SUNNY PRIVATE

Wellcome to SUNNY PRIVATE Blog...
Regards
Me

Rabu, 15 Juni 2011

FAKTLKANIK yang BERBAHAYA hingga AWAN PANAS yang MEMATIKAN.

Sunny-Private.blogspot.com

FAKTLKANIK BUKAN DEBU BIASA
Aktivitas gunung berapi yang meningkat selalu dibarengi dengan semburan abu vulkanik. Lalu seberapa berbahaya abu vulkanik bagi kesehatan? tentu berbahaya bila kita menghirupnya. Abu vulkanik diketahui bisa menyebabkan iritasi mata, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), hingga gangguan pada kulit. Kandungan abu vulkanik sangat berbahaya, Kandungan material dari abu yang dimuntahkan itu mengandung S102 atau pasir kuarsa yang biasa digunakan untuk membuat gelas. Bentuk pasir kuarsa itu tidak bulat layaknya debu biasa. Di bawah mikroskop, pasir kuarsa itu tampak berujung runcing. Ini tentunya bisa melukai saluran pernapasan, mata, bahkan kulit. 



Sangat tajam dan bahaya bagi paru2 serta bisa membuat iritasi












Penampakan Abu Vulkanik diperbesar

Saat meletus, gunung berapi memang umumnya menyemburkan uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), asam klorida (HCl), asam fluorida (HF), dan abu vulkanik ke atmosfer. Abu vulkanik mengandung silika, mineral, dan bebatuan. Unsur yang paling umum adalah sulfat, klorida, natrium, kalsium, kalium, magnesium, dan fluoride. Ada juga unsur lain, seperti seng, kadmium, dan timah, tapi dalam konsentrasi yang lebih rendah.
Khusus silika, sebenarnya memang ada di sekitar kita, dan sangat mungkin terhirup dalam kondisi normal. Tapi intensitasnya tidak besar, dan kalaupun terpapar tidak terus-menerus seperti saat bencana seperti letusan gunung.
Dengan intensitas tinggi, bisa jadi bulu-bulu hidung tak cukup kuat menahan serangan partikel polutan berbahaya. Belum lagi ada kemungkinan suhu panas dan gas-gas beracun yang mungkin ikut keluar bersama abu vulkanik. Akumulasi silika dalam paru-paru bisa mengakibatkan silikosis yang menyebabkan kerusakan pada paru-paru. Silikosis umumnya menyerang pekerja tambang. Namun mereka terserang silikosis karena paparan silika konsentrasi tinggi dari jangka waktu yang lama.


Bandingkan dengan debu biasa yang bulat (tidak tajam)







Lemahnya daya tahan tubuh ditambah paparan silika bisa membuat infeksi semakin mudah menyerang.
Pernapasan memang paling mudah terpengaruh oleh abu vulkanik. Tapi besar-kecilnya dampak abu vulkanik sebenarnya bergantung pada sejumlah faktor, seperti konsentrasi partikel di udara yang sebaiknya kurang dari 10 mikron dalam diameter, frekuensi dan lama pemaparan, kandungan abu, cuaca, serta kondisi kesehatan seseorang.
Cara sederhana menghindari paparan abu adalah menghindari sumber polusi dengan mengungsi. Orang dengan penyakit pernapasan atau hanya gejala harus meninggalkan area paparan tinggi abu vulkanik. Jika konsentrasi silika melebihi batas yang direkomendasikan: lebih dari 50 mikrogram per meter kubik. Penggunaan masker menjadi suatu keharusan dalam kondisi tingginya tingkat polusi udara seperti dalam bencana letusan gunung berapi. Bukan hanya berbahaya bagi mahluk hidup tapi juga bisa merusak mesin pesawat.


 Ada sembilan jenis respirator yang direkomendasikan berdasarkan kemampuan menyaring partikel dengan ukuran 0,3 mikron atau satu per 1.000 milimeter, yaitu respirator 95 persen, 99 persen, dan 100 persen, serta kemampuan filtrasi terhadap minyak, yaitu tipe N (Non-resistant to oil), R (Resistant to oil), dan P (oil Proof). Masker bedah yang terbuat dari kertas atau kain yang banyak beredar sebenarnya hanya menutupi area sekitar hidung. Masker jenis itu memiliki keterbatasan filtrasi karena ada celah di sekitar hidung dan mulut yang memungkinkan tetap masuknya kuman dan polutan yang ada di udara. Respirator lebih memberi perlindungan ketimbang masker bedah. Respirator lebih melindungi dan menyaring partikel berukuran satu mikron. Alat ini terpasang pas di wajah dan berfungsi mencegah kebocoran.


Betapa bahayanya bila sampai terhirup secara langsung abu vulkanik.
Masker bedah belum memenuhi standar keamanan tubuh manusia. Masker yang paling aman pada situasi ini, adalah masker jenis N95. masker ini mirip untuk pasien isolasi flu burung, dengan harga yang lumayan mahal. Idealnya memang menggunakan respirator N95, namun pada kondisi darurat masker apa pun bisa digunakan daripada tidak sama sekali. Memang kurang nyaman, tapi penting dilakukan.
Untuk mata, sebaiknya masyarakat menggunakan kacamata goggle guna menahan abu. Pasalnya, kacamata ini bisa menutup rapat sekeliling mata, sehingga abu vulkanik tak akan masuk.

Liputan letusan gunung merapi  - Jumat 12 November 2010

Pakar:  Abu vulkanik yang banyak mengandung silica yang tajam dan runcing bisa "tersimpan" di awan, dan dikhawatirkan dapat mengganggu penerbangan.

"Kandungan silica yang mencapai 56 persen dalam abu vulkanik Gunung Merapi saat ini setelah melayang-layang akhirnya kemungkinan sebagian `terjebak` di awan," kata pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada Agus Hendratno di Yogyakarta, Kamis.
Ia menyebutkan abu vulkanik sebagai partikel berukuran kurang dari dua milimeter, dan titik leburnya 600 derajat Celcius itu, setelah terlontar ke atas atau letusan vertikal setinggi 7-8 kilometer (seperti dirilis Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta), terbawa angin ke berbagai arah. "Namun, dalam beberapa pekan terakhir angin lebih sering ke barat dan barat daya," katanya.
Menurut dia, abu vulkanik yang melayang-layang terbawa angin itu, bisa sampai ke mana-mana. "Jika kemudian sebagian abu vulkanik `terjebak` di awan, atau bahkan `tersimpan` di awan, padahal awan mengandung uap air, tentunya daya lekatnya semakin kuat jika menempel di badan pesawat terbang, misalnya," katanya.
Agus mengkhawatirkan jika ada pesawat terbang pada ketinggian 3.000 feet melintas di gumpalan awan yang banyak menyimpan abu vulkanik, apabila abu vulkanik tersebut menempel di kaca depan, kaca itu tiba-tiba bisa menjadi buram sehingga mengganggu pandangan pilot. "Jika jarak pandang pilot terbatas, tentu bisa membahayakan penerbangan," katanya.
Ia mengatakan silica dalam abu vulkanik sifatnya runcing dan tajam, sehingga abu vulkanik dalam jumlah banyak kemudian diterjang pesawat dengan kecepatan tinggi, tentu bisa menyebabkan kaca di depan pilot tergores dengan bidang yang lebar, sehingga kaca tersebut berkurang ketebalannya. "Kondisi ini pasti akan mempengaruhi `performa` pesawat terbang," katanya.
Menurut dia, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah jika abu vulkanik dengan kandungan silica yang cukup banyak itu masuk ke mesin pesawat terbang. "Mesin di pesawat saat turbin bekerja dengan kecepatan pesawat yang tinggi yang menghasilkan suhu di atas 1.000 derajat Celcius, tiba-tiba kemasukan abu vulkanik, maka silica-nya akan meleleh, dan menempel di baling-baling mesin. Kalau sudah terjadi abrasi di mesin itu, bisa mengganggu aliran udara pada mesin, dan banyak abu menempel di baling-baling mesin, sehingga kerja baling-baling menjadi lambat. Kondisi ini tentu akan mengganggu kinerja mesin pesawat," katanya.
Agus Hendratno menyebutkan saat Gunung Galunggung meletus pada 1982, waktu itu abu vulkaniknya diduga mengganggu pesawat terbang yang kebetulan melintas di udara wilayah Jawa Barat. "Ketika itu sebuah pasawat terbang dari Malaysia dengan tujuan Jakarta, saat berada di posisi 177 kilometer timur Jakarta, tiba-tiba mesin pesawat terganggu, dan diduga karena abu vulkanik dari gunung tersebut," katanya.


Mengapa Awan Panas Amat Mematikan?


Erupsi Gunung Merapi (ANTARA/Anis Efizudin)
Jakarta (ANTARA News) - Manusia tercepat dunia, sprinter Usain Bolt, "hanya" bisa berlari dalam kecepatan 10,4 meter per detik ketika menciptakan rekor dunia 100 meter dengan waktu 9,58 detik pada Kejuaraan Dunia 2009.

Kecepatan berlari manusia tercepat di dunia ini ternyata kalah jauh dari laju awan panas hasil letusan gunung berapi yang disebut "wedhus gembel" oleh penduduk sekitar Gunung Merapi dan "pyroclastic flows" oleh dunia ilmiah.

EA Bryant, dalam "Natural Hazards" terbitan 1991, menyebut kecepatan awan panas terkecil bisa mencapai 30 meter per detik, sedangkan yang besar bisa berkecepatan 200 meter per detik atau 20 kali kecepatan Usain Bolt berlari.

Awan mematikan ini pun bisa sangat tebal. Misal, pada letusan Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991, tebal awan panas mencapai 30-50 meter, namun di daerah lain bisa lebih tebal lagi hingga 220 meter. Jangkauannya bisa sejauh 100 km dari pusat letusan di gunung api.

Yang fantastis, mengutip EA Bryant, awan panas bisa setebal 1.000 meter. Jika rata-rata tinggi badan orang Indonesia 165 cm, maka tebal awan panas bisa setinggi 600 orang dewasa yang dijejerkan ke atas.

Lalu, sepanas apakah awan panas itu?

Ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus, awan panas yang dikeluarkannya bersuhu 750 derajat Celcius, sementara awan panas hasil letusan Gunung St Helens pada 1980 yang disebut letusan gunung api terdahsyat di Amerika Serikat, mencapai 350 derajat Celcius.

Tapi yang paling dahsyat adalah awan panas hasil letusan Gunung Pelee di St. Pierre, Martinique, Prancis pada 1902.

Suhu yang dibawa awan panas oleh gunung api ini mencapai 1.075 derajat Celcius. Panas setinggi ini setara dengan 10 kali panas air mendidih atau sepuluh kali suhu 100 derajat Celcius.

Pada letusan Gunung Merapi sendiri, berdasarkan citra satelit, panas "wedhus gembel" yang dimuntahkan gunung ini mencapai 600 derajat Celcius atau enam kali panas air mendidih.

Dengan kecepatan minimal tiga kali kecepatan berlari sprinter tercepat dunia, suhu yang setara dengan enam kali panas air mendidih, dan tebal awan minimal seperempat tinggi Tugu Monas, maka siapapun tak akan selamat dari "wedhus gembel."

Hanya mereka yang memacu kendaraannya cepat-cepat, dan yang berada di bunker tahan panaslah yang mungkin selamat.

Yang menarik, dari Gunung Vesuvius yang menghancurkan kota Pompeii pada 79 Masehi, sampai letusan Merapi sekarang, korban-korban tewas akibat letusan gunung api serupa satu sama lain.

Belalang dibakar

"Jika digambarkan seperti kita membakar belalang, maka belalang itu akan kaku dan hangus. Korban yang diterpa awan panas akan kaku dan hangus yang dilumuri debu," kata pakar geologi Universitas Indonesia, Dr. Rokhmatuloh, kepada ANTARA News, Senin (8/11).

"National Geographic" bahkan menyebut korban letusan Merapi 26 Oktober lalu adalah versi modern dari kehancuran Pompeii di era purba, karena mayat-mayat kaku berdebu di Merapi mirip dengan korban tewas di Pompeei dua millenium lalu.

"Jika awan panas itu tidak berlalu atau diam saja, maka dapat dipastikan korban akan menjadi abu," kata Rokhmatuloh.

Tak heran, jika para vulkanolog menyebut "pyroclastic flows" atau "wedhus gembel" adalah material vulkanik yang paling mematikan.

Gambaran lainnya adalah letusan Gunung Pelee di St Pierre, Prancis, pada 1902.

Sebanyak 29 ribu penduduk kota itu mati seketika dalam pada posisi terakhir tubuhnya bergerak, persis korban Merapi 108 tahun kemudian. Hanya satu orang yang selamat di St Pierre dan dia adalah penghuni tahanan bawah tanah di kota itu.

Kandungan awan panas diantaranya terdiri dari gas fluor, belerang, H2S (gas asam), magnesium, dan kalium.

Fluor adalah gas halogen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif dan elektronegatif. Gas ini amat berbahaya karena menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit.

"Polusi gas asam yang mengandung belerang menyerang sistem pernapasan manusia dan merusakkan paru-paru," kata pakar geofisika dari Universitas Indonesia, Dr. Abdul Haris, kepada ANTARA News.

Satu laman yang diasuh seorang geolog (mivo-sys.tripod.com/pyroclastic.html), mengilustrasikan bagaimana awan panas merusak paru-paru untuk kemudian mencabut nyawa manusia.

"Kebanyakan orang yang mati akibat awan panas adalah karena tertimpa reruntuhan atau terbakar abu panas dan gas beracun," kata laman ini.

Mereka yang terkubur biasa terperangkap oleh udara panas yang luar biasa. Gas dan debu bersuhu 660 derajat Celcius akan dengan mudah membakar apapun, dari pakaian hingga tubuh manusia.

Pembakaran berhenti jika oksigen habis di sekitar wilayah terselimuti awan panas. Namun, begitu oksigen masuk lagi, wilayah itu bakal segera terbakar kembali.

Patuhi saja

Gas dan abu panas itu dihirup korban. Paru-paru korban seketika layu atau tersumbat akibat menghirup material vulkanik ekstrem itu, lalu beberapa lama kemudian korban mati seketika.

Contohnya adalah para korban tragedi St Pierre pada 1902 yang harus manahan derita berhari-hari karena paru-parunya terbakar. Mereka kemudian akhirnya meninggal dunia.

Mayat-mayat yang ditemukan di kota itu dan juga Pompeii, umumnya dalam posisi menggeliat, seperti kehabisan nafas atau oksigen.

Tapi penelitian terbaru terhadap kota Pompeii justru menyebutkan bahwa penduduk Pompeii tewas karena terkaman awan panas, bukan karena kehabisan oksigen.

"Dari pola warna dan retakan tulang, korban mati karena panas yang ekstrem," kata vulkanolog Giuseppe Mastrolorenzo seperti dikutip National Geographic News (2/10).

Dia melanjutkan, "Suhu yang naik sampai 300 derajat Celcius atau lebih, cukup untuk membunuh ratusan orang dalam hitungan detik."

Dua ribu tahun setelah Pompeii, awan panas juga yang mengambil nyawa lebih dari seratus orang penduduk lereng Gunung Merapi.

"Mayat-mayat dalam posisi menggeliat-geliat itu bukan akibat menahan sakit berkepanjangan, melainkan karena seketika kaku akibat tekanan panas menerkam tubuh," kata Mastrolorenzo.

Paparan ini mungkin cukup membantu menggambarkan mengapa manusia harus dijauhkan dari daerah-daerah yang berada di jangkauan sebaran awan panas.

Bukan saja karena awan panas atau "wedhus gembel" ini efeknya mengerikan dengan tak menyisakan apapun yang disentuhnya, tetapi karena material vulkanik ini juga begitu sulit diprediksi kapan datang dan berhentinya.

Untuk itu, adalah sangat penting bagi warga sekitar Gunung Merapi untuk mematuhi saja rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pakar vulkanologi dan otoritas penanggulangan bencana.

Bahkan jika aktivitas gunung berapi itu selesai, masih perlu waktu sekurang-kurangnya dua minggu lagi sebelum para pengungsi diizinkan kembali ke rumahnya.

"Waktu dua minggu adalah untuk meneliti apakah aktifvitas gunung berapi seperti kegempaannya, benar-benar selesai," demikian Rokhmatulah. (*)
 Selasa, 9 November 2010 14:47 WIB, Adam Rizal/Jafar Sidik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer