ngantongi duit lumayan dan lebih pede ketemu anak-istri. Begitu juga para pedagang kacang rebus.

Sopir-sopir angkutan kota juga kecipratan rezeki. Banyak orang datang nonton wayang dengan kendaraan umum, dari Dupak, Tanggulangin, Keputran, Ketintang, dan lain-lain. Wah, belum terhitung berkah bagi para penjual mainan anak-anak dari wayang kardus sampai blangkon-blangkonan. Mereka berharap akan makin banyak lagi orang kawinan nanggap wayang.


''Saya bukan mau ikut-ikutan Pak Aburizal Bakrie,'' kata Pak Leak, ''Tapi wayangan tujuh hari tujuh malam ini sebenarnya juga saya adakan dalam rangka ulang tahun ke-39 Pepadi.''

''Maaf, nama lengkap Anda Pak Leak Kustiya,'' sela wartawati.

''Hehe, bukan, kamu ini manis-manis tapi ngaco. Leak Kustiya itu pemimpin redaksi Jawa Pos, yang prejengannya nggak kayak pemimpin redaksi... Saya Leak Tambunan. Pekerjaan saya bisa kamu ketahui nanti di akhir wayang Durangpo ini...''

''Hmmm...Kalau Pepadi?''

''Pepadi itu Persatuan Pedalangan Indonesia. Anggotanya ribuan dalang, dari wayang Sasak, wayang Bali, Sunda, dan lain-lain sampai dalang Jawa. Sekarang Pepadi dipimpin Pak Ekotjipto, mantan salah satu direktur di Bank Indonesia. Dia juga dalang. Sudah, ya. Ayo...ayo...sekarang kita lihat wayang saja, ya?''

***

Aneh bin ajaib ternyata lakon wayang untuk acara kawinan itu bukan lakon-lakon manten-mantenan seperti Irawan Rabi, Parta Krama, Alap-alapan Surtikanti...Lakonnya justru dicuplik dari Baratayuda, yaitu wong tukaran.

''Lho, kita sebagai penonton infotainment kan sudah tahu sama tahu,'' kata besan Pak Leak, ''banyak kawin cerai di kalangan selebritis. Yuni Shara, Kris Dayanti, Anang, Pasha Ungu, dan lain-lain. Jadi di hari terakhir mantenan ini lakon wayangnya mesti Baratayuda. Perlunya untuk peringatan pada mempelai, gini lho ndak enaknya orang berkelahi, eker-ekeran dan lain-lain.''

Pihak keluarga jauh mengusulkan bagaimana kalau lakonnya tetap lakon sir-siran, tapi pas adegan Limbukan malam terakhir wayang ini diisi oleh bintang tamu Julia Perez saja. Mumpung beliaunya lagi ada di sekitar Surabaya.

''Jangan. Jangan ganggu Mbak Jupe. Kasih beliau kesempatan untuk bermeditasi menjadi wakil presiden...'' kata Bu Leak.

''Hush, wakil bupati Pacitan...''

''Iya, kan Pacitan kotanya Pak Presiden. Wakil bupati Pacitan sama saja dengan wakil presiden...''

Akhirnya, menjelang naik pentas, pas gamelan sudah menalukan gending Ayak-ayak Slendro, pas penonton sudah berteriak-teriak dan suit-suit menyambut ki dalang naik, panitia membisiki ki dalang, ''Nuwun sewu, lakonnya diganti saja, Ki, bukan Gatutkaca Krama, tapi Karno Tanding...''

Ki dalang yang sudah membawa Gatutkaca bersitegang dengan penanggap wayang. Tampak dari kejauhan badan mereka bergerak-gerak seperti bule-bule film Hollywood kalau lagi engkel-engkelan.

Bunyi petromak ratusan pedagang kaki lima, bunyi kompor pedagang kacang rebus dan mie godok, melengkapi suara penonton yang makin ramai berteriak-teriak melihat dua orang itu tukaran.

''Sing nanggap wayang ndak usah kebanyakan titip-titip pesan ke Pak Dalang!'' teriak salah seorang penonton.

''Wis biarkan sak karep-karepe dalangnya saja, jangan mentang-mentang punya duit, mentang-mentang bisa nanggap wayang...,'' teriak yang lain.

''Cepetan hoiiiiii.....Bojoku selak nglahirno..!!!''

***

Penonton di halaman terbuka itu hening pas dini hari, tatkala gamelan menginjak musik-musik pathet Manyuro. Langit bersih. Bulan separo bayang. Meteor dan bintang kemukus tampak sekelebat.

Pada mentari terbit esok Adipati Karno dari pihak Kurawa harus bertanding dengan adik kandungnya sendiri dari pihak Pandawa, Arjuna. Diramalkan Arjuna bakal kalah. Senjata pamungkasnya, Pasupati, memang tangguh. Tapi andalan itu tidak bakal mampu menembus kulit Karno yang mempunyai anting dan rompi kaswargan. Anting dan rompi keemasan itu sudah tertindik dan lengket di badan dan kulit Karno begitu ia dilahirkan dari gua garba Dewi Kunti.

Karno sedang mempersiapkan baju zirahnya di sanggar pamujan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis renta dan bangka. Pengemis meminta anting dan rompi yang telah manunggal di tubuh Karno itu.

''Jangan kamu kasihkan, Karno,'' pesan sang ayah, Batara Surya, yang datang sebelumnya. ''Pengemis yang akan datang nanti itu sesungguh­nya jelmaan Batara Indra, ayah angkat Arjuna. Tanpa anting dan rompi yang aku sematkan ke kamu sejak janin, kamu akan kalah melawan si Arjuna...''

Tetapi Surya mak tratap kaget ketika anaknya kukuh tetap berniat akan memberikan apa pun yang dimiliknya, jika masyarakat melarat membutuhkan itu.

Kata Surya lirih, ''Romo, ini sudah jadi sumpah prasetya saya sejak dahulu kala. Bahwa saya akan memberikan apa pun harta saya jika kaum fakir membutuhkannya. Ini adalah bentuk lain dari kesadaran saya terhadap pajak. Dalam wayang memang tidak dikenal pajak. Tapi inti pajak sudah ada sejak dahulu kala. Bahwa di dalam setiap harta kita terkandung hak fakir miskin...''

Penonton keplok-keplok. Ribuan penonton yang sebagian besar adalah orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan itu berteriak-teriak, ''Cocooooooook....!!!'' Itu suara yang di bawah garis kemiskinan. Yang berada pas di garis kemiskinan juga koar-koar, ''Duit ojok diemplok dewe, Rek.''

Karno melanjutkan, ''Dengan rompi dan anting kaswargan ini, saya pasti menang melawan Dinda Arjuna, tapi jagad dan semesta akan bersorak-sorak menertawakan saya. Saya akan dipandang sebagai laki-laki yang mengkhianati sumpahnya sendiri untuk membantu orang miskin melalui pajak...''

Penonton kembali bersorak-sorai.

''Lho, Karno anakku, tapi sosok yang akan menghadapmu nanti bukanlah petugas pajak sejati. Anting dan rompimu yang akan dilelang itu nanti duitnya tidak akan sampai ke orang miskin...''

''Itu bukan dosa saya, Romo. Biarkan dosa dan karma itu ditanggung sendiri oleh orang-orang pajak...''

Oooo, kukusing dupo kumelun, kelun-kelun wor mego kang membo batoro...

Penonton hening ketika Surya sesenggukan merangkul anaknya dan pamit. Ribuan kaum papa yang menyaksikan wayang Pak Leak mantu itu kemudian tertunduk, bahkan tak sedikit yang menangis, menyaksikan Adipati Karno mengelupas rompi dan mencopot antingnya buat pengemis meski Karno tahu pengemis itu adalah jelmaan Batara Indra. Salah seorang pesinden bahkan pingsan ketika mengetahui Adipati Karno sampai berdarah-darah, ketika mencopot anting dan melepas rompi kaswargan yang sudah menyatu dengan badan Karno sejak lahir ke dunia.

Dalam ketundukan penonton yang syahdu di antara pohon-pohon ketapang basah sisa gerimis itu, sebagian mereka juga ada yang terharu. Diam-diam mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Leak. Karena Pak Leaklah mereka bisa disuguhi tontonan gratis yang menghibur, mengharukan sekaligus mencerahkan hayatnya.

Sayangnya, pada saat itu, pada saat ki dalang dan rebab menembangkan suluk sedih tlutur, tak satu pun penonton tahu bahwa Pak Ical, eh, Pak Leak, sudah diciduk polisi. Sebagai birokrat pajak, Pak Leak Tambunan dituduh terlibat mafia perpajakan. (*)



''Saya bukan mau ikut-ikutan Pak Aburizal Bakrie,'' kata Pak Leak, ''Tapi wayangan tujuh hari tujuh malam ini sebenarnya juga saya adakan dalam rangka ulang tahun ke-39 Pepadi.''

''Maaf, nama lengkap Anda Pak Leak Kustiya,'' sela wartawati.

''Hehe, bukan, kamu ini manis-manis tapi ngaco. Leak Kustiya itu pemimpin redaksi Jawa Pos, yang prejengannya nggak kayak pemimpin redaksi... Saya Leak Tambunan. Pekerjaan saya bisa kamu ketahui nanti di akhir wayang Durangpo ini...''

''Hmmm...Kalau Pepadi?''

''Pepadi itu Persatuan Pedalangan Indonesia. Anggotanya ribuan dalang, dari wayang Sasak, wayang Bali, Sunda, dan lain-lain sampai dalang Jawa. Sekarang Pepadi dipimpin Pak Ekotjipto, mantan salah satu direktur di Bank Indonesia. Dia juga dalang. Sudah, ya. Ayo...ayo...sekarang kita lihat wayang saja, ya?''

***

Aneh bin ajaib ternyata lakon wayang untuk acara kawinan itu bukan lakon-lakon manten-mantenan seperti Irawan Rabi, Parta Krama, Alap-alapan Surtikanti...Lakonnya justru dicuplik dari Baratayuda, yaitu wong tukaran.

''Lho, kita sebagai penonton infotainment kan sudah tahu sama tahu,'' kata besan Pak Leak, ''banyak kawin cerai di kalangan selebritis. Yuni Shara, Kris Dayanti, Anang, Pasha Ungu, dan lain-lain. Jadi di hari terakhir mantenan ini lakon wayangnya mesti Baratayuda. Perlunya untuk peringatan pada mempelai, gini lho ndak enaknya orang berkelahi, eker-ekeran dan lain-lain.''

Pihak keluarga jauh mengusulkan bagaimana kalau lakonnya tetap lakon sir-siran, tapi pas adegan Limbukan malam terakhir wayang ini diisi oleh bintang tamu Julia Perez saja. Mumpung beliaunya lagi ada di sekitar Surabaya.

''Jangan. Jangan ganggu Mbak Jupe. Kasih beliau kesempatan untuk bermeditasi menjadi wakil presiden...'' kata Bu Leak.

''Hush, wakil bupati Pacitan...''

''Iya, kan Pacitan kotanya Pak Presiden. Wakil bupati Pacitan sama saja dengan wakil presiden...''

Akhirnya, menjelang naik pentas, pas gamelan sudah menalukan gending Ayak-ayak Slendro, pas penonton sudah berteriak-teriak dan suit-suit menyambut ki dalang naik, panitia membisiki ki dalang, ''Nuwun sewu, lakonnya diganti saja, Ki, bukan Gatutkaca Krama, tapi Karno Tanding...''

Ki dalang yang sudah membawa Gatutkaca bersitegang dengan penanggap wayang. Tampak dari kejauhan badan mereka bergerak-gerak seperti bule-bule film Hollywood kalau lagi engkel-engkelan.

Bunyi petromak ratusan pedagang kaki lima, bunyi kompor pedagang kacang rebus dan mie godok, melengkapi suara penonton yang makin ramai berteriak-teriak melihat dua orang itu tukaran.

''Sing nanggap wayang ndak usah kebanyakan titip-titip pesan ke Pak Dalang!'' teriak salah seorang penonton.

''Wis biarkan sak karep-karepe dalangnya saja, jangan mentang-mentang punya duit, mentang-mentang bisa nanggap wayang...,'' teriak yang lain.

''Cepetan hoiiiiii.....Bojoku selak nglahirno..!!!''

***

Penonton di halaman terbuka itu hening pas dini hari, tatkala gamelan menginjak musik-musik pathet Manyuro. Langit bersih. Bulan separo bayang. Meteor dan bintang kemukus tampak sekelebat.

Pada mentari terbit esok Adipati Karno dari pihak Kurawa harus bertanding dengan adik kandungnya sendiri dari pihak Pandawa, Arjuna. Diramalkan Arjuna bakal kalah. Senjata pamungkasnya, Pasupati, memang tangguh. Tapi andalan itu tidak bakal mampu menembus kulit Karno yang mempunyai anting dan rompi kaswargan. Anting dan rompi keemasan itu sudah tertindik dan lengket di badan dan kulit Karno begitu ia dilahirkan dari gua garba Dewi Kunti.

Karno sedang mempersiapkan baju zirahnya di sanggar pamujan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis renta dan bangka. Pengemis meminta anting dan rompi yang telah manunggal di tubuh Karno itu.

''Jangan kamu kasihkan, Karno,'' pesan sang ayah, Batara Surya, yang datang sebelumnya. ''Pengemis yang akan datang nanti itu sesungguh­nya jelmaan Batara Indra, ayah angkat Arjuna. Tanpa anting dan rompi yang aku sematkan ke kamu sejak janin, kamu akan kalah melawan si Arjuna...''

Tetapi Surya mak tratap kaget ketika anaknya kukuh tetap berniat akan memberikan apa pun yang dimiliknya, jika masyarakat melarat membutuhkan itu.

Kata Surya lirih, ''Romo, ini sudah jadi sumpah prasetya saya sejak dahulu kala. Bahwa saya akan memberikan apa pun harta saya jika kaum fakir membutuhkannya. Ini adalah bentuk lain dari kesadaran saya terhadap pajak. Dalam wayang memang tidak dikenal pajak. Tapi inti pajak sudah ada sejak dahulu kala. Bahwa di dalam setiap harta kita terkandung hak fakir miskin...''

Penonton keplok-keplok. Ribuan penonton yang sebagian besar adalah orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan itu berteriak-teriak, ''Cocooooooook....!!!'' Itu suara yang di bawah garis kemiskinan. Yang berada pas di garis kemiskinan juga koar-koar, ''Duit ojok diemplok dewe, Rek.''

Karno melanjutkan, ''Dengan rompi dan anting kaswargan ini, saya pasti menang melawan Dinda Arjuna, tapi jagad dan semesta akan bersorak-sorak menertawakan saya. Saya akan dipandang sebagai laki-laki yang mengkhianati sumpahnya sendiri untuk membantu orang miskin melalui pajak...''

Penonton kembali bersorak-sorai.

''Lho, Karno anakku, tapi sosok yang akan menghadapmu nanti bukanlah petugas pajak sejati. Anting dan rompimu yang akan dilelang itu nanti duitnya tidak akan sampai ke orang miskin...''

''Itu bukan dosa saya, Romo. Biarkan dosa dan karma itu ditanggung sendiri oleh orang-orang pajak...''

Oooo, kukusing dupo kumelun, kelun-kelun wor mego kang membo batoro...

Penonton hening ketika Surya sesenggukan merangkul anaknya dan pamit. Ribuan kaum papa yang menyaksikan wayang Pak Leak mantu itu kemudian tertunduk, bahkan tak sedikit yang menangis, menyaksikan Adipati Karno mengelupas rompi dan mencopot antingnya buat pengemis meski Karno tahu pengemis itu adalah jelmaan Batara Indra. Salah seorang pesinden bahkan pingsan ketika mengetahui Adipati Karno sampai berdarah-darah, ketika mencopot anting dan melepas rompi kaswargan yang sudah menyatu dengan badan Karno sejak lahir ke dunia.

Dalam ketundukan penonton yang syahdu di antara pohon-pohon ketapang basah sisa gerimis itu, sebagian mereka juga ada yang terharu. Diam-diam mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Leak. Karena Pak Leaklah mereka bisa disuguhi tontonan gratis yang menghibur, mengharukan sekaligus mencerahkan hayatnya.

Sayangnya, pada saat itu, pada saat ki dalang dan rebab menembangkan suluk sedih tlutur, tak satu pun penonton tahu bahwa Pak Ical, eh, Pak Leak, sudah diciduk polisi. Sebagai birokrat pajak, Pak Leak Tambunan dituduh terlibat mafia perpajakan. (*)


EPISODE 34 Ki Markus Sabdo Guru Wayangku
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 11 April 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageHARI ini orang tersabar sak Indonesia itu Pak Markus. Bapak-ibunya susah-susah kasih nama Markus. Upacara penamaannya pakai selamatan segala. Pakai segala uba-rampe dari semur sampai tahu gunting. Terbukti bayi Markus menjadi orang yang berbudi di kemudian hari. Baik pula sama tetangga. Eh, tahu-tahu ''Markus'' dipelesetkan jadi ''makelar kasus''. Tapi Pak Markus tetap tenang-tenang saja. Ndak cuma dimlencengno oleh orang-orang se-RT/RW-nya. Tapi sak Nusantara! Dan Pak Markus masih juga tetap kalem-kalem saja.

Coba kalo ''makelar kasus'' itu disamakan dengan ''Calo Kasus Masalah Neko-neko'', disingkat Cak Man. Wah, pasti proteslah para pelanggan bakso Cak Man di Malang dan wilayah, cabang, sampai ranting-rantingnya termasuk di Jakarta. Cak Man-nya sendiri ndak nyaman pasti. Capek-capek babak-belur mbangun partai bakso, nggletek ae tiba-tiba namanya dicemarkan. Bisa jadi dia akan lapor polisi seperti pada zaman dahulu para pejabat tinggi lapor berombongan karena asmanya dicemarkan sebagai penerima aliran dana Century (masih eling nggak? Eh, minggat ke mana ya kasus ini?).

Pak Markus ndak gitu. Namanya turun derajat jadi ''makelar kasus'' tetap saja beliau mengajarkan wayang pada anak-anak di lingkungannya.

Coba kalau ''makelar kasus'' itu disamakan dengan ''JUru PErkara'' alias Jupe? Pasti akan ada bakal calon bupati yang merengut dan mlerok. Jupe singkatan dari Julia Perez saja banyak ditentang untuk memimpin gua-gua di Pacitan. Apalagi Jupe yang singkatan dari Julia Perez sekaligus Juru Perkara.

Pak Markus ndak gitu. Pamor namanya anjlok menjadi ''makelar kasus''. Hmmm....masih saja beliau penuh pengabdian mengajarkan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana kepada anak-anak masa kini yang kurang nyobat lagi pada epos-epos leluhur itu.

Coba kalau ''makelar kasus'' itu disamakan dengan "PAKar KhUsus Masalah adminIStrasi'' yang disingkat jadi Pak Kumis, hayo? Pasti banyak bakul-bakul kaki lima makanan yang ngamuk, termasuk Pak Antasari Azhar (masih eling juga nggak? Eh, minggat ke mana ya berita-berita Pak Antasari?) dan Andi Mallarangeng. Apalagi Pak Kumis yang satu ini sedang giat-giatnya membangun citra untuk memimpin partai berlogo mirip Mercedes-Benz itu.

Pak Markus ndak gitu. Citranya hancur ketika ujuk-ujuk dijajarkan dengan ''makelar kasus'', tapi beliau tetap mengajarkan wayang pada anak-anak kecil termasuk mengajar mereka menabuh gamelan bahkan tak jarang menggeladi mereka dengan gratis.

Coba kalau ''makelar kasus'' itu disamakan dengan ''BROker Di Indonesia'' disingkat Brodin? Beeeeh...pasti orang-orang Madura ndak terima, Dik. Sak-ndableg-ndableg-nya Brodin, dia itu masih anaknya Pak Sakerah. Bisa-bisa si Clurit Emas, penyair Sumenep Zawawi Imron, akan memimpin demo besar-besaran Reng Medure.

Pak Markus ndak gitu.

***

Malam itu di depan siswa-siswi ciliknya Pak Markus kedatangan murid pedalangannya dulu semasih kanak-kanak. Sekarang orangnya sudah ndak ingusan lagi. Pekerjaannya tidak jelas. Tapi kabarnya pemuda ini sering berkeliaran di pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. ''Tapi saya bukan Markus lho, Pak Guru,'' kata pemuda itu, ''Saya sudah puas menjadi murid Markus kok...''

''Maksudmu murid Markus-Markus itu...???''

''Ya ndak to...Maksud saya Markus ya Bapak...''

Pak Markus mesem, mengembuskan napas lega. Ia rangkul bekas murid kanak-kanaknya itu. Katanya, ''Hayo...Susilo...''

''Nama saya Bambang, Pak Markus...''

''O iya, aku ini sudah pelupa. Bambang kok Susilo. Hayo... Bambang, mumpung kamu datang, tunjukkan pada yunior-yuniormu sekarang kebolehanmu mendalang...''

Bambang yang dipanggil Susilo itu langsung bersila di depan gedebog pisang dan layar atau kelir latih, di bawah lampu blencong. Dia mengambil wayang ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Ketiganya sedang membicarakan Pak Antasari (masih eling?). Inilah tokoh yang dulu diciduk dan dijadikan tersangka sesaat ketika dia (waktu itu masih menjadi ketua KPK) ingin menyelidiki kasus pengadaan IT dan carut-marut penyelenggaraan pemilu presiden. Di persidangan hampir seluruh saksi menyangkal dakwaan terhadap Antasari.

Gareng jengkel. Kenapa hubungan antara dakwaan terhadap Antasari dan keinginan Pak Kumis itu untuk menguak dugaan korupsi pengadaan IT pemilu presiden sepertinya tidak dicurigai.

Ponokawan masih nancap di gedebog, belum dikeluarkan, Bambang sudah menancapkan wayang lain di depannya, yaitu Rahwana alias Dasamuka. Bambang bernarasi, ''Kocap kacarita, inilah Rahwana alias Dasamuka setelah kematian Indrajit, anaknya, dan Kumbakarna, adiknya...''

Rahwana yang menutupi Bagong itu belum dicabut dari gedebog, Bambang menancapkan wayang Duryudana menumpuk dan menutupi Petruk. Bambang kembali bernarasi, ''Kocap kacarita, inilah Duryudana, pemimpin Kurawa, paska kematian orang-orang yang setia kepadanya, Patih Sengkuni dan Adipati Karno...''

''Suasana hati Rahwana dan Duryudana itulah mungkin suasana batin Pak Susno Duadji. Yaitu, situasi kejiwaan orang yang menjadi nekad lantaran tiba-tiba mengetahui bahwa dia dikhianati oleh seluruh sahabat setianya. Rahwana dan Duryudana tahu akibat dari perbuatannya sendiri. Suatu hari mereka akan dihukum atas kesalahan-kesalahan yang dulu pernah dilakukan. Tapi keduanya berpikir, mending habis ini dihukum oleh alam tapi sebelumnya sudah sempat berbuat baik untuk sesama...,'' Bambang bertutur.

Wayang Rahwana dan Duryudana yang masing-masing menutup wayang Bagong dan Petruk belum dicabut, Bambang segera menancapkan wayang-wayang perempuan yang menutup wayang Gareng. Narasi Bambang, ''Itulah wajah-wajah kaum hawa yang menolak pencalonan Jupe sebagai pejabat publik...''

Belum selesai bercerita, seluruh wayang sebelumnya masih tancap di gedebog pisang, Bambang sudah mengeluarkan Aswatama dan Kartamarma yang jadi ujung tombak pembakaran perkemahan Pandawa dalam lakon Bale Sigala-gala. Lakon ini menggambarkan penangkapan teroris. Layar dan panggung jadi penuh dan bertumpuk-tumpuk dengan wayang. Belum lagi setelah itu Bambang mengeluarkan rombongan Kurawa lainnya, yakni Dursasana, Durmagati, Citraksa dan Citraksi. Gerombolan ini sedikit di antara lambang kaum Markus di Negeri Astina.

Tumpang tindih. Tak ada fokus. Bocah-bocah yang menonton seniornya mendalang itu bengong.

***

Yang bikin Pak Markus heran bukan lantaran bocah-bocah itu bengong. Wajar, wong tema yang dibawakan Bambang memang bukanlah tema kanak-kanak. Yang bikin Pak Markus heran, anak-anak itu kok nggak protes menonton adegan wayang yang bertumpuk-tumpuk jadi satu. Padahal berkali-kali Pak Markus menekankan, ndalang itu kalau bercerita harus runtut, tahap demi tahap. Tiap adegan harus tuntas baru berganti babak lain. Jangan numpuk-numpuk sampai kita sekarang lupa sama kasus Century (halo, apa kabar?).

Belakangan Pak Markus yang sudah mulai pelupa baru tahu bahwa bocah-bocah itu bukanlah murid yang sebenarnya, yang biasa datang tiap Jumat petang. Ternyata mereka menyamar sebagai murid alias murid palsu. Susilo ternyata juga bukan Bambang, murid Pak Markus dahulu. Ternyata dia Bambang palsu. Nama sebenarnya Budiono. Lelaki berkacamata ini dulu pernah jadi ilustrator wayang di sebuah koran.

Aduh! Sudah sedih karena seluruh kepalsuan itu, Pak Markus juga ditimpa sedih gara-gara wartawan televisi yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang. Kesabaran ada batasnya. Karena desakan ekonomi makin menggila, Pak Markus sudah hilang kesabaran dan bersedia jadi ''Markus'' palsu untuk wawancara televisi. Honornya lumayan. Tapi reporternya kok nggak njedul-njedul yo. Setelah Pak Markus cek, jebul wartawan itu wartawan palsu juga.

Saya pun nggak merasa menulis Wayang Durangpo Minggu ini. Kalau Sampeyan merasa telah membacanya, kemungkinan itu tulisan palsu. Tapi mudah-mudahan honornya tetap duit asli ya, Mbak Oemi...?


EPISODE 35 Jajak Pendapat Para Dewa
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 18 April 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageSEKJEN para dewa, Batara Narada, kaget melihat asap rokok mengepul-ngepul dari bumi sundul kahyangan. ''Ini pasti banyak orang NU klepas-klepus. Mereka pasti kumpul-kumpul atau rapat menyambut 100 hari wafatnya Gus Dur,'' pikir dewa yang murah senyum itu.

Perasaan Batara Guru membenarkan dugaan Narada. Dewa yang merajai Kahyangan Junggring Saloka itu membatin, ''Tidak mungkin asap rokok ini berasal dari pertemuan orang-orang Muhammadiyah. Mereka kan cenderung mengharamkan ngudut.''

Dewa Bayu yang menguasai angin berfirasat lain. Ayah angkat Bima dan Hanuman ini punya feeling, pasti ini gara-gara lakon Hanuman Obong berulang di muka bumi.

Itulah lakon ketika Hanuman menyusup ke Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Hulubalang Alengka kemudian membakar Hanuman. Ngamuklah putra Dewi Anjani ini. Dengan api yang berkobar di sekujur tubuhnya ia melompat-lompat di atap-atap rumah penduduk hingga nyaris seluruh rumah di Alengka dilanda raja merah. Dahana menjalar, merata di seluruh negeri. Asapnya membubung sampai kahyangan.

Ah, tapi, ternyata, itu bukan himpunan asap tembakau. Para dewa juga bisa keliru. Dewa juga manusia. Itu asap yang bergelora dari pembakaran ban dan pembakaran mobil-mobil juru gusur. Barang-barang itu dibakar di kawasan makam Mbah Priuk sampai merantak rata ke seantero negeri.

Narada antara percaya dan tidak. Ia masih mendongak seperti kebiasaannya dan selalu ngomong sambil cekakakan. Katanya kepada Batara Guru, ''Wahai Batara Pengalaman...''

''Kok dingaren kamu, Kakang Narada, manggil saya Batara Pengalaman...''

''Karena pengalaman adalah guru yang terbaik...Maka boleh dong Batara Guru saya panggil Batara Pengalaman...''

''Ya sudah, terserah situ...''

''Wahai Batara Pengalaman, atas dasar pengalaman Adinda, segera kasih perintah kepada kami jajaran dewa, tindakan apa yang sebaiknya kami ambil dalam keadaan gawat darurat seperti saat ini...?''

Batara Pengalaman di atas singgasana berupa punggung Lembu Andini segera memerintahkan stafnya agar meralat ucapan menteri pendidikan suatu negeri bahwa sekolah bertaraf internasional yang mahal-mahal sangatlah wajar adanya.

Kata Sang Menteri, ''Kalau sudah tahu biaya di sekolah tersebut mahal, ya cari alternatif sekolah yang murah. Semua ada kastanya. Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif...''

''Hahaha...'' Batara Narada cekakakan, ''Bukan perkara pendidikan itu keadaan gawat darurat yang kami maksud, wahai Batara Pengalaman. Tapi api yang berasal dari kawasan pesarean Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad RA alias Mbah Priuk.''

Batara Pengalaman tersentak. Menurutnya perkara pendidikan juga tak kalah penting dan mendesak. Pendidikan itu bagian paling penting dari kebudayaan. Ingat kata almarhum Kadaruslan alias Cak Kadar, kita bukan saja perlu sembako, yaitu sembilan bahan kebutuhan pokok. Kita perlu sepuluh. Di dalamnya, kata Cak Kadar, adalah kebutuhan akan kebudayaan.

Kompromi tercapai. Batara Pengalaman alias Manikmaya atau Jagad Girinata memerintahkan jajaran dewata meralat ucapan seorang menteri, sekaligus memerintahkan segera bikin rapat tentang perlu atau tidaknya membubarkan organisasi juru gusur.

Demikian hasil sidang di Kahyangan Junggring Saloka alias Jong Giri Kelasa atau Ondar-andir Bawono.

***

Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan para dewa untuk membantu pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya persatuan juru gusur dibubarkan, Petruk abstain.

Menurut Petruk, dunia ini, di samping panggung sandiwara seperti kata Ahmad Albar, juga panggung yang isinya tergantung pada kita sendiri. Ndak cuma soal penggusuran. Nek Sampeyan bacaannya koran politik dan hukum, ya dunia ini isinya orang full berantem seperti kasus Priuk. Begitu juga kalau tontonan Sampeyan itu televisi-televisi non-infotainment... pasti isinya soal penggusuran, kerusuhan, dan lain-lain.

''Jadi, saya tidak akan mengisi formulir jajak pendapat ini ya Mas Dewa,'' kata Petruk, ''Wong formulir SPT pajak juga belum saya isi gara-gara kasus Gayus...''

''Boikot pajak?'' tanya petugas jajak pendapat dari kalangan dewa.

''Hmmm... belum tahu ya, Mas Dewa. Tapi kalau Mas Dewa tanya tentang hal-hal lain di luar Sjahril Djohan, penggusuran, dan lain-lain, saya akan jawab. Soalnya bacaan dan tontonan saya bukan koran atau teve yang jenis-jenis gitu. Kalau Mas Dewa tanya, apa pernyataan penyanyi dangdut Maria Eva yang kabarnya bakal memimpin Kabupaten Lumpur Lapindo, saya akan jawab di luar kepala...Maria Eva kan bilang, dia bisa seperti itu berkat perjuangan Kartini...''

''Eh, salah, Mas Petruk, itu pernyataan Julia Perez...''

''Lho, kok Sampeyan lebih ngerti...?''

''Wadoh, Mas Petruk ini bagaimana, pekerjaan saya memang bidang politik, hukum, dan perkara-perkara yang berat-berat begini. Ya, bagaimana lagi, anak-istri saya harus makan. Tapi bahwa sesungguhnya hati saya itu ada di infotainment dan sinetron. Raja saya, Batara Guru, kelihatannya saja ngomongnya politik, hukum, tapi tontonannya itu ya soal Anang-Krisdayanti, soal Mark Sungkar...dan judul-judul sinetron, beliau itu hafal, lho. Kalau pas lagi tayangan sinetron Batara Guru memimpin sidang, biasanya beliau SMS saya minta rekamannya...''

Berbeda dengan Petruk, Bagong langsung setuju pembubaran gerombolan juru gusur.

***

Bukan Gareng kalau langsung main labrak seperti Bagong. Bukan Gareng pula kalau cuek-cuekan seperti Petruk. Gareng berpikir, juru gusur tidak salah kalau berkelahi. Juru gusur yang helm-nya sekilas kayak tentara Romawi itu memang dididik untuk berkelahi. Lihat saja mereka pakai pentungan, gas air mata, mobilnya kayak kendaraan perang, pakai tameng kayak serdadu-serdadu Sparta.

Badan mereka juga tegap-tegap. Kalau di Srimulat itu ya mirip Tarsan dan Paul. Tidak ada juru gusur yang badannya kayak Mas Bambang Gentolet atau Gogon. Apalagi kayak Amink. Jadi, juru gusur itu memang dipersiapkan untuk gelut.

Mestinya, kata Gareng, orang-orang kerempeng juga boleh jadi juru gusur. Mereka dididik untuk bisa berembuk. ''Senjata''-nya ya tikar, makanan, asbak, rokok, dan lain-lain. Dengan alat-alat itu mereka duduk bersila, musyawarah dengan warga...kan nggak semua warga Muhammadiyah, banyak juga warga NU. Mereka masih banyak yang jadi ''ahli hisab'' alias perokok.

Tukang jajak pendapat menyela, ''Jadi, kementerian pendidikan harus dibubarkan karena tidak bisa mendidik juru gusur?''

''Ya, nalarnya, ya, yang bertanggung jawab. Di atasnya lagi.''

''Yang harus dibubarkan Lembaga Kepresidenan, Mas Gareng?''

''Di atasnya lagi, kahyangan...''

''Batara Guru?''

Pendapat Gareng ini langsung sampai ke kahyangan Ondar-andir Bawono. Batara Guru diantar Lembu Andini langsung bablas turun ke dunia, tepatnya di Padepokan Klampis Ireng tempat Gareng bercokol.

Kata Batara Guru, ''Reng, Gareng, kamu ngomong jangan asal njeplak ya...Cangkemmu ta' tapu'i tenan lho..!!!''

Setelah hanya satu kalimat itu Batara Guru kembali mengangkasa lagi. Lembu Andini dalam hati misuh-misuh. ''Jauh-jauh dari kahyangan menukik dan kini mengangkasa lagi, capek, hanya untuk omong gitu saja? Alamak!!! Lagian Gareng saja lho kok diladeni....Ta' pikir tadi akan ketemu raja sekelas Puntadewa atau Sri Kresna...Hmmm...''

''Sudah nggak usah ngomel,'' ternyata Batara Guru mampu mendengar bisikan hati Lembu Andini, ''Cepetan. Nanti keburu ketinggalan sinetron Cinta Fitri...'' (*)


EPISODE 36 Kado Yamadipati ke Retno Sawitri
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 26 April 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image
Sak jelek-jeleknya Batara Narada yang perawakannya gemuk, pendek, dan mekete, masih ada lucu-lucunya. Sekjen Dewata ini orangnya juga kelihatan nggak punya beban apa-apa. Omongannya biasane pakai awalan ngawur: blegenjong-blegenjong pak pak pong pak pak pong... Mahkamah Konstitusi aja mungkin ndak tahu apa itu artinya dan apakah itu masih konstitusional.

Ndak gitu dengan Batara Yamadipati. Sak jelek-jeleknya Batara Petrajaya alias Yamakingkarapati ini, babar blas sudah ndak ada jenaka-jenakanya. Dewa Pencabut Nyawa yang Mabesnya di Neraka Yomani itu sudah wajahnya mirip raksasa, masih ditekuk mendelep pula ke pangkal leher. Mulutnya selalu mengengeh. Seolah ia tertawa tapi tak ada satu pun manusia yang sanggup menyimpulkan bahwa itu tertawa.
Dan kening Yamadipati selalu mengkerut. Kedua alisnya seolah-olah tak bisa dipisah-pisahkan seperti NKRI. Hidupnya tidak seperti Narada alias Kanekaputra yang cengengesan di mana-mana. Beban hidup Yamadipati tampak berat. Mungkin karena pekerjaannya mencabut nyawa. Padahal dia sendiri tidak tahu siapa yang kelak harus mencabut nyawanya sendiri. Tidak ada Komisi Pencabut Nyawa di atas Yamadipati yang berwenang mencabut nyawa Yamadipati.

Hakim-hakim masih enak. Di atas mereka masih ada Komisi Yudisial. Pak Busyro Muqoddas yang memimpin Komisi Yudisial itu kan kerjanya menilai hakim. Hakim yang nggak becus menghakimi Gayus, akan gantian dihakimi oleh Komisi Yudisial. Hakim yang memenangkan pra-peradilan Anggodo, sehingga Bibit-Chandra dari KPK kembali jadi calon pesakitan, bisa dihakimi oleh Komisi Yudisial.

Lha kalau Yamadipati nggak jegos mencabut nyawa masyarakat, siapa yang mencabut nyawa Yamadipati?

Ndak onok! Asli!

Banyak orang menyangka Yamadipati tak mati-mati saking asyik dan sibuknya mencabut nyawa manusia sampai-sampai ia lupa mencabut nyawanya sendiri. Ndak gitu. Tapi ini karena di atas Yamadipati tak ada lembaga atau komisi independen yang berwenang memeriksa kalau perlu mengadilinya dengan cara mencabut nyawanya.

''Kasus Century yang kabarnya dikawal oleh satgas bikinan DPR saja tetap nggak jelas kapan selesainya dan apakah benar-benar akan dirampungno, kan? Apalagi Yamadipati yang nggak diawasi oleh siapa-siapa...tambah nggak jelas kapan selesainya, kapan matinya,'' kata Gareng. Ah, tapi nggak usah didengarlah. Bisa saja Gareng cemburu. Yamadipati itu kan saudaranya sendiri tunggal bapak, Semar.

***

Ringkas kata, menurut Bagong dan Petruk, Yamadipati tuh merdeka. Jauuuuh... lebih merdeka dibanding orang Indonesia. Orang-orang Nusantara kan, ''atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur'', menurut pembukaan undang-undang dasar kan baru diantar ''hingga ke depan pintu gerbang kemerdekaan''. Jadi, cuma anguk-anguk nduk depannya pintu gerbang kemerdekaan, belum benar-benar diantar sampai mak plung masuk ke dalam alam kemerdekaan.

Yamadipati merdeka. Lha wong rumah Yamadipati alias Petrajaya ini saja dibangun khusus oleh Wismakarma, dewa arsitek. Berbeda dibanding rumah-rumah dewa yang lain, rumah Petrajaya alias Yamakingkarapati ini tempatnya tidak menentu. Rumah itu bisa berpindah-pindah sendiri sesuai keinginan pemiliknya.

Merdekalah pokoknya anak Semar dari Dewi Kanastren ini!

Kapan nyawa seseorang akan dicabut, suka-suka Yamadipati. Dengan cara apa nyawa seseorang itu akan dicabut, juga suka-suka Yamadipati. Pokoknya bebas, sak karep-karepnya Yamadipati sendiri. Persis dunia perpajakan. Apalagi pajak dan kematian kan sama. Dalam hidup ini yang pasti kan cuma dua: kematian dan pajak.

Ya, orang-orang pajak rumahnya memang nggak bisa berpindah-pindah sendiri sesuai keinginan pemiliknya. Tapi rumah mereka kan juga ada di mana-mana. Mereka juga bekerja suka-suka. Yang menilai pajak kita adalah orang-orang pajak. Yang mengumpulkan uangnya adalah orang-orang pajak juga. Yang mengadili perselisihan pajak adalah orang-orang pajak juga. Mestinya ketiga fungsi itu kan dipisah-pisah lembaganya sehingga ketiganya bisa saling mengawasi, saling plerak-plerok.

Mungkin orang-orang pajak senang punya banyak kekuasaan di satu tangan. Mungkin lembaga perwakilan rakyat juga belum kepikir untuk memperbaiki undang-undang sehingga peradilan pajak kelak lebih otonom. Tapi Yamadipati tidak senang bekerja tanpa pengawas yang otonom. Sebab Yamadipati adalah dewa yang jujur. Bagi orang jujur, sangatlah jadi beban bekerja tanpa pengawas. Setiap saat hanya dia sendiri yang menilai diri sendiri apakah pekerjaannya sendiri itu benar atau salah.

Ya, bayangkan saja kayak apa Yamadipati itu. Sudah jelek, ndak ada lucu-lucunya, beban hidupnya berat pula. Pasti belum pernah ada perempuan yang mengintili-nya sepanjang hayat. Tak heran malam itu hati Yamadipati seperti kajugrugan gunung kembang karena dikintil oleh perempuan jelita bernama Retno Dewi Sawitri.

***

Retno Sawitri sang juwita adalah perempuan yang dari tubuhnya selalu terkuak campuran wangi melati dan sedap malam. Perempuan lencir kuning ini adalah putri Prabu Aswapati dari Kerajaan Mandaraka, leluhur Prabu Salya. Prabu Salya adalah mertua Baladewa, Adipati Karna dan Duryudana.

Tak selazim kaum perempuan lain dalam zamannya, pada suatu ketika Sawitri malah dipersilakan secara merdeka memilih calon suaminya sendiri. Pilihan Sawitri ternyata Bambang Setiawan dari pertapaan Argakenanga padahal Sawitri tahu lelaki ini ajalnya tak lama lagi tiba.

Saking trenyuh dan kagumnya Yamadipati pada cinta Sawitri terhadap sang suami, di saat ajal yang telah ditentukan Yamadipati tak jadi mencabut nyawa Setiawan. Sebelum balik kanan di bawah pohon sukun, Yamadipati malah mempersilakan Sawitri mengajukan permohonan yang pasti akan dikabulkan Dewa Maut itu, asal jangan meminta pembatalan pencabutan nyawa sang suami.

''Hamba tidak memohon pembatalan. Hamba cuma memohon penundaan barang sejam dua jam. Izinkan kami suami-istri ini berkumpul berolah asmara, andon katresnan, melakoni ulah kridaning priyo-wanodya. Maaf, hamba ingin punya anak sepuluh dalam sekali bercinta.''

Angin meniup daun-daun mahoni, akasia, dan bunga tanjung yang tumbuh di pekarangan rumah Sawitri. Sesuai janjinya, Yamakingkarapati mengabulkan permintaan Sawitri yang diajukan sambil bersimpuh dan menangis. Setelah semuanya berlangsung, Dewa Maut Petrajaya mencabut nyawa Setiawan diiringi lagu lama Kematian Rhoma Irama ''...suatu saat pasti kan dataaaaang... sang malaikat pencabut nyawaaa.. kan mencabut rohmu dari badaaan....''

***

Kini Yamadipati sudah berjalan cukup jauh sejak pergi dari rumah Sawitri. Lebih jauh dibanding jarak antara kediaman para mafia pajak di Jakarta dan rumah-rumah mafia pajak di Surabaya. Lalu Dewa maut itu berhenti. Ngaso di bawah pohon kenari. Ia bertanya pada Sawitri yang masih membuntutinya, ''Mengapa kamu cukup kuat, tabah, dan sabar mengikuti langkahku sampai sejauh ini, Sawitri. Sudah berhari-hari lho kamu ikuti aku setelah di rumahmu aku cabut nyawa suamimu, Raden Setiawan? Mana sekarang kamu sedang hamil pula?''

''Karena hamba kagum pada pukulun Yamadipati. Izinkanlah hamba mengikuti tokoh yang paling saya kagumi selama masih napak bumi, sebelum pukulun naik ke kahyangan. Hamba tak dapat terbang. Selagi bisa berdekatan, izinkan hamba tut wuri pukulun, dewa yang sangat tampan.''

''Hah? Ojok guyon ah, Sawitri. Raiku kayak raksasa gini...''

''Betul, pukulun. Ngganteng atau tidak seseorang itu kan tergantung hati yang melihatnya. Kelak akan ada Dewi Arimbi. Dewi Arimbi itu raksasa. Tapi di mata Bima, Arimbi adalah perempuan yang cantik sekali. Sama, di mata hamba, pukulun dewa yang cakep sekali.''

''Hmmm...Kamu naksir aku, Sawitri?''

''Duh, pukulun, bukan begitu.
Tapi hamba kagum terhadap pukulun. Pukulun sangat sakti dan berkuasa. Apalagi memiliki senjata Kaladenda yang Dasamuka saja takut. Tetapi pukulun diam saja ketika istri pukulun, Dewi Mumpuni, takut melihat wajah pukulun dan berselingkuh dengan Bambang Nagatatmala, putra Sang Hyang Antaboga. Bahkan pukulun menyerahkan Dewi Mumpuni kepada Bambang Nagatatmala.''

Yamadipati trenyuh. ''Sawitri,'' katanya, ''Kamu sangat setia pada suamimu. Berbeda dibanding Dewi Mumpuni. Aku kagum. Kini mintalah satu hal lagi padaku yang pasti akan aku kabulkan.''

Seperti pada relief di Candi Penataran dekat Blitar, Sawitri memohon pada Yamadipati agar suaminya, Setiawan, dihidupkan kembali, karena kesepuluh anaknya kelak memerlukan figur ayah yang tak bisa digantikan lelaki lain seperti saran Yamadipati sebelumnya.

(O ya, kenapa kok cuma sepuluh anak yang kelak akan jadi pemuda, bukan 100 anak seperti dalam pakem pedalangan? Karena menurut tokoh dunia kelahiran Blitar, jutaan orang tua tak akan sanggup mengubah situasi pasca Century seperti sekarang, ''tapi berikan padaku sepuluh pemuda saja, dan aku akan mengubah dunia!!!'')
***


EPISODE 37 Dewi Dahanawati: Gatutkaca Sungging
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 02 Mei 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image''SUNGGING? O, ternyata Raden Purbaya itu orangnya bisa tengkurap sambil bokongnya njentit munjung ke atas to, Truk?'' Bagong bertanya pada kakaknya. Purbaya adalah nama alias Kaca Negara atau Tutuka, yang populer dijuluki Prabu Gatutkaca.

''Itu bukan sungging, Gong. Itu nungging. Sungging itu kalau wajah kita memerah, punya rasa ngganjel karena warna-warni kelakuan atau perkataan orang lain. Lengkapnya tersungging.''

''Wah, Truk, kalau gitu sebagai rakyat saya tersungging karena KPK memeriksa Pak Boediono dan Mbak Sri Mulyani di kantornya masing-masing soal kasus Century.''

''Kenapa tersungging, Gong?'' tanya Petruk. Suaranya masih gandem tanpa beban seperti biasanya. ''Pak Boediono dan Mbak Ani itu tokoh yang supersibuk. Wajar kalau lembaga kebanggaan rakyat, KPK, njanur gunung alias pohon aren alias dengaren alias tumben harus mengorbankan harga dirinya, mengorbankan warna logonya yang merah-hitam pertanda tegar, sampai mau-maunya sowan pada tokoh yang diperiksa...''

''Ya, tersungginglah aku, Truk. Kalau memang beliau-beliau sibuk, mbok ya non-aktif saja sementara. DPR dulu kan juga sudah kasih lampu kuning pada mereka untuk non-aktif sementara. Jangan dipaido kalau sekarang aku tersungging, Truk.''
''Itu bukan tersungging! Itu tersinggung!'' Gareng dengan suara sengaunya cepat menukas Bagong dan Petruk. ''Tersungging itu kalau kita tersenyum kecil. Misalnya, deklamasi...Ooo... gadis manis di pantai biru..camar-camar memutih di sekeliling...ada senyum tersungging di langit bibirnya...''

Bagong njeplak. ''Itu sungging dalam bahasa Indonesia, Reng. Sungging bahasa Jawa artinya digambar dan diwarnai. Contohnya orang bikin wayang. Kulit kerbau itu dipahat dulu atau ditatah. Setelah ditatah, baru digambari dan diwarnai. Itulah sungging. Kerajinan tatah-sungging artinya keterampilan memahati dan menggambari kulit kerbau. Abis ditatah it uterus disungging sampek menjadi wayang kayak kita-kita ini.''

''Lha, kalau sudah mudeng arti sungging kenapa kamu tadi nanya, Gong?''

''Kura-kura dalam perahu kan boleh-boleh saja,'' potong Bagong dengan suara khasnya yang tercekik, nyaring namun sember. ''Wong pura-pura tidak tersinggung juga boleh kok. Kita semua ini kan sesungguhnya tersinggung KPK mau-maunya mendatangi kantor orang yang diperiksa, tapi kan seluruh kita pura-pura tidak tersungging, eh tersinggung? Hayo...''

***

Kocap kacarita, di Kerajaan Raksasa Dahanapura, putri raja Dewi Dahanawati di depan raja dan hulu balang kerajaan sedang menyungging seorang tokoh yang teramat dicintainya di dalam mimpi semalamnya. Ia sungging pemuda yang capet-capet muncul dalam impiannya itu tidak di kulit kerbau. Sang Dewi menyunggingnya di tembok merah jambu taman Dahanapura.

Sudah lama putri cantik yang tak berwujud raksasa itu nganggur tidak menyungging. Kepolisian sudah lama tidak meminta jasanya untuk menyungging tersangka atas dasar ciri-ciri wajah menurut keterangan para saksi. Maklum, para pembunuh sekarang ini adalah orang-orang top yang wajahnya sudah dikenal. Tak perlu jasa juru sungging alias penggambar sketsa.

''Hah? Itu bukan para pembunuh. Itu para koruptor. Beda,'' kata Bilung, ponokawan di dunia raksasa.

Togog mengingatkan sejawatnya, ''Bilung, koruptor itu pembunuh juga. Malah lebih hitam ketimbang pembunuh. Pembunuh mateni menungso sa'kal mati. Korbannya tidak sakit berlama-lama. Koruptor juga mbunuh tapi mbunuhnya pelan-pelan. Koruptor mengurangi jatah sandang-pangan-papan kawula sak negara. Mereka tidak mati seketika. Mereka tetap hidup. Tapi hidupnya kejet-kejet susah tak beda dengan orang sekarat... Makanya di China koruptor ditembak mati. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. sebenarnya juga sudah setuju hukuman mati untuk para koruptor. Tapi...''

''Tapi apa, Gog?'' ujar Bilung sambil kembali menoleh ke sunggingan sang dewi.

Oooo... Gandane kang sekar gadung....Ooooo....Derodog...dog...dog!

Dewi Dahanawati sudah lama tidak menyungging para koruptor alias pembunuh lantaran mereka adalah wajah-wajah yang kita sudah tahu-sama-tahu. Makanya, kepiawaian putri raja Prabu Kala Dahanamukti itu menurun. Meski keterampilannya menurun, sang dewi tetap tekun dan sabar bekerja siang malam sampai keringatnya yang seharum sedap malam bercucuran. Ia tak ingin serbacepat bagai koruptorwati. Tekun. Telaten. Sabar. Genap sembilan tahun akhirnya sunggingan besar di tembok merah jambu sudah rampung dan membuat Patih Dahanapati kaget.

''Weladalah, Sinuwun Prabu Kala Dahanamukti,'' hatur Sang Patih sambil masih terkaget-kaget memandang hasil sunggingan, ''Kalau impian sang dewi seperti ini, wujudnya raksasa, rambut gimbal, pundak besar dan kokoh... jelas ini raja Pringgandani, Prabu Anom Gatutkaca, anak Bima Sena dengan Dewi Arimbi, seorang perempuan raksasa...''

Ganti sang raja yang terperanjat. Tubuhnya tersentak sampai merontokkan daun-daun anyelir dan suplir di seluruh taman. ''Bukankah Raden Gatutkaca itu ksatria yang tampan, Patih?''

***

Menurut kakak Semar, Togog, ponokawan yang mengabdi kaum raksasa, Gatutkaca aslinya memang raksasa. Buruk rupa. Nama alias lainnya adalah Guritno, Krincing Wesi dan Bimasiwi. Tapi dasar orang Jawa itu munafik. Mereka nggak mau terima ada orang baik seperti Gatutkaca kok wajahnya jelek. Diubahlah Gatutkaca menjadi tampan. Konon sejak Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, seniman kriya wayang diminta membuat Gatutkaca setampan bentuk salah kaprahnya sampai hari ini.

''Memang kalau orangnya baik terus tampangnya jelek, kenapa, Gog? Kan kenyataannya banyak orang apik hatinya tapi rupane elek?'' tanya Bilung.

''Gini lho, Lung...Ehmmm...Kalau kita nggak munafik, kita akan legowo terima orang baik bermuka menakutkan. Nek pancen ndak ngganteng, foto-foto pemilukada di pohon-pohon dan gardu listrik itu ndak usah mbagusi dingganteng-nggantengno...Tapi kita ini orang-orang yang munafik...''

''Buktinya?''

''Buktinya masyarakat benci korupsi, tapi mereka nggak menghargai pejabat yang miskin. Kalau kita mantu dan pejabat kadonya minim, kita akan ngrasani. Kalau istri pejabat nyandangnya gak bagus, emasnya sepuhan, tasnya kodian, kita akan ngrasani sampai sekampung. Kalau misalnya...''

''GOOOOG!!!''

Waduh Togog kaget namanya diteriakkan oleh Prabu Dahanamukti. Badannya biarpun tambun mental sampai setinggi beringin karena Sang Prabu memanggil Togog sambil kakinya menggedrug bumi. Bilung yang kerempeng malah membubung sampai nyangsang di puncak tiang bendera.

''Togok...Jangan-jangan samakan aku dengan yang lain...dengan orang-orang Nusantara, ya!!!'' kata Sang Prabu. ''Kita ini Kerajaan Dahanapura. Kerajaan seberang. Lain lubuk lain ikannya. Nggak peduli Gatutkaca itu wujud sejatinya raksasa atau bukan...Yang penting hatinya baik. Ayo Patih Dahanapati... Ojok wedi kangelan... Ayo kita cari bareng-bareng Raden Gatutkaca yang diimpi-impikan oleh bendara ayumu Dewi Dahanawati...Kita mohon pemuda ini datang ke sini dengan tata krama dan budi bahasa. Adapun kalau dia menolak, Patih... hahaha... sor mejo keh ulane jo gelo wis carane...Tih...Perang, Tih!!! Perang !!!''

***

Raden Krincing Wesi saat itu sedang melanglang buana mencari bantuan arsitek untuk membangun Candi Saptarengga. Candi dibangun buat Pandawa sebagai tempat beribadah agar rakyat kerajaan mereka, Amarta, semakin terbebas dari tipu daya dan sandiwara kaum wakil rakyat. Di tengah jalan Guritno kepergok bala tentara raksasa Dahanapura.

Perang terjadi karena Bimasiwi semula menolak tawaran untuk dinikahkan dengan Dewi Dahanawati. Pikir Purbaya, kalau bapak dan kakek moyangnya raksasa, anaknya pasti raksasa juga. Padahal, sebagai raksasa, Gatutkaca ingin memperbaiki keturunan. Tutuka ingin kelak anaknya berwujud dan berhati manusia.

Gatutkaca kalah. Gatutkaca ditawan ke Dahanapura. Melihat Dewi Dahanawati yang ternyata bukan raksasa, dada Gatutkaca langsung berdaun waru yang bentuknya mirip simbol hari Valentin.Tapi ia ingat, misinya pergi bukan untuk asmara. Misinya adalah mencari arsitek dan tenaga pembangun Candi Saptarengga. Wah, Prabu Dahanamukti sanggup menyumbangkan seluruh staf arsiteknya untuk pembangunan candi itu. Baru Gatutkaca mau menikahi Dewi Dahanawati.

Anak mereka asli berwujud manusia. Namanya Jaya Sumpena. Sumpena bermakna mimpi. Artinya putra yang bercikal bakal dari impian sang ibu tentang calon suaminya.

Sayang, Jaya Sumpena yang mewarisi bakat ibunya itu kelak menjadi pemuda pengangguran. Adakah pembaca yang punya lowongan kerja? Kasihan Jaya Sumpena. Kepolisian sudah tidak memerlukan jasa juru sungging, yaitu pembuat sketsa wajah calon pesakitan berdasarkan keterangan saksi. Seluruh pembunuh, yakni koruptor, sudah sama-sama kita kenali wajahnya.

The end.
 
DISADUR SELENGKAPNYA DARI Jawa Pos, Kolom MIngguan, Wayang Durangpo

Episode 38 Dongeng Cinta Sadewa – Rasawulan
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 09 Mei 2010
ImageAda janur kuning melengkung di Bumirawatu, Ksatrian Raden Sadewa. Raden Sadewa, bungsu Pandawa, akhirnya menikahi Dewi Rasawulan. Mulanya dia emoh. Sadewa memang penggemar berat lagu Koes Plus, Bujangan. Sepanjang hidup ia ingin jadi perjaka. Tapi, akhirnya mantenan juga. Melengkunglah janur kuning di Bumiratawu alias Wukiratawu.

''Kamu ngerti makna janur kuning, Nduk?'' tanya Cangik, ponokawan perempuan kepada anaknya, Limbuk.

''Mudeng, Mak. Dalam uba rampe pernikahan, hiasan tebu itu maksudnya....''

''Aku nanya janur kuning kok jawabanmu tebu...Duaasar Jaka Sembung bawa golok...''

''Lha tadi malam Sampeyan juga nggak nyambung, kok. Aku tanya, Mak berapa jumlah orang yang nangis di Nuswantoro setelah Mbak Sri Mulyani pergi jauh? Mak jawab, Presiden Indonesia itu namanya Pak SBY, Nduk, Limbuk.''

''O, kalau itu...Karena Emakmu ini nggak tahu berapa jumlah orang nangis sak Indonesia sekarang karena kasus Century akan dipeti-eskan. Kalau cuma jumlah penangis yang tidak lulus ujian nasional, mungkin Emakmu masih bisa itung. Makanya Emakmu ini kasih jawaban yang lain, yang Emak tahu saja...''

''Sama, Mak. Aku ndak tahu apa makna janur kuning dalam hajatan nikah. Ngertiku cuma makna tebu, makanya ta' jawab yang tahu-tahu saja, yaitu soal tebu.''

''Apa coba, makna tebu itu...''

''Hmmm...tebu itu antebing kalbu. Kalbu yang mantap. Lanang-wadon mempelai mesti mempunyai tekad yang kuat dan padu sebelum melaksanakan ijab kabul.''

''Wah ck ck ck...Pinteeeeer...Gemuk-gemuk tanpa potongan kayak kamu, ternyata masih pinter. Ndak percuma Emakmu ini mendoakan kamu siang malam, puasa sampai badanku kurus kerempeng seperti ini...''

''Oalah, Maaak, Mak, tirakat buat anak semata wayang kok malah diunjuk-unjukkan. Sampek pamer badan kerempeng seperti lidi. Prihatin buat anak mbok yang ikhlas, ridlo, tulus...Lihat Dewi Kunti. Sayang banget pada anak tirinya, Raden Sadewa. Tapi Dewi Kunti ndak pernah-pernahnya pamer prihatin itu. Jarene kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan...''

''Itu kan dulu, Nduk, zamannya Empu Sen-dok. Sekarang sudah zaman Empu Sen-tury. Ya, masih mending ibu berdoa buat anak meskipun nggak tulus, ketimbang ibu membunuh anak kandungnya sendiri, mbanting bayi, membuang ke got, peceren...Aku ndak mateni kamu lho. Masio kamu itu gemuk bunder ser kayak jemblem...''

''Jemblem?''

''Onde-onde zaman Ki Hadjar Dewantara, Nduk. Ya persis kamu, nggak ada potongan. Padahal gajah gemuk ditambah beri-beri ditambah bengkak dipukuli Satpol PP saja masih ada potongan-potongannya lho...Eh, tapi nggak papa ding, kan jelek-jelek begini kamu pinter...Tahu artinya tebu dalam pelaminan...''

''Ya tapi sekarang tebu sudah jarang banget, Mak. Tegal-tegal tebu hampir punah. Pabrik-pabrik gula pada tutup. Padahal dulu kita pernah jaya...Kabupaten Situbondo saja punya lima pabrik gula. Belum Semboro di Kabupaten Jember. Prajekan di Kabupaten Bondowoso. Wah, setiap buka giling ada pesta rakyat, plembungan, wayang kulit...waduh...Gula kita produksi sendiri. Ndak kenemenen tergantung impor. Sekarang? Hiks...hiks...hiks...''

''Hush cup cup cup. Sudah. Jangan nangis. Sudah. Limbuk. Anakku. Ndak usah nangis. Kalau tebu kamu sudah tahu maknanya, sekarang kelapa cengkir itu apa maknanya?''

''Cengkir...hiks...hiks..hiks..artinya...hiks...kencenging pamikir hiks...hiks...Pikiran mempelai harus berubah...hiks...dari hiks...hiks...Hijrah dari pikiran kanak-kanak ke pikiran orang dewasa...''

***

Makna yang terkandung dalam kelapa cengkir dan tebu saja ternyata tak cukup. Dewi Rasawulan, Putri Raja Selamerah Prabu Rasadewa, ternyata punya ide dadakan. Ia baru bersedia dipersunting pria yang sanggup menjelaskan arti kata cinta.

Oooo...kagyat risang kapirangu rinangkul kinempit-empit...duh sang retnaning bawono....derodog dog dog...

Maka batallah sayembara perang memperebutkan sang dewi yang sudah telanjur berlangsung di Alun-alun Selamerah. Adipati Karna yang memimpin bala Kurawa berkemas pulang. Raden Dursasana dari Ksatrian Banjarjunut tak tahu harus berbuat apa. Orang Kurawa ini cuma atebah jojo atampel wentis, memukul-mukul dada dan betisnya sendiri ketika dapat kabar pahit. Rombongan wakilnya untuk melamar Rasawulan pulang tanpa hasil.

Begitu juga Arjuna dari keluarga Pandawa. Utusan pelamarnya boleh sakti-sakti mandraguna sura tan taha. Sebut saja Raden Antareja, ponakannya, dan Bambang Irawan, anaknya. Tapi mereka juga pulang bertangan hampa.

''Hehehe...Tenang, Yayi Arjuna,'' nasihat Sri Kresna pada adik iparnya itu. ''Dan si Adi tidak usah tersinggung bahwa kamu ditampik secara halus oleh Dewi Rasawulan...Firasatku, satu orang saja di dunia yang bisa menjelaskan arti cinta: adikmu, Sadewa...''

Mendengar namanya disebut, Sadewa yang menyukai lagu Koes Plus, Bujangan, langsung oncat, pergi tanpa pamit menonton Piala Dunia di televisi. Pikirnya, buat apa menikah bila nyatanya jauh lebih merdeka menjadi bujangan.

Arjuna cepat merajuk pada Sri Kresna, ''Sadewa tidak mau kawin....O, bagaimana kalau atas nama saya, Kaka Prabu Kresna menjelaskan arti cinta kepada Dewi Rasawulan...''

Bima nggereng tidak terima, ambil mengacungkan kuku Pancanaka. ''Haaaaaaa....Arjuna gak idep isin. Istri sudah banyak. Anak tidak terhitung. Masih juga gatel pengin kawin....''

Kresna tak sudi membuang waktu. ''Gatutkaca,'' serunya dalam nada perintah kepada anak Bima itu, ''Segera kamu susul pamanmu Sadewa. Bawa ke depan Dewi Rasawulan. Minta tolong pamanmu Sadewa untuk menjelaskan arti cinta di depan sang dewi...''

''Waduh, waduh, terima kasih, Wa Prabu Kresna...Sungguh hamba tidak menyangka bahwa akhirnya Paduka menjodohkan hamba dengan Dewi Rasa...''

''Rasa endasmu itu, Gatutkaca..!!! Hihihi...Bukan buat kamu..!!! Seolah-olah saja pamanmu Sadewa itu menjelaskan cinta atas nama kamu. Tapi, sesungguhnya, nantinya, lihat saja yang terjadi...Berangkat!''

***

O, Gancanging carito kadyo wong kang munggel kawi... Ringkas cerita, Raden Gatutkaca sudah berhasil mengusung pamannya ke hadapan Dewi Rasawulan. Benarlah firasat Sri Kresna, Sadewa alias Tangsen, pemuda yang tepat untuk menjelaskan cinta.

Orang yang hidupnya penuh dengan cinta, saban hari dilingkupi cinta, pasti sanggup menjelaskan cinta. Kembar Nakula-Sadewa adalah anak-anak yang dicintai Dewi Kunti siyang pantareng ratri, siang-malam. Kunti mencintai anak angkatnya kembar Pingten-Tangsen itu jauh melebihi cintanya pada anak kandungnya sendiri, Puntadewa, Bima, dan Arjuna.

Juga atas nama cintalah kembar Nakula dari Ksatrian Sawojajar dan Sadewa dari Ksatrian Wukiratawu juga dilahirkan. Ayah mereka, Prabu Pandu Dewanata, suami Dewi Kunti dan Dewi Madrim, sudah tahu kutukan dewa. Ia bakal mati ketika bercinta dengan Madrim. Toh Pandu tetap saja menyelenggarakan cinta di malam purnama itu.

Akhirnya, Pandu tewas sesaat setelah persenggamaan. Sesaat setelah lahir jabang bayi kembar Nakula-Sadewa, setelah Kunti menyatakan kesanggupannya untuk merawat dan membesarkan mereka, Dewi Madrim, adik Prabu Salya, atas nama cinta menyusul arwah suaminya. Ia lakukan upacara pembakaran diri.

Tapi, kenapa Sri Kresna kok hanya meminta Sadewa? Kenapa sang Harimurti itu tidak juga mencoba meminta Nakula untuk menjelaskan cinta?

''Sudah jangan kebanyakan nanya,'' potong Madusudana alias Kresna. ''Halaman Wayang Durangpo Minggu ini sudah hampir habis. Nanti lakonnya ndak rampung-rampung.''

Agar cerita cepat rampung, ringkasnya, Dewi Rasawulan sudah bersimpuh dan merangkul betis Raden Sadewa tanpa disadari oleh Sadewa karena bungsu Pandawa ini sedang khusu' menjelaskan arti cinta.

''....Dan cinta tak kenal pengorbanan,'' lanjut Sadewa. ''Cinta perlu pengorbanan? Hmm...Itu salah kaprah. Kamu mencintai seseorang? Kamu tak akan pernah merasa berkorban untuk seseorang itu. Sesamudera apa pun kesusahan dan jerih payah yang telah kamu lakukan...''

Baru setelah ucapan itu Sadewa tersadar Dewi Rasawulan telah merangkul dan menciumi betisnya. Sadewa oncat meninggalkan taman Selamerah. Bersamaan itu datanglah Prabu Dirgamayapati dari Kerajaan Simbarmanyuro yang ingin merebut paksa Dewi Rasawulan. Gatutkaca tanggap. Pamannya langsung diamankan, yaitu secara magis dikecilkan dan dimasukkan ke dalam kancing gelung di kepala Gatutkaca.

Prabu Dirgamayapati masih terus memburu Dewi Rasawulan, hingga sang dewi kepontal-pontal dan nyaris seluruh busananya tanggal. Gatutkaca akhirnya sanggup melindungi Rasawulan. Tanpa pikir panjang, sang putri yang sudah nyaris telanjang itu dikecilkan dan dimasukkannya ke dalam kancing gelung yang sama.

Hah? Setengah telanjang? Apa yang lalu terjadi pada kancing gelung Gatutkaca yang di dalamnya ada perjaka tenguk-tenguk itu? Yo, embuh, Rek. Yang jelas, setelah malam menanjak di kancing gelung Gatutkaca itu ada gamelan Kebogiro dan Monggang bertalu-talu, ada tebu dan kelapa cengkir, serta melengkunglah janur kuning di Bumirawatu. ***


Episode 39 Cinta Berdarah di Argobelah.
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 16 Mei 2010
Diunggah Oleh ARAGOS
ImageANAK ulama atau pandita kalau lanang disebut Bambang, nek wedok Endang. Endang Pujawati berarti putri pandita. Dan pandita itu bukan ulama stempel penguasa. Ia ulama yang merdeka. Maka ia disebut wiku. Hatinya putih. Namun wujud sang wiku itu, hiii..nggilani..., raksasa mengerikan. Namanya Resi Bagaspati.

''Disebut resi karena sebelum jadi wiku dulunya Bagaspati tentara,'' jelas Gareng kepada adik-adiknya sesama ponokawan.

''Kalau sebelum jadi pandita seseorang itu pejabat sipil, namanya apa Reng?''

''Hehe, begawan, Truk. Inget kan bapaknya Pak Prabowo Subianto, suwargi Pak Sumitro Djojohadikusumo? Kita sebut begawan ekonomi. Sebelumnya jabatan almarhum sipil sebagai menteri...''

''Ah, repot,'' Bagong menimpali. ''Julukan kok berubah-ubah. Ada juga kok orang yang julukannya tetap itu-itu saja. Pas diangkat jadi menteri namanya ya itu. Pas lumpur Lapindo pertama nyembul, namanya masih sama. Pas terpilih jadi ketua umum partai, masih itu juga. Eh, pas ngotot perkoro Century sampek nggletek wae akhirnya toh jadi ketua sekretariat bersama (gabungan) partai-partai koalisi, apa namanya terus berubah jadi Dasamuka, hayo, tetep kan..?''

Bagong ndak perlu direwes. Gareng malah terus saja melanjutkan ceritanya tentang Endang Pujawati dari pertapan Argobelah. Ojok salah lho, Rek. Bapaknya tok sing raksasa. Tapi sang putri itu sendiri bersosok manusia jelita.

***

Kabarnya siswa-siswi di bekas jajahan Belanda, Inggris, Portugis, dan lain-lain ini sangat rendah nilai bahasa Indonesia-nya dalam ujian nasional. Umpamane Endang Pujawati ikut serta, menurut Gareng, pasti nilai bahasa Indonesia-nya jauh lebih ancur lagi.

Memang, Endang Pujawati ce' cintane ke bahasa Indonesia. Ia pun sangat piawai menggunakan bahasa persatuan tersebut untuk dapat persis menggambarkan secara rinci isi pikiran dan perasaannya. Tapi sama sekali dia tidak mudeng tata bahasa dan hal-hal lain yang sifatnya hafalan seperti yang ditekankan soal ujian nasional. Apalagi dalam ujian nasional, kemampuan mengarang tidak dites.

Namun, umpamane putri Resi Bagaspati ini pernah jadi murid silek Minang (silat Minang), pasti peraih nilai terendah bahasa Indonesia dalam ujian nasional ini sebaliknya menjadi siswi yang paling kinclong dan moncer.

Gareng inget penuturan Gusmiati Suid, seniwati besar dari Ranah Minang. Ketika pertama belajar silek Minang pada masa kanak-kanak almarhumah, sang guru hanya mengajak jalan-jalan. Tetapi sang guru sangat menekankan dan menagih kejelian, keawasan, serta perhatian siswa-siswinya.

Sepulang dari keliling alam, sang guru kadang mendadak meminta murid-muridnya untuk bercerita secara rinci, runtut, dan tuntas tentang apa yang telah dialami oleh pancaindra mereka sepanjang perjalanan. Misalnya berapa persisnya jumlah pohon bambu yang dilewati, berapa jenis suara kicau burung, bagaimana rasa tanah tertentu di telapak kaki, apa saja bau yang diendus di sungai, pematang, hutan....

''Wah, Kang Gareng,'' Petruk memotong, ''Endang Pujawati saking rinci, runtut, dan tuntasnya kalau ngomong, pasti bagus kalau jadi tukang jual obat di pasar-pasar.''

''Tepat sekali, Truk. Kemampuan menjual, kemampuan bikin presentasi, itulah yang sangat kita perlukan sekarang. Bongso dewe iki pinter-pinter kalau bikin sesuatu. Nek ndak percoyo takono konco seniorku Mas Priyo Suprobo, rektor ITS. Apa yang ndak bisa kita gawe? Malah robot bikinan kita ada yang menang di kontes internasional. Tapi kita ndak gablek ngedol, ndak bisa jualannya...''

''Nggak jegos dodolan karena kita nggak bisa ngomong dengan rinci, runtut, dan tuntas seperti Endang Pujawati...?''

''Tepat sekali, Truk. Karena kita sudah tidak lagi mementingkan pelajaran mengarang. Ndak penting lagi itu maju satu-satu cerita di depan kelas... Mangkane pidato-pidato kampanye juga nggak ada yang menarik. Semuanya jadi klise...''

''Setuju, Reng. Pidato-pidato penerimaan piala festival film kita juga klise. Ndak seperti sambutan-sambutan singkat Piala Oscar. Seger. Omong ceplas-ceplos antara peserta dan juri American Idol juga menarik yo, Kang Gareng. Mungkin karena nduk sana ditekankan pentingnya pelajaran mengarang sejak sekolah dasar.''

''Tepat sekali, Truk!''

''Alah,'' Bagong kembai nyeletuk, ''Ndak usah mengagung-agungkan Endang Pujawati. Kita juga sudah bagus kok bahasanya. Buktinya nang teve-teve itu kita sudah rinci, runtut, dan tuntas kalau disuruh debat, eker-ekeran, tukaran, padu soal Pak Susno Duadji dan soal opo wae...''

Bagong ndak usah direken. Gareng kembali nerusno lakonnya tentang perempuan jelita yang pada suatu ketika membuat presentasi impiannya di depan ayahnya, Angganaputra alias Resi Bagaspati.

***

Endang Pujawati memang sangat mahir berbahasa untuk mengungkapkan isi ubun-ubun kepalanya. Dengan kalimat putrinya yang ringkas dan padat, saking terlatihnya mengarang, Resi Angganaputra langsung bisa tahu persis opo karepe putrinya.

Suatu pagi sang putri hanya merangkai kalimat pendek tanpa nyebut-nyebut lumpur Lapindo, Bagaspati langsung mahfum bahwa maksud putrinya pastilah Pak Ical. Pada suatu larut malam Bagaspati juga langsung tahu bahwa yang dimaksud putrinya pasti Pak SBY. Padahal Endang Pujawati hanya menyusun kalimat pendek tanpa kata-kata Century dan Sri Mulyani yang konon dikorbankan.

Maka, di suatu hari respati alias hari keempat yaitu Kamis, Resi Bagaspati langsung tahu sosok yang diutarakan oleh putrinya cuma melalui untaian kata-kata. Pemuda yang dimaksudkan putrinya tentu Narasoma dari Kerajaan Mandaraka. Bagaspati langsung bersamadi. Hanya membatin sebentar, lebih cepat ketimbang jangka waktu dari Sri Mulyani mundur ke Pak Ical maju jadi ketua Sekber Koalisi, tiba-tiba pemuda dari Mandaraka itu mak jleg sudah muncul di pertapan Argobelah. Telah bersila dia di bale pacrabakan, semacam pendapa untuk mewejang para cantrik.

Kelanjutan cerita mudah ditebak seperti skenario di DPR. Narasoma yang kelak berjulukan Prabu Salya yaitu mertua Baladewa, Adipati Karna dan Duryudana, menikah dengan Endang Pujawati yang kelak populer dengan julukan Dewi Setyawati. Usai nikah, Narasoma tinggal di pertapaan itu dan sangat disayangi oleh mertua raksasanya. Saking sayangnya, Resi Bagaspati malah mewejang ilmu pamungkasnya , Aji Candrabirawa.

''Narasoma, mantuku,'' wejang sang Resi, ''Negaramu Mandaraka penuh teroris. Yaitu teroris yang membunuh banyak orang seketika dengan bom, maupun teroris yang membunuh banyak orang pelan-pelan dengan cara membuat mereka hidup di pas maupun di bawah garis kemiskinan... Orang salah kaprah menyebutnya koruptor. Padahal sejatinya mereka juga teroris. Nah, sifat teroris itu sama, dibunuh satu lahir dua, dibunuh dua lahir empat....

Oh, Narasoma, Aji Candrabirawa ini tak sanggup aku berikan pada Densus 88 bahkan kalau kesatuan itu juga berada di bawah KPK sekalipun. Hanya kuberikan kepadamu, Narasoma. Aji Candrabirawa ini akan sanggup menghadapi seluruh kelipatan teroris itu. Jangan kaget. Dengan aji pamungkas ini, dari badanmu akan muncul satu raksasa bajang, raksasa bocah. Kalau dibunuh dia malah akan hidup menjadi dua, dibunuh dua jadi empat, dibunuh empat jadi enambelas dan seterusnya menjadi kelipatan kuadrat, hahaha...''

Tapi, akhir cerita ini tidak mudah ditebak sehingga tidak mirip skenario Senayan. Suatu siang Narasoma ingin menjajal keampuhan Aji Candrabirawa. Sasarannya perempuan yang mengurus keuangan di pertapaan itu.

Kan kalau di pertapaan Putut adalah sebutan pemelihara pacrabakan, Cekel sebutan untuk juru taman, Janggan sebutan untuk juru tulis, Cantrik semacam office boy. Nah, perempuan itu tak jelas sebutannya. Narasoma mencium, perempuan yang amat disayangi resi itu kurang disukai oleh sebagian masyarakat Argobelah. Sebagian masyarakat malah mencurigai pernah ada kongkalikong keuangan antara perempuan itu dan sang resi.

''Weladalah! Narasoma, putra mahkota Kerajaan Mandaraka, jangan mengorbankan cewek itu,'' wanti-wanti Resi Bagaspati seolah sudah punya firasat ndak enak. ''Dia perempuan. Ingat, adikmu juga perempuan, Dewi Madrim. Kita kaum lelaki, berpantanglah mengorbankan perempuan. Kalau kamu memang ingin menguji Aji Candrabirawa, sekarang juga arahkan itu kepadaku. Aku cuma pesan, kelak jangan kamu kawin dua, tiga, empat seperti raja-raja yang lain. Biarkan dunia mencatat bahwa kamu raja yang berbeda...''

Narasoma sungkem, sebelum mengarahkan Aji Candrabirawa. Tak lama setelah itu terdengar tangis merata di pertapaan Argobelah. Mahoni menangis. Beringin. Banteng. Bintang. Matahari. Semua menangis hormat. Burung garuda pun tak bersuara. (*)

EPISODE 40 Sensus Penduduk sang Ajatasatru
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 23 Mei 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImageSEPENINGGAL Semar, Ponokawan Gareng, Petruk dan Bagong luntang-lantung nggak punya gawean. Tadinya salah seorang dari mereka berharap akan dipanggil jadi menteri keuangan yang baru. Tapi, menurut Ponokawan Limbuk dan Cangik, mereka blas ndak punya potongan jadi menteri. Arep ndaftar ikut pemilukada jadi calon bupati atau wali kota, sudah telat. Akhirnya, Gareng, Petruk, dan Bagong nyari kerjaan alternatif. Mereka mendaftar jadi petugas cacah jiwa alias sensus penduduk.
Ternyata jadi petugas sensus juga banyak makan ati-nya. Ampela dirogoh-rogoh. Persis seorang menteri keuangan. Serbasalah. Oleh orang luar, orang asing, dia dipuji-puji karena investor-investor asing podo seneng. Berbagai majalah asing kasih penghargaan. Tapi oleh bangsa sendiri, terutama wong cilik, dia disinisi. Kalau memang ekonomi tambah baik menurut orang asing itu, kenapa nyatanya rakyat hidup makin ndak enak.

Persis. Petugas cacah jiwa juga ngono. Oleh negara mereka dipuji. Soale data tentang jumlah dan keadaan warga negara sangat dibutuhkan untuk menentukan kebijakan-kebijakan publik. Termasuk untuk daftar pemilih tetap pada pemilu mendatang. Tapi masyarakat menerima dan menanggapi petugas sensus dengan cara yang lain lagi.

Orang-orang kaya biasanya tak berkenan keluar pintu rumah. Gareng, Petruk, dan Bagong cuma diterima di pintu pagar. Itu pun pagarnya cuma dibuka sedikit. Hanya cukup untuk pembantu rumah tangga anguk-anguk menyembulkan kepala. Dia pula yang menjawab pertanyaan petugas sensus tentang kapan dan di mana juragannya dahulu dilahirkan.

Orang kaya yang masih baik biasanya tak enggan menerima Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka bersedia keluar pintu rumah meski cuma menerima ponokawan di teras. Tapi mereka khilaf mengikat anjing-anjing mahalnya di halaman. Akibatnya paha Bagong digigit salah satu anjing. Gareng digigit betisnya oleh anjing yang lain. Yang paling malang Petruk. Ujung hidungnya yang panjang digigit oleh anjing lainnya lagi.

Nah, mencacah jiwa kalangan yang gak kaya, yang cukupan, juga bukan tanpa penderitaan seperti lagu dangdut. Mereka ndak mau buka pintu karena menganggap Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai petugas sales atau promosi barang-barang dapur. ''Maaf, saya sudah bayar pajak, Mas!!!'' teriak salah seorang warga dari dalam rumah. Dia sangka tiga sosok di depan pagar rumahnya, kalau nggak makhluk jadi-jadian, ya paling kader Partai Gayus.

Apa lebih enak menyensus orang miskin, ya? Ah, sama saja.

Ponokawan dari Klampis Ireng itu suatu tengah malam pernah terbirit-birit dikejar pemulung. Gelandangan ini sambil mengacung-ngacungkan gancu mengejar-ngejar mereka. Mungkin salah Bagong. Lha bambungan itu lagi enak-enaknya ngorok di emper toko berlian, digugah Bagong.

Maksud Bagong baik. Tengah malam, lingsir wengi, bungsu Ponokawan itu cuma mau tanya, si bapak asalnya dari mana, namanya siapa, dan, kalau tahu, kira-kira umurnya piro. Eh, si bapak yang lagi angler-angler-nya tidur pulas dan tampak happy itu rupanya merasa terganggu. Ia langsung nyamber gancu dan memburu ponokawan. Gareng sampek manjat naik ke Tugu Pahlawan.

Sejak insiden itu Gareng dan Petruk agak patah arang sebagai petugas sensus. Maka, di suatu rumah besar, di kawasan elite, begitu mbok-mbok pembantu rumah tangga membuka pintu pagar, Gareng dan Petruk langsung balik kanan. Bagong yang masih bengong melihat kakak-kakaknya pergi langsung digeret ke dalam oleh mbok-mbok itu.

''Ayo masuk, Mas. Bapak itu sueeneng kalau ada tamu,'' kata si mbok. ''Abis pensiun jadi menteri, ndak pernah ada tamu, Mas. Padahal bapak itu seneng ndongeng. Biasane soal wayang. Beliau penggemar berat wayang...''

Bagong yang masih plonga-plongo tidak saja digeret sampai ruang tamu, bahkan sampai ruang tengah. Ada sedap malam dan melati nduk kono. Terdengar lagu Bengawan Solo dari suwargi Gesang. Tapi ruangan bau cerutu. Bapak-bapak sepuh yang sedang duduk sambil menerawang di kursi malas itu memang sedang klepas-klepus berkemelut asap.

***

''Menjadi pemimpin itu mestinya seperti Prabu Yudistira dari Pandawa,'' si bapak mengawali suatu dongeng tentang wayang di depan petugas sensus.

Seperti kebiasaannya sejak lama, bapak ini ngasih selang-seling pantun model parikan tembang jula-juli dalam kesenian ludruk. Kadang parikannya itu tanpa juntrungan dan nggak ada hubungannya dengan lakon. Dengar saja!

Bosen Century bosen di emper//Orang di Malang bukanlah orang

Bos polisi lapor DPR//Disuruh ngulang bikin laporan...

Alkisah....

Ada burung besar seperti garuda. Unggas ini pemakan daging khususon burung emprit. Ketika Prabu Yudistira sedang di tengah padang pasir tiba-tiba hinggaplah di depannya burung emprit sambil terengah-engah. Dengan napas melar mingkus ia lapor sedang dikejar-kejar burung besar untuk dimangsa.

Padahal, kalau si emprit mati, anak-anaknya yang masih bayi dan menunggu di sarang akan mati pula. Ia meninggalkan sarang untuk mencari makan buat anak-anaknya. Kalau sampai dia tewas...aduh. Makanya dia minta perlindungan sang raja. Prabu Yudistira sebagai raja yang terkenal ambeg paramarta, yang selalu melindungi kaum cilik pencari keadilan, langsung menyatakan kesanggupannya untuk ngayomi...

Suramadu boyong ke Rungkut// Orang Jombang ada yang kaya

Mari berpadu jangan cemberut// Orang bimbang sungguh bahaya...

Tiba-tiba, dari langit di padang pasir itu, menukiklah burung besar mirip garuda. Prabu Yudistira alias Puntadewa langsung menghadangnya ketika burung perkasa yang serbahitam ini hendak mematuk emprit kelabu. Sang Prabu meminta burung besar itu mencari emprit yang lain saja. Burung besar kepalanya gedek-gedek tanda ndak mau.

Lihatlah sudah tak ada emprit lain di muka bumi ini. Manusia telah membuat burung-burung itu kian punah. Hutan-hutan saja sudah mulai punah. Padang pasir yang dipijak Prabu Yudistira sendiri kan dulunya adalah hutan yang hijau royo-royo.

Di muka bumi masih ada satu lagi burung gelatik dan satu lagi burung jalak. Prabu Yudistira alias Samiaji meminta burung yang garang itu memangsa mereka. Si garang kembali geleng-geleng. Bagaimana mau ngemplok jalak, wong takdirnya memang hanya sebagai pemangsa emprit, bukan daging sembarang daging.

Nduk Ndupak, Dik, rumah sang pacar//Menakjinggo minggat ke Muncar

Mari yang kompak, Dik, jangan berpencar//Barang-barang Cino semakin gencar...

Hah? Opo hubungane? Bagong membatin.

''Ssssttt....!!!'' Mbok-mbok pembantu rumah tangga sambil mengantar minum kasih kode ke Bagong. Bisiknya, ''Biarkan saja...Yang penting Sampeyan duduk anteng...''

Bung Tomo arek Suroboyo/Rujak cingur dioplos rawon

S'lamat jalan buat Mbak Ani/Jangan nangis di Amerika...

''Lho, Pak, ndak nyambung bunyi parikannya...'' Akhirnya Bagong nggak tahan juga untuk nyeletuk. Suaranya keras banget, ''Mosok Suroboyo jadi Mbak Ani...Rawon jadi Amerika...Huruf 'O' kok jadi 'I'...'Won' kok jadi 'Ka"...''

''Hah? Saya nggak bisa dengar. Kamu ngomong apa? Saya tadi bilang, Bung Tomo arek Suroboyo/Rujak manis dioplos rawon.. S'lamat jalan ke Sri Mulyono/Jangan nangis di Washington."

Tahu bapak ini budek, sejak itu Bagong tak pernah komentar lagi.

***

Bowo Leksono. Bowo artinya ucapan. Leksono perbuatan. Satunya kata dan perbuatan. Itulah sifat Prabu Yudistira yang terkenal bowo leksono. Karena sudah berjanji, ia tetap melindungi emprit apa pun alasan calon pemangsa emprit itu. Akhirnya si burung besar nanting. Bagaimana nek emprit itu diganti dengan daging Prabu Yudistira yang timbangannya setimpal dengan berat emprit.

Yudistira langsung memotong jari kelingkingnya sendiri. Ternyata emprit masih lebih berat. Ditambah potongan seluruh jari tangannya, emprit masih lebih berat. Emprit juga masih lebih berat ketika Yudistira menambahkan potongan kakinya, lalu betisnya sampai pahanya juga. Akhirnya, tatkala Yudistira akan memenggal kepalanya sendiri, guntur menyambar di antariksa, kedua burung sak kal menjelma wujud aslinya. Burung besar menjadi Batara Darma. Burung kecil menjadi Batara...Batara siapa gitu (Sorry, Rek. Aku betul-betul lupa. Asli. Kalau ada pecinta Jawa Pos sing eling nama dewa itu tolong kasih tahu ya. Matur nuwun. Semoga Gusti Allah ngijabahi.).

''Jangan kamu potong lehermu,'' sabda Sang Darma sambil mengheningkan cipta. Seketika Prabu Yudistira yang sudah tinggal sisa separo badan kini kembali utuh. ''Samiaji, Puntadewa, titah ulun. Di jagad ini tak ada raja yang melindungi rakyatnya seperti titah ulun...Karena itu, mulai detik ini, titah ulun berhak menggunakan nama Ajatasatru. Negerimu, Amarta, mulai fajar 2014 besok juga berhak ganti semboyan Bersama Ajatasatru Kita Bisa...''

''Sensusnya sudah, Gong?'' tanya Gareng dan Petruk yang menunggu jauh di luar pagar sambil minum es degan.

''Wis, Truk, Reng...Wis tak catet. Di situ ternyata bermukim lima orang. Mbok-mbok. Bapak-bapak. Batara Darma. Dan Batara siapa gitu. Ndak penting.''

''Lho, satunya lagi?''

''Prabu Ajatasatru...Orangnya aneh.''
DISADUR SELENGKAPNYA DARI JAWA POS, KOLOM MINGGUAN, WAYANG DURANGPO

EPISODE 41 Pengusiran di Gunung Kutharunggu
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 30 Mei 2010
Diunggah oleh ARAGOS

Image
www.virtual.jawapos.co.id
Bukan Ghoiron alias "Yang Berbeda" nek Gareng sama dengan yang lain-lain. Orang-orang lain kan langsung percaya Ibu Ainun Habibie kapundut pulang ke kasidan jati disebabkan kanker. Cakrawangsa alias Pancal Pamor ini berbeda. Sampai sekarang Gareng yang berasal dari kata Ghoiron masih terus memancing-mancing Petruk. Apa sih sesungguhnya penyebab mantan Ibu Negara itu berpulang?
      Tanggapan Petruk?
      Hehe...Namanya saja Petruk. Asalnya konon dari Fatruk. Artinya telah melampaui dunia keseharian di sekitarnya. Makanya ia suka menjawab asal. Sekenanya. Apalagi saat itu kebetulan pikiran Kantong Bolong itu sedang menclok-menclok ke tempat nun jauh, sedang terkagum-kagum pada Lionel Messi.      Pemain Argentina itu jadi sayap kanan jegos. Eh, sekarang jadi penyerang lubang yo bregas. Dribble bolanya ciamik. Gocekannya alamak. Sering dia tembus sampai menusuk jantung pertahanan musuh. Lalu itu lho...itu lho...tembakan jarak jauhnya itu lho...waduh...ck..ck..ck...
      "Truk!" Gareng menyentak lamunan adiknya. "Bu Ainun itu sedo karena apa ya?'

      "Karena penyakit kanker!" Petruk menjawab asal menurut apa yang sering mampir di kupingnya. Ia kembali meneruskan lamunannya tentang Lionel...

      "Istri mantan Presiden BJ Habibie itu meninggal karena Gusti Allah," kata Bagong perlahan. Ini berbeda dari kebiasaan si bungsu yang selalu bicara lantang dan ngeyel sesuai asal namanya, Bagho, yang berarti Si Pembangkang. Sangat lirih tapi Gareng bisa dibuatnya tertegun. Lamunan Petruk tentang Piala Dunia pun terhenti.

     Gareng mengganti perkara."Lha, sekarang perkara Mas Anas Urbaningrum. Kenapa wong Mblitar ini kepilih jadi Ketua Umum Partau Demokrat?"

     Petruk yang dipandangi Gareng mau tak mau harus menjawab. Katanya, "Karena tidak suka membesar-besarkan diri...Karena bisa bertahan walau dalam keadaan memburuk.Tendangannya juga akurat..."

     "Lho...lho...Truk...Itu Cristiano Ronaldo, Truk, wong Portugal, dulu gelandangan, sekarang striker bayangan...Yang aku tanya itu arek soko Universitas Airlangga itu lho...Kenapa kok bisa menjadi..."

     "Karena dia pandai memimpin, Reng. Mas Anas itu kelahiran 15 Juli 1969. Kalau sebelum Maghrib, berarti ikut Selasa Wage. Orang yang tidak suka membesar-besarkan diri,seperti tadi aku bilang. Kalau setelah Maghrib, berarti ikut Rabu Pon. Hampir mirip dengan Rabu Kliwon, wetonnya Pak Harto. Orangnya pandai memimpin, kalau sudah pegang bola susah direbut, pandai mendistribusikan bola pada kawan-kawannya sendiri, dan bisa mencetak gol dari jauh..."

     "Aduh Truuuuuk, itu Xavi Hernandez, dirijen lapangan tengah dari Spanyol!!!"

     Petruk putus asa. Pikirannya sudah pengin cepet-cepet balik ngalamun soal bal-balan. Maka Gareng dijawabnya dengan asal menurut yang sering mampir di telinganya. Katanya,"Karena Mas Anas itu orangnya santun seperti Pak SBY...."

     "Goblok!!!" Mas Anas naik pamor karena Gusti Allah!!!" Bagong alias Bawor kembali ke khittahnya. Suaranya kembali sember,parau dan tercekik namun lantang. "Sopan santun Mas Anas itu cuma jalaran. Cuma jalan. Kankernya Ibu Ainun juga cuma lantaran. Penyebabnya ya..." Bagong menunjuk ke langit.

    Gareng sang pemikir yang kebetulan juga nyambi jadi wartawan Radar Mayapada, bermarkas di Graha Fana, esoknya meralat berita.

    "Ibu Ainun Habibie meninggal setelah serangan kanker, bukan karena kanker. Mas Anas didaulat jadi Ketum Demokrat setelah berlaku sopan dan santun, bukan karena sopan santun. Menurut Bagong, kematian dan kedudukan hanya disebabkan oleh Gusti Allah. Sama persis dengan kelahiran dan rezeki. Soal jodoh juga sama. Maka jutaan kaum lelaki tidak usah kecewa dan mbrebes mili atas telah berlangsungnya pernikahan akbar pekan lalu. Bukankah begitu Mbak Dian Sastro?"

Baca selengkapnya di www vitual.jawapos.co.id

EPISODE 42 Susu Mengalir dari Payudara Bima
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 07 Juni 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image
Hari keramat 1 Juni. Fajar belum menyingsing. Limbuk wis gak sabar. Ia gedor-gedor pintu salon. Kontan yang punya salon
geragapan. Matanya diucek-ucek. "Hah? Di mana lagi ada kebakaran tabung gas...di mana... di mana?" tanyanya berkali-kali. Yang ditanya, anak semata wayang Cangik, ndak semaur malah langsung dia seret si tukang salon ke dalam. Di depan cermin Limbuk minta segera didandani pakai konde dan  kebaya.
Waduh. Deloken nduk cermin. Sudah subur kan badan Limbuk dan semok? Tapi ponokawan gembrot ini masi minta dikasih korset.  Mulane dadanya yang sudah semlohay tambah kelihatan mandul-mandul.
Paniklah si emak, Cangik, yang tubuhnya kerempeng dan dadanya rata alias peres. "Lha dodoku ndak ada apa-apanya ini yok opo, Nduk, Limbuk," tanyanya gelisah. Limbuk kasih kode ke tukang salon agar dada emaknya biar munjung disumpel helm apa saja, yang penting Standar Nasional Indonesia.
Usai dari salon matahari sudah sepenggalah. Sudah sampailah Limbuk dan Cangik di suatu lapangan perbatasan negeri Astina dan Amarta. Cangik dadanya munjung, sudah ndak peres lagi. Lebih-lebih Limbuk. Truk saja pasti mendal-mendal kalau nabrak dada Limbuk.

Panitia keramaian sudah menyambut mereka di gapura. Limbuk sambil memunjungkan dadanya sendiri bertanya apakah pakaiannya sudah cocok. "Tanggal 1 Juni ini kan ditetapkan sebagai Hari Susu Nusantara," kata Limbuk sambil sekali lagi membusungkan dadanya.

"Lho, bukankah 1 Juni ini Hari Lahirnya Pancasila?" panitia membatin sambil plonga-plongo. Setahu mereka, masyarakat sekarang berkumpul untuk memperingati lahirnya galian Bung Karno. Mereka akan menyaksikan lomba pidato tentang Pancasila. Mereka juga berdebar-debar menunggu hasil kejuaraan. Bagaimana ndak penasaran, konon juara 1 lomba pidato tentang dasar  negara itu akan dijadikan Ketua KPK, ngganti Pak Antasari. Juara 2-nya jadi calon tunggal Gubernur Bank Indonesia, ngganti Pak Boediono.

***


EPISODE 43 Waspadai Angka Keramat 32
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 13 Juni 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image
ilustrasi Budiono/Jawapos
............. ''Angka 32 itu keramat, wingit, karena diotak-atik dengan cara apa pun tetap punya makna. Lihatlah 3 tambah 2 itu lima. Panca wiwijangan. Indra kita berjumlah lima. Itu yang wajib kita pertimbangkan. Lalu 3 kali 2 itu enam. Sad wiwijangan. Itu yang namanya krenteging ati, firasat. Itulah tambahan pertimbangan buat kita. Dan tahukah kamu, Le, bocah sekolah dasar, 32 dibagi 8 sama dengan 4...ada 8 ada 4...8,4 triliun...itulah yang diusulkan jadi dana aspirasi anggota DPR...'' ...........
INI sangat urgent. Mendesak. Sampai-sampai ponokawan Togog dan Mbilung kedungsang-dungsang datang ke Amerta. Biasanya Togog-Mbilung berdinas menemani dan kasih nasihat tokoh-tokoh dari dunia hitam. Sekarang mereka malah berkunjung ke Amerta, tempat para Pandawa. Lha wong Raden Arjuna, penengah Pandawa, sampai sekarang sudah hampir 32 hari 32 malam tidak mau bicara. Bagaimana tidak dianggap urgent?

Gareng menduga, Risang Dananjaya itu sudah hampir 32 siang-ratri ndak berkenan ngomong lantaran malu kepada laki-laki serupa Ariel. Ndak gengsi gimana, wong Dananjaya ya Arjuna sudah kondang dijuluki lelananging jagad, lelakinya dunia. Ternyata di atas langit masih ada langit, di balik Gayus masih ada ber-Gayus-Gayus. Di muka bumi jagad keblat papat ini ternyata masih ada pejantan yang lebih jos ketimbang dirinya.

Adik Gareng, Petruk, meredakan suasana. Dia wadul ke Togog. Menurut Petruk, bisa jadi Ndoro Kombang Ali-ali itu puasa tanpa sabda sampai nyaris full 32 hari 32 malam bukan karena kehilangan muka pada lelaki bermuka Ariel. Ndoro Kombang Ali-ali jauh lebih unggul.

Ingat Dewi Larasati? Putri Kresna yang keahlian memanahnya jauh lebih unggul ketimbang Srikandi itu saja sudah tersensus sebagai istri Arjuna yang ke-41. Padahal abis sama Ning Laras, Cak Kombang Ali-ali ya alias Margono itu masih kawin lagi, kawin lagi. Ah, angka 32 nggak ada apa-apanya kalau dibanding jumlah istri Arjuna...

''Abdi te' nyaho' naon eta' angka 32 mah?'' Mbilung nyahut dalam bahasa Sunda. Maksudnya, dia ndak mudeng kok dari tadi ribut angka 32 itu kenapa. ''Aku malah pertama dengar angka 32 itu dari Mas Pramono Anung. Kan pekan lalu di DPR ada sidang Panitia Pengawas Century. Anggota DPR protes kok laporan Pak KPK, Pak Jaksa, Pak Polisi, ndak beres-beres padahal sudah datang ke DPR dua kali. Niat apa nggak sih mereka mengusut kasus Century sampai tuntas tas tas tas...? Nah, Mas Pram yang mimpin sidang bilang, ndak papa toh baru 2 kali, yang penting tidak sampai 32 kali...''

''Bagong?'' Togog sebagai kakak Semar, mewakili Semar meminta pendapat si bungsu ponokawan Pandawa.

''Wah, Pakde Togog, Ariel itu siapa saya ndak tahu. Biasanya kalau dipanggil Ariel itu nama aslinya Syahril. Padahal saya ndak tahu Syahril Djohan, SD, sekarang di mana. Dan apakah masih sungguh-sungguh diperiksa dalam perkara makelar kasus. Yang masih dikuyo-kuyo kan SD yang lain, Susno Duadji. Terus soal Century saya juga sudah lupa, apa itu. Kesuwen. Kelamaan. Jadi saya no comment saja, Pakde.''

''Kalau soal angka 32, Gong?''

''Nah, kalau soal angka itu saya inget persis, Pakde. Itulah jumlah tahun ketika Pak Harto berkuasa. Total jenderal keseluruhannya 32 warsa. Ini kita hitung sejak 1966 sampai 1998.''

***

Atas nama Semar, dari berbagai masukan, Togog menyimpulkan pandangan baru. Raden Mintaraga alias Arjuna, menurut Togog, tidak prihatin lantaran merasa kalah pamor pada Ariel. Sang Palguna itu berpuasa bicara selama hampir 32 hari 32 malam lantaran ingin menghayati betapa kuat dan berwibawanya pemerintahan Pak Harto selama 32 tahun.

Seburuk-buruknya zaman Pak Harto, mana mungkin hakim ndak patheken pada pertimbangan presiden yang disokong aspirasi masyarakat. Ingat kan? Waktu itu Pak Presiden minta agar Bibit-Chandra dibebaskan dari kasus dugaan pemerasan terhadap Anggodo. Rakyat mendukung. Dukungan diperkuat oleh Tim 32 dibagi 4 yaitu Tim 8. Maka pemimpin KPK itu bisa kembali aktif jadi komandan kesatuan tempur pada korupsi.

Satu-satunya kantor yang digadang-gadang rakyat bisa mengusut kasus Century kan KPK. Orang-orang sudah ndak percaya kepada kejaksaan dan kepolisian. Eh, sekarang pengadilan memenangkan Anggodo. Artinya Bibit-Chandra akan diseret kembali ke pengadilan. Kantor KPK akan kembali kosong. Musnah sudah harapan masyarakat agar kasus Century diusut secara tuntas tas tas tas....

Tunggu dulu...Limbuk dan Cangik datang tergopoh-gopoh. Pembacaan kesimpulan oleh Togog terhenti. Ponokawan Limbuk yang disertai emaknya itu menangis lantaran gagal berfoto dengan Presiden Obama di Indonesia. Dia cuma punya potret bareng Obama di Amrik.

Napas Limbuk masih tersengal-sengal karena tangis, dan kembang-kempis karena berlarian jauh dari kantornya di Astina.

''Kebangeten Kang Obama itu,'' kata Limbuk. ''Sudah dua kali dia mblenjani janji akan datang menengok saya. Padahal kurang apa saya menjaga perasaan Obama. Saya tahu dia dan para leluhurnya sangat tergantung fulus Yahudi. Makanya pas Israel menyerang kapal bantuan kemanusiaan ke Palestina, pas pemimpin negara-negara lain mengutuk Israel, saya nahaaaaan supaya tidak mengutuk Israel.''

Jeda tangisan. Setelah itu Limbuk berlanjut, ''Saya tidak ngutuk Israel karena saya takut nyakiti perasaan Obama. Harga diri saya sudah saya gadaikan demi Obama. Eh, masih juga Obama batal copy darat dengan saya. Dua kali gagal lagi deh cita-cita saya untuk memamerkan foto saya meluk Obama di Indonesia kepada Pak SBY...hiks..hiks...hiks...''

''Tenang, Mbuk,'' hibur Bagong. ''Baru batal 2 kali. Belum 32 kali...''

***

Ternyata berita acara Togog harus diperbaiki. Kedatangan Limbuk meski semula cuma mau curhat atas batalnya Obama ke Indonesia sebanyak 32 dibagi 16 kali alias 2 kali, ternyata juga membawa info penting dari juragannya di Astina, Dewi Banuwati. Kekasih gelap Arjuna itu bilang, sesungguhnya Arjuna menyesal. Kenapa waktu zaman mereka masih hot-hot-nya pacaran belum musim kamera video. Akibatnya Arjuna nggak bisa pamer bukti.

Jadi bukan soal angka ''32'' itu yang biangkerok masalah buat Arjuna. Wong waktu Julio Iglesias didesas-desuskan pernah tidur dengan 3.000 perempuan, Arjuna juga menter kok. Tenang-tenang saja. Karena penyanyi dari Amerika Latin itu tak sanggup menunjukkan bukti rekaman video.

Anehnya, Cangik, sama-sama dari Astina dan dari sumber yang satu, Dewi Banuwati, Permaisuri Raja Duryudana, punya info penting yang berbeda. Konon menurut Banuwati, kekasih gelapnya diam saja prihatin selama 32 hari 32 malam karena video porno dipakai untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Sekarang berita-berita tentang rentetan Gayus dan mafia perpajakan ketutup soal video porno.

Risang Dananjaya, menurut Banuwati, adalah tokoh yang kepekaan sosialnya tinggi sekali. Dananjaya prihatin, berita-berita penyergapan teroris sudah tak mampu lagi mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu ketidakadilan yang lain termasuk soal Century. Maka dialihkanlah kepedulian masyarakat kepada pornografi. Nanti kalau video porno sudah tidak mempan lagi mengalihkan perhatian masyarakat pada isu-isu sosial, kita akan memerlukan pengalihan apa lagi?

Itulah yang membuat Dananjaya prihatin.

***

Keprihatinan orang biasa mungkin tak menimbulkan apa-apa. Lain halnya kalau yang nandang sungkawa tokoh spiritual sekelas Arjuna. Kahyangan Suralaya geger. Batara Guru penguasa kahyangan tersebut segera memerintahkan Batara Indra turun ke Mayapada, menemui Arjuna.

Dulu waktu nyambangi Arjuna sebagai Begawan Ciptaning di gua Mintaraga, Batara Indra menyamar pandita tua, Resi Padya. Sekarang Indra menyamar sebagai murid sekolah dasar yang sedang kesengsem video porno di telepon genggamnya.

Dulu Resi Padya menguji Arjuna dengan angka-angka. Arjuna disuruh menebak jumlah butir beras yang digenggam Resi Padya dan apa makna jumlah tersebut. Sekarang, bocah sekolah dasar samaran Batara Indra pun menggladi Arjuna tentang apa itu angka 32. Ah, Arjuna menjawabnya dengan tangkas.

''Angka 32 itu keramat, wingit, karena diotak-atik dengan cara apa pun tetap punya makna. Lihatlah 3 tambah 2 itu lima. Panca wiwijangan. Indra kita berjumlah lima. Itu yang wajib kita pertimbangkan. Lalu 3 kali 2 itu enam. Sad wiwijangan. Itu yang namanya krenteging ati, firasat. Itulah tambahan pertimbangan buat kita. Dan tahukah kamu, Le, bocah sekolah dasar, 32 dibagi 8 sama dengan 4...ada 8 ada 4...8,4 triliun...itulah yang diusulkan jadi dana aspirasi anggota DPR...''

''Hahaha...Jangan guyon, Oom Arjuna,'' kata si murid sekolah dasar, lalu matanya kembali ke video porno di HP-nya.

''Aku serius. Kembali ke 32. Sadarkah kamu, 3 pangkat 2 itu 9. Itulah jumlah lubang pada setiap insan, babahan hawa sanga, yang harus kita kendalikan saat meditasi. Panca indra dan firasat harus kita pertimbangkan tapi bukan segala-galanya. Keheningan kalbu saat kita menguasai babahan hawa sanga justru harus menjadi komandan untuk mengarahkan panca indra dan firasat dalam menanggapi apa pun termasuk soal video porno. Maka, hei bocah, lewat puasaku ini aku minta bantuanmu untuk menggugah kesadaran masyarakat agar jembar wawasannya dalam menanggapi video porno...''

''Ah, Oom Arjuna, aku cuma bocah SD, apa dayaku?''

''Jangan mungkir. Kembali ke 32. Angka 3 dikurangi 2 jadi 1. Itulah satu-satunya wujud yang kini ada di depanku: Batara Indra.''

Bocah SD ber-HP video porno itu badar jadi aslinya, Batara Indra, dan merangkul Arjuna. (*)

DISADUR SELENGKAPNYA DARI JAWA POS, KOLOM MINGGUAN, WAYANG DURANGPO

Episode 44 Heboh Video Mirip Duryudana-Dewi Dollywati
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 21 Juni 2010
Diunggah oleh ARAGOS

Image
ilustrasi Budiono/Jawapos
LISTRIK boleh jadi pahlawan di Dhaka, Bangladesh. Masyarakat di sana begitu mendamba pada listrik. Listrik padam, mereka tak dapat nonton via televisi dua tim favorit mereka, Argentina lawan Nigeria di Piala Dunia 2010. Maka ngamuklah mereka dan merusak kota.

Lain lubuk lain ikannya.
Lain listrik di Bangladesh, lain pula listrik di suatu negeri. Di negara itu listrik malah jadi kambing hitam.
***

Sudah ada titik gamblang soal video porno yang dibintangi orang yang mirip Prabu Duryudana dan mirip permaisurinya, Banuwati. Begitu juga video antara orang yang pleg memper Raja Astina itu dengan perempuan entah siapa. Konon namanya Dewi Woro Sri-Dolly. Mereka ndak perlu lagi repot-repot bikin pernyataan pers bahwa mereka nggak kayak yang dituduhkan oleh masyarakat. Titik terangnya adalah PLN. Akhirnya listriklah yang dinyatakan bersalah.

Tanpa listrik, ndak mungkin penduduk sanggup nyetel adegan-adegan ulah kridaning priyo-wanodya itu. Tanpa listrik, ndak mungkin orang sanggup mengabadikan momen-momen karonsih tersebut.

Gareng mendebat Bagong. Menurut Bagong, muter gambar pakai komputer di kantor-kantor baru pakai listrik. ''Nek nyetel gambar-gambar itu lewat handphone, kan cuma pakai batere?'' kata si bungsu ponokawan. Gareng dengan gampang membantah. Menurut si sulung, mau pakai batere atau apa, tetap saja orang-orang pada dasarnya menggunakan listrik. ''Coba saja kalau batere itu ndak dicolokkan ke PLN, apa bisa jalan?''

''Ooo, jadi yang salah PLN?'' ponokawan Petruk menyela. Seperti biasa, ia asal ngomong. Meski asal njeplak Petruk mulai bisa mengerti kenapa kok akhirnya pakar-pakar hukum tidak baku bantah lagi soal siapa yang bersalah dalam perkara video porno.

Pantesan, pikir Petruk, orang-orang sudah tidak pating pecotot lagi bab siapa yang keliru dalam kasus video porno. Apa yang salah pelaku adegan, pengambil gambar atau orang yang menyebarkan gambar-gambar itu. Apakah terhadap semua itu akan dikenakan pasal-pasal dalam KUHAP, apa undang-undang pornografi atau apa ITE.

Semua tak lagi saling menyalahkan. Kambing hitam sudah ditemukan. Tapi mereka juga tidak mau begitu saja mengambing-hitamkan alam. Mereka belajar hal ini dari kasus lumpur Lapindo yang sudah 4 tahun lebih terkatung-katung. Sekarang semua sudah sepakat. Yang bersalah dalam kasus video porno adalah listrik.

***

Namanya juga negara yang ngakunya demokratis. Mesti ada yang beda pendapat. Wong Indonesia itu tidak terdiri atas 240 juta penduduk. Yang bener, negeri khatulistiwa ini terdiri atas 240 juta pendapat. Yang ndak sarujuk menyalahkan listrik bilang, listrik justru sangat berfaedah.

Ingat, sebelum ABRI (sekarang TNI) dan listrik masuk desa pada zaman Pak Harto, desa-desa begitu gelap. Maka pertambahan penduduk begitu cepat. Banyak banget orang hamil. Dikit-dikit hamil. Dikit-dikit meteng.

Oooo jroning peteng akeh wong lali

Jroning lali akeh wong meteng...

Maka, setelah terang-benderang, perempuan hamil jadi berkurang.

Dan lihatlah, dalang-dalang kalau manggung juga tidak perlu lagi pakai lampu obor wayangan, blencong. Dulu sebelum listrik populer, berapa kali dalam semalam suntuk dalang kudu berdiri ngisi minyak blencong di atas kepalanya? Belum lagi percikan-percikan api blencong seperti kunang-kunang yang suka mampir ke wajah dan blangkon dalang.

***

Alkisah, saking tak ingin turut menyalahkan listrik dalam kasus video porno, sampai-sampai seorang dalang secara spontan sedikit mengubah lakonnya ketika pentas. Semula Pak Dalang diminta melakonkan terjadinya alam semesta yang mirip teori big bang atau ledakan raksasa dalam astronomi.

Ingat kan? Kaum astronom yakin dan bisa kasih penjelasan, alam semesta semula berasal dari benda yang besarnya ibarat lebih kecil dibanding sebutir merica. Tapi kepadatan benda sa' merico binubut ini amat sangat tinggi. Maka besar pula gravitasinya. Jangankan Anggodo, cahaya yang lewat nun jauh di atasnya saja bisa belok tersedot oleh benda itu. ''Merica'' ini kemudian meledak. Puing-puingnya menjelma matahari, bumi, bulan, dan berbagai-bagai yang lain.

Di alam pedalangan, big bang adalah sebutir telor yang menetas. Kulitnya membentuk Togog, ponokawan bagi dunia hitam. Putihnya berganti rupa Semar, ponokawan bagi dunia putih. Kuningnya mak jleg jadi Batara Guru yang menguasai kahyangan.

Improvisasi yang dibuat Ki Dalang malam itu ngene:

Telor ayam tidak menetas. Telor hanya dierami oleh anak manusia. Anak manusia ini, kelahiran Ohio Amerika 1847, memang sangat nyleneh sampai-sampai di-DO, dikeluarkan dari sekolah. Si anak drop out sekolah itu yakin, kalau dierami ayam telor bisa netas, berarti dierami manusia, dengan panas dan kehangatan yang sama, telor itu akan netas pula.

Anak itu bernama Thomas Alva Edison yang kelak dalam jalan hayatnya berhasil menemukan listrik.

***

Pak Dalang melakonkan, anak yang dipanggil Al itu ndak terima hasil temuannya dijadikan kambing hitam dalam perkara video porno mirip Duryudana-Banuwati-Dewi Dollywati. ''Nangkanya yang makan Prabu Duryudana, kenapa saya dapat getahnya,'' kata si Al kepada para ponokawan.

Semar yang sudah moksa bersama kepergian Gus Dur sampai akhirnya pulang kembali ke mayapada. Di kahyangan, Batara Ismaya yang selalu manjing dalam raga Semar menyuruh sang Badranaya itu kembali hidup di tengah-tengah alam manusia.

''Sabar, Nak Alva,'' ujar Semar. ''Para manusia tidak salah kalau bilang kamu itu biang gara-gara video syur Cut Maya dan Luna Tari. Lha kalau tidak menyalahkan kamu, mereka mau menuding siapa lagi? Mau melempar kesalahan ke Gayus? Kasihan Mas Gayus itu. Belum turut disalahkan dalam soal video indehoi saja, dia sudah susah hidupnya. Susah sekali kok dia nginget-ngiget duit di tabungannya 74 milyar itu dari sopo wae.''

Semar melanjutkan, ''Mau menyalahkan polisi dalam kasus video porno ini?
Kasihan lho polisi-polisi itu. Jangan kamu cuma lihat penggede-penggedenya. Itu cuma segelintir. Ribuan yang lain, yang pangkatnya rendah, hidupnya sudah susah. Apalagi prajurit bawahan di TNI. Ndak bisa mereka turut disalahkan dalam kasus video porno ini. Tanpa dibegitukan saja prajurit TNI itu hidupnya sudah jauh lebih susah dibanding polisi rendahan.''

Ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong mengernyitkan dahi. Lama tidak njedul, muncul-muncul kok omongan Semar agak ngawur. Apalagi ketika Janggan Asmarasanta itu menyinggung Piala Dunia.

''Soal Century, soal Dana Aspirasi, soal video porno, kita harusnya bisa menyalahkan si Micho (maksud Semar adalah Martin Demichelis, bek Bayern Muenchen). Tapi biarlah pemain belakang Timnas Argentina ini ndak usah kita hukum. Dia sudah cukup dihukum oleh alam semesta. Bolanya dicolong oleh Lee Chung-yong dari Korea Selatan. Si Micho khilaf, bola yang dijambret dan ditendang Lee ndak kejangkau kiper Sergio Romero. Gol!!!''

***

Orang yang paling keras menentang pengkambing-hitaman listrik adalah Sagopa, orang miskin dari pedesaan Widorokandang. Di desa melarat itu ia dipasrahi mengasuh masa kanak-kanak tiga bersaudara: Baladewa, Kresna, dan Subadra. Listrik di rumahnya cuma 450 watt.

''Omong-omong soal video porno, saya tidak mau ikut-ikutan menyalahkan listrik. Karena listrik baik hati. Buktinya, bos PLN Dahlan Iskan punya usul bila rumah dengan daya 450 watt digratiskan,'' ujar Sagopa.

''Nah, gitu dong,'' puji Thomas Edison. ''Jangan salahkan listrik.
Kita salahkan saja pelaku adegan video porno.''

''Wah, saya tidak setuju,'' balas Sagopa. ''Pasangan orang-orang tua seperti kami ini sudah tidak bisa kumpul suami-istri. Kami baru bisa berbuat itu kalau pakai pemanasan nonton dulu video syur. Kami justru mengucapkan terima kasih kepada pelaku, pengambil gambar, dan pengedarnya. Matur nuwun. Sudah berapa juta pasangan lansia yang telah mereka bantu untuk kembali bergairah.''

Semar tersinggung. Kakek-kakek gaek ini mematikan video porno di pesawat televisinya, pindah ke tayangan langsung mirip Piala Dunia.
(*)

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom MIngguan, Wayang Durangpo

EPISODE 45 Jin Buang Anak di Wanamarta
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 27 Juni 2010
DIUNGGAH OLEH ARAGOS
Image
Ilustrasi Budiono / Jawa Pos
…………………………….

Ooo...Amenangi zaman edan

Sopo sing gak dandan gak kumana

Nanging sakbejo-bejone wong sing dandan

Luwih bejo maneh wong sing dandan tapi tambah terus dandan

ANGKANYA sama, 32. Yang beda cuma maksudnya. Angka selapan kurang tiga itu bukan genapnya kaum bidadari dunia. Itu bilangan peserta Piala Dunia 2010 yang hari ini kesaring tinggal jadi 16 tok. Prancis mbarek Italia yang biasa digadang-gadang masuk final, hehehe...jeblok juga. Wong untuk masuk 16 besar saja mereka gak dapet pintu. Yang gak dinyana-nyana seperti Slovakia, Korea Selatan, Jepang, Meksiko malah lulus seleksi di negara orang-orang kulit manggis itu.

Ini membuat Gareng bikin analisa. Kalau begitu partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, dan PDI-P yang dilelo-ledung masuk final Pemilu 2014, bahkan perempat final juga belum tentu nyemplung. Mungkin saja lho nanti yang nepuk dada malah partainya Paijo dan Paijem. Paijo kalau tidak salah bikin calon partai Nasional Demonstran. Paijem bikin calon partai nasional apa gitu..Oh, ini, partai lokal Nasional Lumpur Jawa Timur.

Dua-duanya tidak punya dana kampanye. Wong makannya saja kalah mahal ketimbang kelincinya Prabu Duryudana. Apalagi kalau harus mbayari konsultan politik kayak Batara Narada dan Batari Durga yang lihai mengubah citra para calon.

Mahal lho. Dan, biasanya sukses. Calon akhirnya terpilih.

Batara Narada pernah ndandani Subadra dan Srikandi. Tak tanggung-tanggung jadi perempuan yang berbeda sama sekali. Keduanya malah dadi wong lanang. Masing-masing jadi Bambang Sintawaka dan Bambang Kandihawa. Dengan topeng tersebut kedua istri Arjuna ini mencari suaminya yang ndak pulang-pulang. Padahal Arjuna bukan sopir truk jalur pantura yang di belakang baknya tertulis ''Jangan Kau Buat Aku Duda Nestapa''.

Ooo...Amenangi zaman edan

Sopo sing gak dandan gak kumanan

Nanging sakbejo-bejone wong sing dandan

Luwih bejo maneh wong sing dandan tapi tambah terus dandan

Masih soal macak-memacak, dengan bayaran yang jauh lebih selangit, Batari Durga dari Setra Gandamayit pernah maesi Burisrawa yang bermuka raksasa menjadi pemuda berparas ganteng tatkala anak Prabu Salya ini gandrung-gandrung kapirangu pada Dewi Subadra dari Mandura. Sama tampannya dengan Arjuna. Nyaris saja Subadra alias Rara Ireng terkecoh. Persis pada umumnya masyarakat ngiler tergiur mencontreng orang-orang maupun partai-partai hanya gara-gara kepincut polesan juru rias politik.

Untung waktu itu ponokawan Semar membuat Mbok Badra eling. Orang jangan dinilai dari tampang, penampilan atau kampanyenya. Adik Prabu Baladewa dan Kresna ini ingat buah dondong. Mukanya bagus tapi isinya berduri. Lalu Subadra inget kulitnya sendiri yang seperti buah manggis. Mampirlah kenangannya pada lagu Rhoma Irama yang dibawakan Rita Sugiarto...hitam kulitnya hitam...tetapi putih isinya..itulah...manggis namanya....

Setelah Subadra alias Bratajaya siuman, Semar alias Badranaya kasih garis bawah, ''Sejatinya kalau semua kita selalu eling lan waspodo perumpamaan manggis dan kedondong, semua konsultan politik itu akan gulung tikar. Mata hati masyarakat sepertinya akan dipolesi minyak jayeng katon milik Ndoro Arjuna. Mata mereka akan tembus langsung sanggup menerawang isi, bukan cuma melihat kulit-kulit bikinan konsultan politik.''

***

Paijo dan Paijem dalam mencalonkan diri belajar dari kesaksian ponokawan Petruk ketika nderek Pandawa babad hutan Wanamarta. Menurut Petruk, kampanye Prabu Yudistira dan seluruh adik-adik Pandawa tidak pakai mulut dan pengeras suara maupun spanduk dan iklan-iklan. Mereka langsung bekerja di dapil alias daerah pemilihan tersebut.

Suri tauladan itulah yang diambil oleh Paijo dan Paijem. Keduanya langsung bekerja di dapilnya masing-masing lima tahun sebelum pemilu berlangsung. Nanti pas pemilu ndak pakai kampanye-kampanyean karena masyarakat sudah mengenal mereka.

Coba, kurang apa Wanamarta alias Kandawaprasta. Awalnya kawasan itu ibarat kandang jin buang anak. Bos jin bernama Yudhistira. Adik-adiknya bernama Dandunwacana, Kombang Ali-ali, serta Nakula-Sadewa. Tapi saking nge-fansnya pada kerja nyata Pandawa yaitu Puntadewa, Bima, Arjuna, dan kembar Pingten-Tangsen sampai-sampai jin-jin yang semula anti itu kemudian bergabung. Mereka malah sampai menghadiahi namanya masing-masing. Puntadewa jadi Yudhistira. Bima salin Dandunwacana. Arjuna malih Kombang Ali-ali. Kembar tambah julukan Nakula-Sadewa.

Paijo lebih fokus pada tauladan Pingten. Dia mengerjakan pertanian dan penghijauan di tiga kabupaten dapilnya. Dalam tempo hampir 3 tahun, penduduk sudah bisa merasakan kerja Pingten. Tak cuma sawah dan tegal penuh tanaman. Pekarangan belakang penduduk telah menjadi karangkitri, penuh tanaman obat-obatan dan lalap-lalapan. Sekali dua kali, Paijo meniru Puntadewa mengajarkan olah spiritual, meneladani Arjuna melatih bela diri, tut wuri Bima membangun infrastuktur pedesaan seperti jalan dan irigasi.

Paijem di dapil lain juga seperti itu. Ia tiru Puntadewa, Bima, dan Arjuna, tapi ia tidak lebih fokus pada tulada alias contoh Pingten sebagai pemelihara flora. Titik berat Paijem lebih pada palupi atau tauladan Tangsen sebagai pemelihara fauna. Rata-rata penduduk di tiga kabupaten dapil Paijem sekarang telah memiliki kambing, kerbau, dan sapi yang montok-montok dan semok-semok. Setiap hari terdengar lenguhan kerbau-sapi dan kambing mengembik selain suara kutilang, podang, gelatik, dan lain-lain di dahan ranting, di pohon-pohon, baur dengan bunyi ayam bekisar dan para jengkerik.

***

Tahun 2014.

Sekarang yang agak kewalahan Bagong. Konco-konco Bagong yang bekerja di media cetak, media televisi, radio, dan sablon kaus juga spanduk sekarang mulai mengeluh. Bagong hampir tiap hari dicurhati mereka bahwa dalam pemilu sekarang media massa dan sablon kaus akan bangkrut.

Kekhawatiran mereka, berdasarkan dukungan moral terhadap Paijo dan Paijem, tidak akan ada lagi reklame dari partai politik dan tokoh-tokoh politik di media massa, kaus-kaus, dan umbul-umbul. Semua sudah merasa telat dan kalah start dengan Paijo-Paijem yang kini menjadi buah bibir masyarakat meski tanpa melalui pariwara. Apalagi Paijo dan Paijem sudah ditiru oleh ribuan kontestan lain yang bermodal dengkul baik di pemilu besar maupun pemilukada.

''Alah, Gong, Gong...,'' kata salah seorang ahli keluh kepada Bagong. ''Daripada pasang advertensi dan bikin kaus, mending duitnya buat kawin lagi saja.''

Juru keluh yang lain menggerutu, ''Kampanye di baliho-baliho? Nempel potret di pohon-pohon? Apikan duitnya buat pasang taruhan Piala Dunia tahun ini (2014). Kita mesti kalah sama Paijo-Paijem. Mereka sudah kampanye diem-diem, kerja nyata sejak lima tahun yang lalu.''

***

Ternyata iklan media massa dan sablon kaus masih payu buat kampanye partai politik dan para tokohnya. Para karyawan media massa dan tukang kaus kembali punya greget kerja. Keluarganya kembali semringah. Sebabnya? Partai dan tokoh-tokohnya tiba-tiba ngeh, Piala Dunia berbeda dengan pemilu. Menurut ponokawan Limbuk dan Cangik, di Piala Dunia wasit tak etis ujuk-ujuk berhenti di tengah jalan untuk ganti peran jadi pemain. Pemain jadi pelatih banyak, seperti Diego Maradona dan Franz Beckenbauer. Maka bisa muncul unggulan-unggulan baru yang tak disangka. Sebut misalnya Slovakia dan Meksiko.

Penjelasan Limbuk dan Cangik itu tentu sukar kita nalar. Hubungannya apa antara tak adanya pergantian wasit ke pemain dan munculnya unggulan baru seperti Korea Selatan dan Jepang. Tapi coba kita ikuti saja penalaran ponokawan perempuan ini.

Menurut mereka, di dalam pemilu, wasit bisa dadakan mandek di tengah jalan dan lalu jadi pemain. Tokoh KPU bisa berhenti di tengah jalan, lalu jadi pemimpin partai politik. Contohnya Ibu Andi Nurpati. Maka, tidak mungkinlah orang-orang macam Paijo dan Paijem menang pemilu. Pemenangnya pastilah semua yang sudah kita ramalkan via kampanye gede-gedean dan polesan tata rias oleh konsultan politik.

Tiba-tiba salah seorang teman Bagong yang bekerja di sablon kaus ketangkap nyolong ayam. ''Kamu ndak tahu to berita baru?'' tanya Bagong. ''Pekerjaanmu di sablon gak jadi terancam bubar. Orang-orang akan tetap kampanye seperti biasa. Lha kok kamu nyolong ayam?''

''Ngene lho Mas Bagong, saya itu ngefans banget sama artis-artis. Tapi minta tanda tangan susah banget. Makanya saya pengin masuk penjara, biar gampang minta tanda tangan sekalian nginep bareng,'' kata teman Bagong itu sekenanya. (*)

......................


EPISODE 46 Weladalah...Kaum Waria di Negeri Wirata
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 04 Juli 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image MENURUT pakem pewayangan, rampung 12 tahun ngumpet di belantara, Arjuna masih harus singitan setahun lagi di kerajaan Wirata. Anggota Pandawa ini harus nyamar jadi waria. Namanya juga harus khusus. Nggak boleh mirip dengan nama konco-konco waria di Stasiun Malang. Namanya Kandi Wrahatnala.

Tapi onok masalah. Nduk negara yang dirajai Prabu Matswapati itu lagi santer-santernya ada gerakan anti-waria yang diprakarsai oleh ormas FPK, Front Pembela Kebetulan. Barang siapa tidak betul akan dibetulkan. Nek perlu kebetulan itu akan ditegakkan lewat jalur jotos-jotosan.

Saking judeknya dan takut jadi banci, Arjuna punya ide lain. Yok opo nek sesinglon warni jadi koruptor saja? Jadi koruptor akan jauh lebih aman ketimbang jadi bences. Front Pembela Kebetulan di negeri Wirata toh tak akan ngganyang bala koruptor. Biasanya mereka cuma punya nyali ngamuk anderpati pada penyanyi seksi, penjual miras, tukang judi, dan waria. Mungkin karena korupsi dianggap sudah betul. Tidak perlu dibetul-betulkan lagi melalui tinju gaya bebas.
 
Nama ganti Arjuna sudah disiapkan. Yaitu Raden Wraha Rekening. Wraha berarti babi hutan alias celeng. Raden Wraha Rekening berarti ksatria yang tabungannya tambun seperti celeng.

***

Ponokawan Bagong mendukung sekali. Itung-itung, ketimbang juragannya nyaru jadi banci malah diantemi Front Pembela Kebetulan, remuk jadi kerupuk nduk Rawon Setan. Arjuna alias Ciptaning total menyamar jadi perempuan pun bungsu ponokawan itu ndak setuju. Bilang misalnya berganti rupa Rieke Dyah Pitaloka dan Ribka Tjiptaning yang baru saja bertandang ke kawasannya Menak Jinggo.

''Mpun to, ndoro Arjuna. Monggo nyamar jadi koruptor saja. Raden Wraha Rekening itu nama yang tepat,'' kata Bagong.

Balik ke ide semula njadi wandu Kandi Wrahatnala? Ooo, Bagong tidak bisa membayangkan akibatnya. Kekuatan Front Pembela Kebetulan sangatlah dahsyat. Di mata Bagong setara dengan Raden Gandamana, mahapatih Pancala. Ia ingat salah satu guru Bima ini menghajar Harya Suman yang awalnya ganteng sampai babak belur jelek jadi Sengkuni. Dilibasnya pula Bambang Kumbayana yang asalnya cakep sampai buruk rupa dan full cacat jadi Pandita Durna.

Ooo...Bagong tidak bisa membayangkan tindak-tanduk Gandamana itu akan dipraktikkan oleh Front Pembela Kebetulan kelak terhadap waria Kandi Wrahatnala.

Hanya Gareng yang masih pikir-pikir apakah ide Arjuna menyamar koruptor memang sudah pas. Sulung ponokawan ini mandek-mangu. Jadi waria Kandi Wrahatnala yang menjadi guru masak dan tari di dalam keraton, lebih mungkin tidak dipergoki oleh Front Pembela Kebetulan. Jadi koruptor? Waduh! Nanti kalau dituntut dan diselidiki oleh Jaksa Agung, tak urung identitas Raden Wraha Rekening akan terungkap di pengujung 12 tahun persembunyian Pandawa. Dan itu berarti, sesuai perjanjian judi dengan Kurawa, Pandawa harus balik lagi sembunyi di rimba selama 12 tahun.

***

Kita tahu sama tahu, setelah kalah taruhan dalam lakon Pandawa Dadu, Kurawa mewajibkan Pandawa sembunyi di hutan selama 12 warsa. Dalam tempo itu sekilas pun mereka boleh ketahuan keberadaannya. Jika ketahuan, mereka harus mengulang hitungan 12 tahun kembali dari nol.

Syahdan, di suatu hari sukro alias Jumat, di tengah hutan, tepatnya di tepi Telaga Dewatawana, Dewi Drupadi yang sedang ditemani Bima terpana oleh teratai keemasan yang tiba-tiba kampul-kampul di muka telaga.

''Bima yang gagah pideksa,'' lirih ucapan Dewi Drupadi, istri para Pandawa, ''Kalau kau memang mencintaiku, setimpal dan setara seluruh cinta kakak dan adik-adikmu terhadap diriku, tolong ambilkan teratai kencana itu, untukku...''

''Hmmmm...'' Bima cuma nggereng-gereng. Ksatria Jodipati ini memang telah mendapat warisan aji Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa dari Raden Gandamana, aji yang sangat sakti dan mungkasi karya. Tapi Bima juga sangat awas. Terawanglah! Telaga Dewatawana bukan telaga biasa. Sangat angker. Hantu Keramas dan Suster Ngesot pun dijamin merinding mencebur telaga itu.

''Ayolah Bima, satrio godek wok simbar jojo. Begitu nistakah diriku sebagai istri kalian? Sampai tak berhak mencicipi sedikit kebahagiaan di tengah siang malam menemani pembuangan Pandawa selama hampir 12 tahun. Kalau kamu tidak dapat...?''

Byurrrr!!!!

Bima mencebur telaga. Bareng dengan penggebyuran Bima, telik sandi Kurawa yang sudah lama mengendap-endap di balik pohon beringin alas seketika menyergap sang Dewi. Jeritan Drupadi terdengar sampai ke balik gunung. Arjuna tersentak. Maling berhasil disergap dan diringkusnya. Ternyata sang durjana adalah Raden Jayajatra yang sejak dulu kala memang ngebet pada Drupadi. Ksatria dari Banakeling itu diserahkan kepada pemimpin Pandawa, Puntadewa. Cilakanya, Puntadewa mengampuni dan menyuruh Jayajatra pulang ke markas Kurawa di Astina.

Hutan pengasingan kembali tenteram.

Tiga hari setelah itu baru Pandawa panik. Gara-garanya Gareng pas tidur nglindur, ''Lho, Jayajatra akan lapor ke Prabu Duryudana. Berarti seluruh Kurawa sekarang sudah tahu di mana Pandawa berada...Aduh berarti kita harus mengulang nderek Ndoro Arjuno ngungsi 12 tahun lagi... waduh...waduh...!!!"

Gara-gara inilah Pandawa memutuskan segera hengkang dari hutan. Mereka mencari persembunyian baru sampai akhirnya mendapatkan gerbang negeri Wirata.

Sssttt....Andai ponokawan Petruk sudah pulang dari cuti ngungsi, mungkin Pandawa tak perlu tergopoh-gopoh pindah. Raden Jayajatra, menurut Petruk, tidak pernah resmi diangkat mewakili Kurawa. Maka ilegallah seluruh kegiatannya atas nama Kurawa memata-matai Pandawa.

***

Di luar hutan, ketika cuti pulang kampung, Petruk mendengar desas-desus bahwa kedudukan Jaksa Agung tidak sah. Tidak pernah ada surat pengangkatan oleh presiden. Itu menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Betul atau tidak betulnya fakta ini Petruk tidak tahu betul. Biarkan itu jadi urusan Front Pembela Kebetulan. Tapi, dari kabar burung itu Petruk jadi teringat lakon yang sama. Raden Jayajatra juga gak punya surat pengangkatan sebagai orang Kurawa lho.

''Ooo..gichu to? So actually Jayajatra itu not orang Kurawa?'' tanya lelaki di sebelah Petruk. Lelaki mirip pemain bola Jose Antonio Reyes dari Atletico Madrid ini adalah teman seperjalanan kereta api Petruk yang akan melintasi Saradan, Madiun.

''No. Jayajatra is all Pandawa men malah. Dia itu ari-arinya Bima. Tapi bungkus Bima ini kuat sekali. Ndak pecah-pecah. Akhirnya sekjen dewata Batara Narada cawe-cawe...''

''What? Cewek-cewek?''

''No. Cawe-cawe is Down-Hand...Turun tangan. Narada meminta gajah Astina bernama Sena untuk menendang bungkus itu. Bungkus pecah. Ketuban muncrat. Bima nongol. Bungkusnya tersapu angin menjadi Bambang Sagara alias Arya Tirtanata...ya Raden Jayajatra. Tanpa surat pengangkatan, Mahapatih Sengkuni dari Kurawa membiarkan Jayajatra bergabung dengan Kurawa, dibiarkan merasa jadi anggota kesebelasan itu.''

***

Di dalam hutan, Gareng dan Bagong tidak tahu bahwa Petruk masih dalam perjalanan dengan kereta api. Mereka hanya tahu, harusnya hari itu Petruk sudah habis masa cutinya. Petruk sudah harus masuk kerja menemani pengungsian para majikan.

Andai Petruk telah tiba, Arjuna dan para Pandawa ndak perlu repot-repot meninggalkan hutan karena yang menandai keberadaan mereka baru Jayajatra. Penyidik ini tidak mempunyai surat pengangkatan resmi dari godfaher Kurawa, Prabu Duryudana.

Kalaupun Pandawa harus meninggalkan hutan juga karena sudah bosan hampir 12 tahun tenguk-tenguk di dalamnya, saban hari mbumbuti lintah di badan, keberadaan Petruk akan membuat Raden Arjuna mantab. Arjuna tak perlu ragu-ragu untuk menyamar menjadi koruptor bernama Raden Wraha Rekening.

Oooo...cuti pulang kampung membawa berkah buat Petruk. Di kampung dia dapat banyak pelajaran yang tak mampu diraihnya dari dunia wayang. Petruk akan matur pada Ndoro Arjuna, ''Sudahlah. Jadi koruptor lebih aman kok. Kalau ada koran atau majalah bikin kabar soal rekening Ndoro, kalem saja. Ndoro tidak akan diusut. Kedok Ndoro tidak akan terungkap. Yang akan diusut bukan pelaku koruptornya kok, tapi siapa yang menyebarkan nomor rekening itu ke koran...dakwaannya melanggar rahasia negara.''

Ah, sayang disayang Petruk belum sampai di hutan itu. Ia masih dipijeti oleh suster di rumah sakit. Kereta apinya masuk jurang.

Lalu masuk ke rumah sakit itu Front Pembela Kebetulan. Petruk senang. Mereka pasti akan memburu siapa saja yang ndak betul, yang jadi biang keladi kecelakaan kereta api berkali-kali.

''Sssttt...Bukan,'' isyarat suster, ''Mereka akan merazia suster-suster yang pakaiannya seksi...''


***

EPISODE 47 Terenyuh Sepasang Duda di Maliawan
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 12 Juli 2010
Diunggah Oleh ARAGOS
ImageSEPASANG duda di gunung Maliawan. Wajahnya sendu. Keduanya bergerak ke Istana Guakiskenda. Jaraknya masih bergunung-gunung. Nun di balik gunung terakhir, di bekas istana raja raksasa Maesasura itu bersinggasana Resi Subali. Sosoknya kera. Matanya tajam. Dan ia sakti. Dasamuka dan Dewa Indra di kahyangan bahkan takluk. Permaisuri Resi Subali itulah Dewi Tara.

Dewi Tara...Dewi Tara..Putri Batara Indra. Engkaukah itu, perempuan ayu yang mendudakan banyak lelaki?.
Duda pertama Sugriwa namanya, adik kandung Resi Subali. Wujudnya juga rewanda, monyet. Ia pun sakti. Tak aneh, keduanya putra Resi Gotama yang digdaya di Gunung Sukendra. Namun sesakti-sakti Sugriwa apalah artinya dibanding Subali.

Tendangan sakti Sugriwa di hari budha alias Rabu dahulu telah meluluhlantakkan Subali di atas tanah. Lihatlah! Aji Pancasonya membangkitkan Subali kembali hidup. Begitu mayatnya menyentuh bumi, Subali kembali gumregah segar bugar. Seketika ia banting Sugriwa. Sugriwa menyerah, sekaligus wajib menyerahkan istrinya, Dewi Tara, menjadi istri sang kakak

Kini tinggal segunung lagi perjalanan sepasang duda ke Guakiskenda, di balik gugusan kabut, istana pengantin baru Subali-Dewi Tara. Kepada diri sendiri yang sedang dilanda sunyi Sugriwa bertanya, ''Sanggupkah bersama pertolongan duda yang baru kukenal di sebelahku ini...hmmm... Sanggupkah aku merebut Dewi Tara dari rengkuhan kakakku?''

***

Ponokawan Petruk juga bertanya, kok Wayang Durangpo hari ini nggak ada ngawur-ngawurnya babar blas ya. Nggak kritik sana nggak kritik sini. Mana bahasanya sok tertib lagi, kayak orang-orang manis di universitas.

''Mungkin karena dalang sudah merasa nggak ada gunanya lagi ngritik, Truk,'' celoteh Bagong, bungsu ponokawan. ''Kan kritik hanya mempan ke orang yang masih punya malu. Padahal kita sudah lama paceklik isin, kehabisan rasa malu. Pamong daerah yang sudah dua periode mimpin, masih mau tanduk lagi. Kalau ndak gitu, ndorong-dorong istri-istrinya jadi pemimpin baru.''

''Belum lagi, Truk, wakil rakyat, gaji wis sak langit, masih minta dana ini-itu. Abis itu penegak hukum nggak idep isin punya rekening gemuk, tambah ndak malu lagi malah ingin menyelikidi siapa yang main bocorkan nomor rekening. Tak pikir-pikir setelah semua itu kita terus tobat, kembali punya kerasamaluan. Eh, belum. Konco-konco yang ngurus sepak bola, sudah tahu sepak bola kita dedel duwel, perlu perhatian perlu duit perlu ini-itu yang diperlukan buat perbaikan, malah duitnya diperlukan untuk jalan-jalan rombongan ke Afrika Selatan.''

Gareng si tukang analisis mencoba tak turut larut dalam problem sosial. Sulung ponokawan ini mencari-cari kemungkinan lain. ''Wayang Durangpo bisa saja jadi kayak sekarang karena ''Batara'' Arief Santosa. Pukulun itu dewa dari Kahyangan Graha Pena yang menjaga rubrik ini dan ngasih kemerdekaan. Katanya ndak harus ada kritik sosial. Kalau memang lagi ndak mood ngritik sosial, ya ndak usah dipas-paskan dengan peristiwa sosial. Berdiri sendiri saja. Begitu dawuhnya Kanjeng Batara. Dan ndak usah mikir macem-macem. Dalang kan juga manusia. Siapa tahu Wayang Durangpo bisa jadi kayak sekarang ini karena dalangnya lagi jatuh cinta kepada anake sing dodol rujak cingur...''

***

Ooo...Cinta...cinta adalah seluruh keherananku kepada manusia...(kutipan syair Afrizal Malna)

Sugriwa ingin lebih banyak mengadu pada duda yang baru dikenal di sebelahnya. Tetapi bagaimana caranya? Lelaki tampan itu juga terlunta-lunta, baru saja kehilangan istri di hutan Dandaka. Bagaimana Sugriwa akan menumpahkan perasaannya pada lelaki yang matanya sedang menerawang tak tentu langit? Malah lelaki ini kadang bercakap-cakap kepada akar dan perdu, tersenyum dan sesenggukan, seakan pohon dan dedaunan adalah mantan istrinya yang berdenyut di dalam hutan.

Suatu fajar, sorot matahari bermasukan dari sela-sela rerimbun hutan membentuk jutaan benang cahaya, lengkap dengan semburat warna-warninya pada kolang-kaling, langsep, jambu bol, kedondong, blimbing wuluh, dan lain-lain, lelaki tampan itu siuman dari gandrung-nya. Ia ingin berbagi pada Sugriwa. Bagaimana rasanya pernah memiliki istri setia. Baru manten anyar, lelaki ini diusir ke tengah hutan. Lelaki itu bergegas pergi sendiri ke belantara karena tak ingin menyusahkan istri. Tapi sang istri nangis-nangis bergelayutan nggondeli suaminya terkasih, minta diajak serta. Ia tak tega suaminya sendirian di kelembaban yang asing. Hari-hari mereka lalui berdua di peraduan hutan sampai tiba-tiba sang istri lenyap.

Lelaki yang baru tersadar dari kasmaran itu tak bisa menumpahkan segalanya kepada Sugriwa karena, seperti bergiliran, Sugriwa kini malah sedang dilanda kunjana papa. Kunjana sakit. Papa edan. Sugriwa kelimpungan pada mantan istrinya, Dewi Tara.

''Sugriwa, aku akan membela kamu. Bisa kuhayati sebeban apa rasa dipisahkan dari perempuan tercinta...''

''Aku yang akan membelamu, hei lelaki!!!'' teriak Sugriwa, ''karena telah aku alami beban terpisah dari wanodya yang kita cintai...''

Sehabis teriak tiba-tiba Sugriwa terbahak-bahak, tiba-tiba menangis. Ada ular, dipeluknya ular. Dielus-elus dan diciuminya taksaka itu seakan-akan ia Dewi Tara.

''Oh, Dewi Tara,'' desah Sugriwa selepas rangkulannya dari sang ular. Ia kini memeluk singa, berbincang kepadanya. ''Dahulu tak salah aku nikahi kamu, Tara. Batara Indra janji, siapa sanggup membunuh Maesasura dan tunggangannya, Jatasura, akan mendapat cintamu sebagai anugerah. Kakakku Subali masuk ke istana megah yang mulut gerbangnya bagaikan gua mengerikan itu. Aku tak boleh masuk. Aku disuruh menunggu di depan mulut gua. Kakakku Subali yang berdarah putih itu bersabda, kalau nanti mengalir darah putih di mulut gua, berarti aku yang mati. Tutup lekas-lekaslah pintu gua, agar semuanya mati di dalam gua...''

Kini Sugriwa memindahkan dekapannya pada trenggiling. Di matanya, hewan ini adalah sang dewi yang tiada tara. ''Aku sayang banget sama kamu, Tara. Aku lanjutkan ceritaku, ya Tara. Ternyata yang mengalir di mulut gua darah merah dan putih. Sedih sekali kakakku mati. Aku segera naik ke kahyangan melapor Batara Indra. Saking bahagianya atas kematian pengacau kahyangan Maesasura dan Jatasura, Batara Indra menghadiahkan putrinya sebagai istriku...''

Bagai lolong serigala Sugriwa lalu berteriak kepada sulur-sulur rimba, mengagetkan perkutut, betet, drekuku, sriti, murai, dan blekok. ''Oooo Mas Budionoooo, Mas Budionoooo...tulung gambar ilustrasi Wayang Durangpo sekarang yang romantis banget ya....bagai tembang Dhandhanggula Sidoasih...

Pamintakuuuuu...Nimas Sidoasiiiih...Anut runtut tansah reruntungaaaaan.....''

***

Yang tewas di Guakiskenda ternyata cuma Maesasura dan Jatasura. Yang putih-putih bukan darah Subali. Warna putih hanya ceceran otak raksasa dan tunggangannya. Subali ngamuk. Pintu gua didobrak, dijebolnya. Ia banting Sugriwa hampir mati. Untung adik yang dicintainya itu masih sempat meruntutkan apa yang sesungguhnya terjadi. Hati Subali luluh. Ia serahkan istana Guakiskenda. Didoakannya pula pernikahan Sugriwa-Dewi Tara langgeng di dalam cinta.

Tapi Rahwana menyusupkan Wil Sukasrana. Mata-mata ini berubah rupa menjadi inang pembantu Dewi Tara. Suatu hari inang pembantu Dewi Tara itu mengarang-ngarang cerita. Ia mengada-ada dan mengadu pada Subali bahwa Dewi Tara dipukuli Sugriwa. Pasalnya, Dewi Tara merasa, yang berhak menikahinya adalah Subali, karena Subalilah yang berhasil membunuh Maesasura dan Jatasura.

Amuk! Amuk! Amuk!

Subali menggempur istana Guakiskenda. Ia hajar habis adiknya yang tak tahu apa juntrungannya tiba-tiba dihajar. Sugriwa lalu dilemparnya hingga jatuh ke Gunung Wreksamuka di sekitar Maliawan. Hari itu juga Dewi Tara direbutnya sebagai istri bahkan hari ini telah mengandung anaknya.

Dan hari ini, sepasang duda itu telah sampai di mulut Guakiskenda. Sugriwa menyumbarkan tantangan. Subali keluar. Peristiwa dulu-dulu terulang kembali. Subali berkali-kali membanting Sugriwa. Saat Sugriwa makin sekarat, tatkala Subali terakhir akan membantingnya, rongga dada Subali panas dadakan. Mendidih. Ada panah nancap di situ dan melontarkan Subali mengambang tak menyentuh bumi.

''Panah kamukah ini, Kisanak?'' tanya Subali tersengal-sengal kepada lelaki yang tiba bareng Sugriwa. ''Tak pangling lagi aku. Hanya panah Guwawijaya yang akan sanggup menyudahiku. Ini pusaka dari Ayodya. Jadi, kamu Prabu Ramawijaya?''

Mestinya Sugriwa kaget mendegar bahwa duda teman seperjalanannya ternyata titisan Batara Wisnu. Tapi badannya yang nyaris remuk masih menahan sakit sambil memandangi Dewi Tara. Siapa yang ditangisi sang dewi? Dirinya yang babak belur? Atau waspa Dewi Tara itu sejatinya menetes untuk yang baru wafat, tapi mengapa Wisnu lebih ingin Tara kembali kepadaku?

Duda yang satu lagi tak sempat mendengar namanya disebut-sebut oleh Subali sebelum tewas. Ia juga tak tahu bahwa sikapnya sedang direnung-renungkan oleh Sugriwa. Jiwanya masih terhuyung-huyung pada cintanya yang telah lenyap.

Dalang juga bingung bagaimana seyogyanya mengakhiri lakon ini. Hatinya masih sempoyongan...pada anake sing dodol rujak cingur...


Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom MIngguan, Wayang Durangpo

Episode 48 Cinta Bertunas di Pangkal Nagasari
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 19 Juli 2010


Image
Ilustrasi: Budiono/JawaPos
Seluruh hal di madyaloka punya pengapesan. Bulan Rejeb Tahun Saka 1943, Belanda apes pada si Spanyol Andres Iniesta di final Piala Dunia menit ke-116. Dulu Belanda apesnya ke Pak Sakerah dengan clurit sakti Se Lerok. Tapi ayah Brodin ini juga punya pengapesan, Mbok Sakerah. Pak SBY dan Ibu Sri Mulyani juga punya nahas. Dalam dugaan skandal Century yang terlupakan itu pengapesan mereka mungkin Pak Ical.

Rahwana juga punya pengapesan kok.

Raja Diraja Alengka itu berkuasa dan ditakuti. Kakak tirinya sendiri yang kondang sakti, Prabu Danapati, Raja Lokapala, dibunuhnya pula. Tetap saja Rahwana punya pengapesan. Ayah Indrajit ini salah tingkah berbaur malu setiap menghadapi keponakannya sendiri, seorang perempuan yang ranum di dada dan menawan alisnya.
Dari pohon nagasari di taman Dewi Sinta ditawan, Raden Senggono alias Hanuman mengintip raja penyamun Rahwana main rayuan. Istri Prabu Ramawijaya dari Ayodya itu dicumbunya dengan berbagai nada-nada purba dan syair cinta. Aneka bebungaan ibaratnya telah ditumplek blek di seputar Sinta sampai wanginya semerbak meluap jauh ke luar taman. Begitu ada perempuan yang diintip Hanuman muncul menyajikan hidangan buat Dewi Sinta. Rahwana wajahnya kemerahan, sadar usia, nglentruk meninggalkan Taman Argasoka.

Senggono bahkan sempat mengintip perempuan yang ditakuti Rahwana itu berdebat. Bibirnya yang tipis dan merekah bergetar. Bahkan dari sela dedaunan nagasari Senggono juga sempat mengintai perempuan bermata binar itu memaki-maki Rahwana alias Dasamuka. Dasamuka dihina-dina sebagai lelaki yang bukan saja punya rekening babi, tetapi juga punya tindak-tanduk tak ubahnya babi. Dan bagaimana daya magnit bertambah tatkala mata perempuan itu mendelik, parasnya merah padam dengan kernyitan kening dan perjumpaan kedua alis. Dan Senggono menyaksikan, setelah umpatan-umpatan perempuan itu Rahwana mendadak tunduk, ngacir dari Taman Argasoka.

***

''Juragan kami Rahwana punya empat saudara kandung,'' kata ponokawan Togog kepada Prabancana Siwi, nama lain Hanuman. ''Satu-satunya yang ndak rupa raksasa atau diyu ya Raden Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dia malah ganteng. Sifatnya pandita. Nah, orang inilah bapaknya perempuan itu. Alah... itu lho yang Sampeyan dari beduk tengah hari tadi amat-amati sambil ngumpet-ngumpet dan garuk-garuk. Mbok kiro aku ndak tahu? Nama perempuan itu adalah...''

''Hmmm...Di negaramu ini juga ada usaha pembunuhan?'' Hanuman nylimur, mengalihkan obrolan. Malulah ia ketahuan kalau mengendap-endap naksir perempuan asing. ''Ada nggak?''

''Ada dong,'' sahut ponokawan Bilung. Ia tak merasa sedang dislimur. ''Tapi di Alengka sini orang dibunuh karena ya untuk dimakan. Mereka ndak punya visi misi yang lain. Beta tahu betul. Beta dan Togog kan su mengabdi di sini sejak sebelum zaman Bung Soekarno. Lha namanya raksasa, buto, kalau ndak pi makan orang mau pi mbadog apalagi...Wong su takdirnya.''

''Makanya saya dan si Beta itu awet,'' Togog menimpal. ''Kami langgeng di Alengka sini karena dianggap bukan orang, ya syukur. Tapi di mana-mana di triloka yang namanya babu memang ndak direken sebagai orang. Saya ngupang-nguping katanya di Nusantara sudah mulai diatur jam kerja bagi babu-babu di rumah-rumah tangga. Ndak boleh lho sehari-semalam disurah-suruh terus nonstop kayak lampu stopan. Tapi buktinya mana? Mereka prei cuma pas Lebaran...''

''Alah, Mas Monyeeeet, Mas Monyet,'' sela Bilung, ''Sampeyan juga aman kok di sini. Pasti awet. Buto maunya cuma pepes orang kok. Mereka ndak doyan bacem munyuk...''

Maksud Hanuman, apa di Alengka juga ada usaha pembunuhan aktivis yang rajin wadul soal rekening gendut para punggawa negeri. Togog dan Bilung saur manuk bergantian membantah. Mereka bilang di Alengka percuma ada usaha coba-coba bunuh orang. Langsung bunuh saja, jadikan bancakan.

Kalau cuma main percobaan pembunuhan aktivis, wah... repot. Nanti calon korbannya malah cuma luka dan leyeh-leyeh di rumah sakit. Nanti Raja Rahwana mau membesuk ke rumah sakit juga serbasalah.

Rakyat Alengka sudah pinter-pinter karena nggak ada yang kelaparan, malah gizinya lebih dari cukup. Mereka juga gak usah terus-terusan mikir kebakaran tabung gas. Jadi mereka masih sempet mikir yang lain. Pasti mereka nanti berpikir, wah junjungan kami membesuk aktivis, mengalihkan perhatian. Nek Rahwana nengok ke rumah sakit, pasti aparat penegak hukum akan kelimpungan mencari siapa calon pembunuh pasien ini. Mereka dan juru warta, tidak akan puyeng lagi pada penyelidikan pemilik rekening babi...

Prabancana Siwi cepat memotong, ''Perempuan tadi juga punya rekening babi?''

Bilung, ''O tidak. Dia bukan babi, eh, bukan punggawa negara. Dorang putri kesayangan Raden Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dorang punya nama Dewi Trijata.''

Nah, ini dia. Hanya info tentang nama ini yang sesungguhnya sejak tadi dinanti-nanti oleh Prabancana Siwi alias Maruti. Obrolan ngalor-ngidul lainnya tidak penting. Maruti alias Pawana Suta sudah eneg ngomong masalah kemasyarakatan. Paling-paling abis itu masyarakat sendiri sudah lupa. Contohnya kasus Century dan lumpur Lapindo. Hmm...Akhirnya... Dewi Trijata to namamu, Diajeng... Nama yang syahdu.

***

Ponokawan Togog sebagai kakak Semar dan stafnya, Bilung, berada di Alengka punya tugas seperti LSM yang bener. Laksana LSM yang belum keblinger, tugas mereka mengingatkan para pamong praja agar kembali ke sirathalmustaqim. Tanpa kawalan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mulut Togog-Bilung sudah sampai berbusa-busa. Keduanya mohon ke Rahwana agar mengembalikan Putri Mantili, Dewi Sinta. Sekarang mereka senang sekali memergoki Hanuman, duta Prabu Ramawijaya. Mereka berharap Dewi Sinta segera balik.

Kedua ponokawan itu lantas meninggalkan Hanuman di pohon nagasari seraya mengucapkan selamat bertugas sebagai duta. Tak lama kemudian, aduh, Hanuman melihat di kejauhan Dewi Trijata dengan kain parang rusak warna kapuranta, coklat kekuningan. Selaras betisnya yang kuning langsat. Ia berjalan menyangking timba. Rambutnya dibiarkan berangin-angin sepinggang. Banyak kupu-kupu terbang mengiringinya. Aneka belalang, walang kadung, walang daun, dan walang kayu pun berlompatan suka cita. Mungkin perempuan ayu itu hendak mengambil air buat Dewi Sinta ke sendang nun di bawah sana.

Ketika Dewi Trijata akan melewati pohon nagasari, belum sempat Hanuman bersembunyi, Dewi Trijata sudah keburu memergokinya. Hanuman panik. Ia tak ingin putri Goenawan Wibisana itu ketakutan dikageti monyet asing di Taman Argasoka. Ternyata Hanuman keliru. Dewi Trijata hanya tertegun. Terpana. Lalu putri yang dagunya belah itu mesem. Matanya berkaca-kaca.

Belum pernah Dewi Trijata terpesona menatap laki-laki selucu ini. Seluruh bulunya putih lebih lembut dari salju. Mana matahari senja dari sela-sela cengkeh, kapulaga, dan kayu manis membuat bulu putih kera ini berwarna semu lembayung semu keemasan. Dan mata lelaki ini tulus.

Dewi Trijata pernah diajak terbang oleh ayahnya melanglang di atas gunung-gunung: Gunung Suwela, Windu, Wreksamuka, Mahendra, Maenaka, dan Maliawan. Di bukit-lembah di antara gegunung itu Dewi Trijata melihat gambar-gambar para lelaki di pohon-pohon. Kabarnya untuk pemilukada. Dewi Trijata tak tahu apa itu pemilukada. Tapi bagi sang dewi tak satu pun di antara lelaki pajangan itu yang matanya tulus dan bersih. Berbeda jauh dibanding lelaki salah tingkah yang kini sendeku di hadapannya.

Baru kemarin Hanuman bertemu Dewi Sayempraba, perempuan ramah-tamah yang disangkanya penuh kasih sayang bagai sang ibu, Ratna Anjani. Ternyata putri Prabu Wisamarta itu telik sandi, mata-mata Rahwana. Buah-buahan segar yang disuguhkan Dewi Sayempraba dimanterai aji Kemayan. Anjani Putra jadi buta. Untung di dekat Gunung Suwela itu Anjani Putra ditolong oleh Raja Burung Sempati. Netra sang Anjani Putra kembali pulih sehingga kemudian sanggup ia lihat kecantikan Dewi Trijata dari pohon nagasari.

Ternyata tak setiap wanita cantik berbahaya bagaikan Dewi Sayempraba. Pembelaan-pembelaan Dewi Trijata terhadap Dewi Sinta membuktikan, tak setiap wanita cantik menyembunyikan taring dan cakar dan lendir beracun bagai Dewi Sayempraba.

Benih-benih rasa akan tumbuh di antara Trijata-Anjani Putra. Togog datang bikin kaget. ''Saya tahu Sampeyan kera sakti,'' bisik Togog. ''Sampeyan pasti punya aji panglimunan dan panyirepan. Buktinya seluruh raksasa pengawal istana sekarang bleg seg tertidur pulas. Tapi, waduh, aji Sampeyan bocor sampai ke Khatulistiwa. Kasihan nasib rakyat di sana. Produksi beras turun. Harga cabe melangit. Tapi mereka ndak punya pemimpin yang melek.
Menteri-menterinya tidur saat sidang kabinet pembagian rapot...'' (*)
Diunggah oleh ARAGOS

Episode 49 Dewi SUTET-Wati Nyosor Raden Lesmana
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 25 Juli 2010

ImageNduk satu dua kabupaten di Jawa Timur ada perempuan manjat menara listrik tegangan ekstratinggi. Di Jawa Tengah, di satu dua kabupaten, sama. Di sana gitu juga. Ada perempuan...duduuuuuk lama-lama di atas rangka baja tinggi. Matanya kosong. Kayaknya mau bunuh diri. Dan perempuannya sama. Orangnya itu-itu juga. Pindah-pindah. Cuma seorang. Wereng juga melanda sawah-sawah padi dua provinsi itu, tapi nggak cuma sewereng.

Itu yang membikin ponokawan Bagong bingung. Kenapa hama padi yang mengancam dua musim panen ke depan itu jumlahnya banyak, jutaan? Tapi kok perempuan yang pindah-pindah menara, yang entah putus ekonomi entah putus cinta itu, jumlahnya cuma satu. Yang berbeda-beda cuma pengakuan tentang jati dirinya.

Kepada Petruk, perempuan berambut kusut-masai itu bilang dia dulu kerja di Kebun Binatang Surabaya. Kalau ndak salah tugasnya di kandang macan. Suatu hari anaknya yang masih taman kanak-kanak oleh gurunya disuruh ngitung, berapa kerugian akibat macet saban hari gara-gara jalan dikosongkan untuk perjalanan presiden PP Cikeas-Istana.

Anak ini ndak bisa njawab, malah nyanyi-nyanyi Pelangi-Pelangi ciptaan almarhum A.T. Machmud. Ibunya berpikir, kalau dikasih makan daging, pasti anak ini selain pandai bernyanyi juga pintar berhitung. Masa tiap hari makan nasi mbarek garam. Diambillah jatah daging para macan di kebun binatang. Itung-itung mengikuti gerakan yang dicanangkan Pak SBY menyambut Hari Anak Nasional. Yaitu gerakan Indonesia Sayang Anak. Nah, demi anak, pas daging jatah macan dibungkus -sebenarnya macannya nggak tahu- tapi petugas keamanan ngelirik. Jadilah perempuan ini sekarang suka manjat menara tegangan tinggi dan jadi tontonan.

''Kamu percaya cerita perempuan itu, Truk?'' tanya Gareng.

''Jan-jane ya ndak percoyo, Kang Gareng. Tapi kan sekarang yang aneh-aneh bisa saja malah jadi senyata-nyatanya nyata. Wong sekarang ada kok, itu...di Surabaya....orang tua nyerah, angkat tangan ngasih makan bayinya. Eh, bayi nggak diserahkan ke panti asuhan, malah diserahkan ke kantor polisi. Padahal semboyan Pak Polisi itu mau di Surabaya, di Kulonprogo, di Ambarawa, dan di mana-mana kan sama, polisi kerjanya cuma melindungi dan melayani... ndak pakai menggendong dan menyusui...''

''Iya, Truk, polwan saja semboyannya juga sama, cuma melindungi dan melayani, ndak ditambahi mengasuh dan menyusui...''

''Ke aku kok lain lagi ya ceritane,'' kata Bagong kepada kakak-kakaknya. Bungsu ponokawan itu menunjuk ke televisi. Ada siaran Mas Bambang Sulistomo, salah satu pemrakarsa gerakan penyelesaian lumpur Lapindo. Putra Bung Tomo ini bilang, kalau ada ketegasan penguasa seperti Obama, asyik Rek. Wong lumpur minyak di Teluk Mexico bisa diselesaikan Amerika dalam waktu cuma 3 bulan, masa lumpur Lapindo wis empat tahun ndak beres-beres.

''O, Gong, maksudmu wong wedok di atas menara itu korban lumpur Lapindo?'' Petruk dan Gareng kompak.

''Bukan. Maksudku nuding televisi...yuk kita pindah di depan televisi situ, ada tiker, aku tak ndongeng siapa perempuan tower itu menurut pengakuannya kemarin ke aku pribadi...''

Untuk pertama kalinya, Bagong mendongeng dengan cukup runtut.

***

Perempuan di atas mercu itu dulunya ndak kurang suatu apa. Rumah di mana-mana. Kebo, sapi, ayam, kambing...dia punya sak arat-arat. Suami? Hehe... dia malah punya dua. Namanya Pak Karadusana dan Pak Trimurda. Makanya kalau lihat perempuan-perempuan lain, perempuan itu tidak memperhatikan harta bendanya. Dia sudah kaya raya kok. Mau perempuan lain itu pakai tas orisinal Prada, Louis Vuitton, Gucci...ndak masalah.

Perempuan itu tertarik ke salah seorang wanita yang sama sekali sandangannya nggak pakai merk terkenal. Kenapa? Karena di atas kepala wanita yang dilihatnya itu seperti selalu ada sinar. Cahaya itu senantiasa mengikuti kepalanya. Dan setiap tanah yang dipijak oleh wanita bercahaya itu, tiba-tiba...byar... jadi subur. Ternak pun jadi berhidupan sehat-sehat. Harga-harga jadi terjangkau. Cabe merah tak sampai puluhan ribu per kilo. Harga daging juga terjangkau. Bukan hanya macan kebun binatang yang bisa mbadog daging.

Namanya Bu Sinta.

Pantas, pikir perempuan tower itu dulunya. Berarti wanita yang di atas kepalanya ada naungan cahaya itu pastilah adalah titisan Dewi Sri alias Dewi Widowati. Dan lelaki tampan di samping wanita itu pastilah Pak Ramawijaya, titisan Dewa Wisnu.

Kecemburuan mulai muncul di hati perempuan tower itu dulunya. Edan. Dilihatnya, Pak Rama kalau pergi ke mana-mana meninggalkan istrinya, pulangnya pasti karena butuh. Butuh bertemu Bu Sinta, butuh berdua dengan Bu Sinta. Sedangkan kedua suaminya, Pak Karadusana dan Pak Trimurda? Hah, mereka pulang ke rumah bukan karena butuh istri tapi karena takut istri. Minimal karena kewajiban! Bukan karena kebutuhan!

''Oooo... Bosan aku! Bosan! Bosan! Bosan! Bahtera macam apa rumah tanggaku ini!!!!'' jerit hati perempuan itu.

Maka, ketika dilihatnya Pak Rama meninggalkan Bu Sinta untuk pergi berburu di Hutan Dandaka, perempuan ini mulai pedekate pada Rama. Tapi Pak Rama dengan halus menolaknya.

Kata Rama, ''Wahai perempuan cantik, terima kasih telah Diajeng nyatakan perasaan Diajeng. Tapi saya sudah cukup beristrikan Sinta. Wanita ini membawa rezeki, karena dia tidak pernah bersungut-sungut mau pukul berapa pun saya pulang. Dan saya selalu butuh pulang. Nenek-moyang saya bilang, suami-istri itu satu karma. Ketunggalan doa suami-istri, itulah rezeki rumah tangga, untuk kita bagi pada sesama...Kalau Diajeng ingin punya suami, lamarlah adik saya. Namanya Lesmana. Dia lelaki yang baik...''

Dengan sedikit tersinggung, pergi jugalah perempuan ini kepada Lesmana.

***

Siaran Mas Bambang Sulistomo di Metro TV perkoro lumpur Lapindo masih tertayang. Bolak-balik arek Suroboyo ini menyatakan optimismenya. Lumpur Lapindo bisa dirampungkan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Teluk Mexico sumber semburan lumpurnya di bawah laut saja bisa cepat tuntas. Lumpur Lapindo kan di daratan. Di sini ahli-ahli dari ITB dan ITS juga banyak. Asal Pak SBY mau saja...Asal Pak SBY mau saja... kata Mas Bambang berkali-kali.

Bagong berkali-kali juga bilang, perempuan tower itu dulunya juga ndak bosen-bosen mengungkapkan cintanya ke Pak Lesmana. Pernyataan asmaranya berulang-ulang seperti kebakaran kompor gas sampai hampir empat tahun, sampai hampir seusia terkatung-katungnya kasus blethok Lapindo.

Siang-malam selama empat warsa perempuan ini juga menyedu kopi luwak buat Pak Lesmana. Masih juga adik yang mirip Pak Rama ini menolaknya.

''Mungkin karena belum ada fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia...,'' sahut Petruk.

''Ndak,'' timpal Gareng, ''Kalau melihat setting cerita Bagong dan jenis nama-nama tokohnya, pasti ini terjadi sebelum Syarekat Islam berdiri deh. Jadi waktu itu pasti belum ada MUI.''

Bagong kesel ceritanya dipotong-potong. ''Bener. Waktu itu belum ada MUI. Padahal luwak sendiri kan nggak bisa dimintai fatwa apa kopinya halal apa mubah apa haram. Waktu saya tanya, luwak-luwak itu cuma cengar-cengir saja...''

Akhirnya Pak Lesmana mau juga kopi luwak hidangan perempuan itu. Tapi pas perempuan cantik itu nyosor-nyosor pengin mencium Lesmana, Lesmana dengan indra gaibnya sanggup mengendus bau keringat raksasa. Ah, ini bukan perempuan biasa. Seketika hidung perempuan itu dipuntirnya sampai patah dan berdarah-darah. Wujudnya seketika berubah ke bleger aslinya, raksasa. Namanya Sarpakenaka! Sarpa artinya panjang mengerikan. Kenaka berarti kuku. Raksasa perempuan yang berdarah-darah hidungnya itu berlarian sampai akhirnya manjat ke menara listrik tegangan ekstratinggi.

''Sik..sik..sik...Gong,'' sela Gareng, ''Kalau dia betul Sarpakenaka, mestinya dia lari wadul, lapor ke kakak kandungnya, raja raksasa Alengka si Dasamuka. Lha ini kok manjat tiang listrik?''

''Lha ya embuh, pokoknya dia ceritanya ke aku ya gitu...''

***

Terdengar dari puncak menara SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi):

Hahaha.... Aku ancene bukan Sarpakenaka, tapi kami sama-sama pemakan daging... Anak-anakku yang di SD dan SMP juga. Semua harusnya makan daging. Mau di Hari Anak Nasional atau hari Senin atau Jumat Kliwon atau hari apalah. Tapi bukan daging wereng. Tapi aku ikut rombongan grup facebook ''Say No to Krisdayanti...'' Tapi siapa tahu ada daging yang bisa dimakan di dalam grup itu... Tapi di puncak ini aku lebih tinggi dari Anang dan lumpur Lapindo. Tapi aku lebih tinggi dari siapa pun. Aku lebih luhur dari siapa pun. Lebih luhur dari tarif dasar listrik. Lebih luhur dari tingginya harga cabeeeeeee......Aku menaaaaaaang.....Maju tak gentar...mem­beeeeela yang tinggiiiii.....

DISADUR SELENGKAPNYA DARI JAWA POS, KOLOM MINGGUAN, WAYANG DURANGPO
Diunggah oleh ARAGOS

EPISODE 50 Amir Membolos... Kata Bu Guru...
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Minggu, 01 Agustus 2010
Diunggah oleh ARAGOS
Image PONOKAWAN perempuan, Cangik dan anaknya, Limbuk, punya nazar. Mereka akan mbalekno KTP ke kelurahan. Dua-duanya tergugah tekad Bu Sutarti dan Bu Rusmini. Kedua janda pahlawan itu kan bakal mengembalikan ke negara sertifikat kepahlawanan mendiang suami mereka. Ya kayak gitulah kalau sampek pengadilan tega-teganya ngetuk palu menyalahkan keduanya lantaran didakwa nyerobot rumah dinas.

Ndak cuma itu. Bu Sutarti dan Bu Rusmini mengancam akan membongkar kuburan suaminya di Taman Makam Pahlawan. Buat apa negara pura-pura hormat ke almarhum suami mereka dengan kasih pusara nduk Kalibata, kalau nyatane janda-janda kusuma bangsa itu dikuyo-kuyo.

Pas jalan ke kantor Pak Lurah, Cangik yang kurus kering dan Limbuk yang gendut-subur mandek sebentar di Senayan. Ada kerumunan manusia di sekitar gedung DPR. Ternyata seorang aktor tempo dahulu, namanya Pong Harjatmo, sedang manjat gedung yang bentuk atapnya kayak bokong tengkurap itu. Di atas atap sang aktor protes kok anggota DPR sering mbolos.
 
''Wah, Oom Pong Harjatmo itu idolaku lho, Mak,'' seru Limbuk kepada emaknya. ''Aku itu paling suka acara Oom Pong di TVRI zaman dulu... Berpacuuuuu dalam Melodi!!!''

''Hush! Itu Mas Pong Hendratmo, Mbuk, eh Koes Hendratmo... Kalau Dik Pong Harjatmo itu aktor. Biasanya selalu jadi orang sial. Dulu tempo kamu belum lahir ada film remaja. Kondang banget. Dari novel Eddy D. Iskandar, orang Bandung. Judulnya Gita Cinta dari SMA. Rolnya Rano Karno dan Yessi Gusman. Nah, Dik Pong itu jadi guru SMA sing ngebet pada Ratna, si Yessi Gusman itu. Di depan Ratna, tingkah Pak Guru ini neko-neko sampai celananya mlorot dan robek di belakang bokongnya... Lalu Dik Pong, Pak Guru, lari terbirit-birit sampai murid-muridnya semua kepingkel-pingkel...''

***

Matahari masih terik.

Si tambun Limbuk dan si kerempeng Cangik akan beranjak dari kerumunan di DPR Senayan, mau melanjutkan jalan kaki ke kantor kelurahan, mengembalikan mereka punya KTP. Ujuk-ujuk datang Tantowi Yahya. Putra Palembang ini muncul-muncul ndak bawa empek-empek, malah ngajak kameraman televisi sembari menyodorkan mik. ''Lihat kan demonstrasi panjat atap gedung DPR tadi? Komentar Anda?'' tanyanya kepada Limbuk.

''Hehehe... Mas Tantowi... Tak pikir-pikir Om Pong keliru. Mestinya beliau tetap saja tekun di gaweannya, profesinya, jadi MC acara Berpacuuuuu dalam Melodi...''

Tantowi mengernyit.

Cangkik tanggap. Ia jawil anaknya sambil bisik-bisik, ''Hush, Berpacu dalam Melodi itu Mas Koes Hendratmo... Mas Koes itu seniornya Mas Tantowi, sama-sama kadernya ratu kuis tahun 80-an, perempuan Aceh, Ibu Ani Sumadi...''

''O jadi Mas Pong yang keliru?'' sambung Tantowi masih mengernyit. ''Terus... terus... Anggota DPR, sering bolos... Nggak salah?''


''Ooo ya ndak to Mas Tantowi... ndak salah... Piye to... Karena DPR kan memang bukan Taman Kanak-kanak. Di DPR nggak ada lagu yang wanti-wanti agar nggak mbolos. Kalau di TK kan ada... Amir Membolos... Kata Bu Guru...''

Cangik menyela, ''Ya... Betul sekali Limbuk, anakku ini. Dulu suwargi Presiden Gus Dur sudah mau meresmikan DPR sebagai Taman Kanak-kanak, tapi anggota DPR nggak mau. Mereka malah mencak-mencak. Akibatnya ya gini, DPR nggak punya lagu tentang masuk terus pantang mbolos...''

Cangik bener. Seandainya DPR itu TK, para anggotanya bisa menyanyikan tembang dolanan tradisional yang sangat populer dengan nada Slendro Pathet Sanga. Cangik rengeng-rengeng:

Wajibe dadi murid

Ora pareng pijer pamit

Kejobo yen loro, kejobo yen loro

Loro tenan, ora loro mung etok-etokan, aaan

Lan manehe kudu pamit nganggo layang...

Cuplikan tembang dolanan anak-anak itu kalau komplet Indonesianya begini: Please deh jadi murid mbok jangan mbolosan. Kecuali pas sedang sakit. Sakit pun harus sakit beneran yang memang gak bisa berangkat ke sekolah lho, bukan sakit hati atau sakit panu. Sakit betulan pun masih harus pakai surat. Awas ya, kalau keseringan bolos nanti kamu jadi goblok sedungu kerbau.



Episode 51 Setelah Patung Semar Tak Ada
Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Senin, 09 Agustus 2010
Diunggah oleh ARAGOS
ImagePaling tidak sampai akhir tahun kemarin rumah Pak Kiki Dunung banyak dikunjungi orang. Rata-rata perempuan paro baya yang tinggal se- RT/RW dengan Pak Dunung. Kaum ibu itu menyuapi anak-anak kecil mereka yang...mogok makan tentu tidak karena anak-anak kecil pastilah bukan demonstran maupun aktivis...tapi susah sekali makan. Hanya di depan patung Semar di halaman rumah Pak Dunung anak-anak kecil menjadi gampang dibujuk untuk disuapi.

Tapi kemudian patung Semar dibongkar oleh pemilik rumah. Kabarnya dipindahkan ke dalam ruang keluarga. Badan patung, bagian pundak, dilubangi untuk celengan.

Kini patung Semar sudah tak ada di bawah pohon jambu, sebelah bougenvil halaman Pak Dunung. Ibu-ibu di RT/RW setempat mengeluh. Anak-anaknya jadi susah makan. Mereka ndak enak pada wartawan kalau sampai anak-anaknya tampak kurus di televisi. Masa' tinggal di Jawa kok anak-anak nggak kopen seperti kurang gizi. Memangnya Pulau Jawa termasuk wilayah tertinggal di Indonesia Bagian Timur? Nggak kan? Ibu kota negara juga masih ada di Pulau Jawa, belum secara resmi dipindahkan ke Palangkaraya atau Washington. Masa' satu pulau dengan ibu kota negara kok anak-anak seperti busung lapar.

***
Ada anak kecil telantar menjelang bulan puasa.

Ibunya lagi sibuk. Sibuk mengubur diri hidup-hidup dalam lahannya yang akan jadi calon gusuran. Sang ibu berharap, demonstrasi model baru itu akan bikin aparat urung main buldoser. Dulu pernah ada di Sumatera Utara ibu-ibu kandidat tergusur kompak tampil telanjang. Akibatnya aparat penggusur kaget, tutup mata, mungkur balik kanan. Tapi toh akhirnya lahan tetap digusur juga. Sang ibu berharap, demo model mengubur diri lebih sakti ketimbang demo blak-blakan aurat. Tapi anaknya yang masih kecil jadi terbengkalai. Bocah ini terus nangis meronta-ronta.

Gampang kalau masih ada patung Semar di bawah jambu Pak Dunung, sebelah tiang burung perkutut. Bocah yang rewel dan kakinya mancal-mancal itu tinggal digendong oleh tetangganya dan telap-telep disuapi di sekeliling patung Semar. Beres.

Sebenarnya persoalan rekannya seangkatan bayi tersebut juga gampang diselesaikan andai patung Semar masih ada di pekarangan depan Pak Dunung. Dia juga telantar. Menangis gero-gero. Ibunya juga sedang sibuk. Sibuk ditempelengi oleh sang suami. Satpam bilang ke bocah playgroup itu, ''Sudahlah, Adiiik...Mama masih mending cuma dikaploki bapakmu. Tabahkan hatimu ya, Adiiiik.... Di Sulawesi, istri malah dijual ke broker rumah bordil. Tarifnya Rp 500 ribu sekali kencan. Ini untuk membayar utang-utang suami yang gagal jadi anggota legislatif...''

''Oalah, Mas Antooook, Mas Antok,'' tegur Watik kepada satpam. Pedagang sayur keliling yang kebetulan lewat ini mengingatkan, anak kecil apa mudeng diajak ngomong model begitu. Sama susahnya dengan omongan soal ''redenominasi'' duit. Yang stres anak kecilnya apa satpamnya kalau sudah begini ini. ''Mbok sana, Sampeyan bawa anak ini ke rumah Pak Dunung. Ajak main di depan arca Semar...Pasti cekikikan bocah ini. Lupa masalah bahtera rumah tangga.''

Watik lupa, tugu Semar sudah raib dari halaman depan rumah Pak Dunung. Mungkin karena tiap hari diomeli ibu-ibu kompleks perumahan lantaran harga sayur-mayur terus meningkat, Watik sampek ndak bisa mikir lingkungannya sendiri bahwa patung Semar sudah tidak bercokol di habitatnya sejak Desember tahun lalu.

Pak Dunung menyulap patung Semar jadi celengan di dalam rumah karena panik dengar kabar ''redenominasi'' rupiah. Dia mendengar sas-sus bahwa nanti Rp 1000 akan tinggal jadi Rp 1. Walau banyak dijelaskan bahwa ''redenominasi'' adalah makhluk yang berbeda dibanding ''sanering'' atau pemotongan nilai mata uang, tetap saja Pak Dunung dan yang lain-lain panik. Ada yang paniknya malah membelanjakan uang secara jor-joran. Paniknya Pak Dunung malah menarik uangnya dari bank. Dia cemplungkan ke dalam celengan Semar.

Problem Pak Dunung tidak diketahui oleh Watik. Makanya perempuan asal Wonogiri itu masih saja ngeyel minta Mas Antok, satpam, agar membawa bocah rewel ke hadapan patung Semar Pak Dunung.

***

Di kompleks permukiman itu juga tinggal seorang lelaki 50-an tahun. Para tetangga memanggilnya Ki Joko Bodo, bukan lantaran ia mirip tokoh paranormal gondrong berkumis berjenggot itu. Mereka berkasak-kusuk menamainya Ki Joko yang artinya perjaka, lantaran lelaki sudah setengah abad ini memang masih belum menikah. Tinggal seorang diri tanpa sanak tanpa pembantu tanpa kucing.

Ada yang bilang, meski sudah setengah abad hidup, lelaki gondrong yang ke mana-mana pergi pakai ransel ini gemar pol ambek Agnes Monica. Dia suka banget Agnes, apalagi pas idolanya itu lewat twitter nyindir masyarakat yang gampang menuhankan artis kagetan. Padahal artis karbitan itu cuma lipsing lagu orang lain. Mestinya orang-orang lebih menghargai artis yang lahir dari ketekunan dan kerja keras selama bertahun-tahun. Ki Joko sendiri yang sudah latihan menari Hanuman selama puluhan tahun sampek sekarang nggak terkenal-terkenal. Sekadar lingkup pesta seni 17 Agustusan di RT/RW-nya sendiri warga juga gak kenal.

Hidup sendiri, tapi setelah patung Semar tak ada di halaman depan rumah Pak Dunung, Ki Joko mendapat langganan pengunjung kecil. Hampir setiap hari bocah perempuan seusia taman kanak-kanak itu menjadi tamu sang perjaka tua dan minta didongengi.

Sebetulnya sudah nyaris habis bahan dongengan Ki Joko setelah hampir 8 bulan tiap hari sejak Desember tahun lalu mendongeng pada bocah ayu ini. Untung siang itu Ki Joko masih punya satu bahan yang tiba-tiba diingatnya. Bahannya soal perjumpaan Hanuman dan Dewi Trijata.

''Dewi Trijata itu mirip Agnes Monica...''

''Hehehe...Maca' ci, Oom? Kalau Raden Hanuman mirip Oom Ki Joko?''

''Hush...Jangan ngomong dulu ya, Oom mau mendongeng...''

***

Hanuman itu kera yang baik. Ibunya, Ratna Anjani, sudah tidak ada di dunia. Bapaknya, Batara Guru, juga sudah hidup di langit sana, di kahyangan. Hanuman hidup sendirian.

''Kayak Oom Ki Joko dong?''

Hush. Jangan ngomong dulu...

''Emang gak ada perempuan yang mau sama Oom. Kata mama, Oom Ki Joko itu sebetulnya orangnya lucu lho...Mama juga bilang Ki Joko itu orangnya hmm...''

Jangan ngomong dulu...Sssttt...Walaupun hidup sendirian, Hanuman itu kera yang baik. Suka menolong. Tanpa pamrih. Makanya Hanuman banyak dapat rezeki. Dia menolong Prabu Rama untuk melihat-lihat istrinya yang sedang dipenjara oleh raksasa Rahwana di Taman Argasoka. Namanya Dewi Sinta. Nah, pas Hanuman sukses menembus bahaya dan rintangan dan pertahanan ketat para pengawal, berhasil masuk ke taman...taman hmmm...itu indahnya bagai Taman Sriwedari ... Hanuman bertemu dayang Dewi Sinta. Namanya Dewi Agnes Trijata. Dia ini putrinya Raden Gunawan Wibisana, adik Rahwana.

Kamu suka boneka monyet-monyetan kan? Yang seluruh badannya ada bulunya itu? Lucu kan?

''Hehehe...pas aku ulang tahun, Mamah kasih aku boneka monyet...''

Nah, keponakan perempuan Prabu Rahwana sang Raja Alengka itu sebetulnya sudah jatuh cinta mati pada Hanuman karena lucunya. Sudah cukup lucunya itu saja. Ndak usah Hanuman neko-neko mau menunjukkan kemampuannya yang lain agar Dewi Trijata makin terpikat. Semar juga sudah mengingatkan agar Hanuman tidak usah pamer-pamer kekuatannya. Wong Dewi Trijata kesengsem sama Hanuman karena wujud Hanuman itu lucu.

''Oom Ki Joko, Pak De Semar itu patung yang dulu pringas-pringis di depan rumah Pak De Dunung?''

Ya. Betul. Tapi peringatan Pak De Semar nggak direken Hanuman. Hanuman tetep nyari perhatian Dewi Trijata. Dia merusak ibu kota Alengka. Penduduk Alengka sampai ke rajanya kalang kabut. Raja Rahwana menyuruh anak-anaknya, Saksadewa, maju lengkap dengan senjata candrasa. Saksadewa tewas. Surasekti yang sebesar gunung anakan juga tewas. Pasukan pengawal Wilwirapa yang menunggang gajah membawa senjata limpung juga pontang-panting. Lalu anak kesayangan Rahwana, Indrajit muncul mbarek keretanya. Kereta yang ditarik empat ekor singa galak itu menerkam Hanuman, ndak mempan. Malah singa-singa sombong itu menggelepar-gelepar kayak mujair kehilangan air, jadi korban kuku pancanaka Hanuman.

Ibu kota Alengka hancur. Taman-tamannya bubrah. Banyak perempuan menjadi janda. Sejak itu Dewi Trijata semakin hari semakin berkurang rasa cintanya pada Hanuman.

Akhirnya, kisah cinta mereka...akhirnya...hmmm...

***

''Akhir ceritanya apa dong, Oom Ki Joko?''

''Akhir ceritanya...hmmm akhirnya aku nggak tega terus-terusan mbohongi kamu...Semua dongeng yang pernah aku ceritakan ke kamu itu bohong semua...Pakemnya ndak gitu... Pakemnya Dewi Trijata malah tambah sayang Hanuman. Dia kagum, karena Hanuman sakti. Tapi aku tahu, nanti kamu kalau gede, kamu gak akan jadi perempuan yang gampang silau pada laki-laki sakti dan berkuasa...Kamu akan jadi perempuan luar biasa. Kamu lain. Gini ya...Aku terpaksa ngapusi kamu agar kamu penasaran terus pada dongenganku.. Supaya kamu mau maem, mau makan... Kalau kamu susah makan, yang susah orang tuamu. Kasihan ibumu, erempuan yang cantik...hmmm...''

''Nggak papa Oom. Pak De Semar sudah ndak ada...Tapi aku mau tetep makan...Pokoknya aku mau terus didongengi...Oom Ki Joko bohong juga nggak papa... Kalau Oom nggak mau dongeng lagi, tak bilangin mama...'' (*)


Disadur sepenuhnya dari JawaPos/Mingguan/Wayang Durangpo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer